Bagaimana Membaca Reaksi Australia terhadap Hukuman Mati Narkoba?



Australia bereaksi keras terhadap rencana eksekusi hukuman mati dua Warganegaranya. Reaksinya berskala, mulai dari bahasa himbauan diplomatik  ke bahasa yang sudah bernada “ancaman”, yang intinya memberi pengaruh agar Indonesia mengurungkan niatnya mengeksekusi kedua warganya. Indonesia sampai saat ini bergeming dan tetap melanjutkan proses hukum ini. Baik Presiden maupun Menlu RI telah tegas menyatakan posisinya.
Reaksi ini sebenarnya wajar. Semua negara pasti akan mengambil langkah perlindungan terhadap warganegaranya yang mengalami persoalan hukum di luar negeri. Indonesia sering mengambil langkah ini. Upaya perlindungan ini adalah bentuk “intervensi” negara terhadap negara lain yang direstui oleh hukum internasional. Bentuknya juga berjenjang, dimulai dari perlindungan konsuler ke perlindungan diplomatik. Australia sedang menggunakan fasilitas hukum internasional ini.
Perlindungan konsuler diberikan oleh perwakilan negara melalu pejabat konsulernya. Si Pejabat konsuler ini akan melakukan advokasi terhadap warganegaranya serta memastikan bahwa warganegaranya memperoleh hak-hak hukum serta menjalani proses hukum sesuai hukum acara. Pada perlindungan konsuler ini, yang bersengketa adalah WN Australia selaku pelaku tindak pidana melawan otoritas hukum Indonesia yang diwakili oleh Jaksa. Jaksa menuntut dan WN Australia membela dirinya. Otoritas Australia yang diwakili oleh pejabat konsulernya melakukan monitoring terhadap proses hukum ini guna memastikan bahwa warganya memperoleh semua haknya berdasarkan hukum acara pidana. Asumsinya, Australia telah memberikan perlindungan ini sejak dari awal proses hukum sampai pada keputusan akhir bahkan sampai grasinya ditolak oleh Presiden RI.
Dewasa ini, Australia kelihatannya mulai bergeser dan meng-upgrade upaya perlindungannya ke perlindungan diplomatik, walaupun masih dalam tahap awal. Pada perlindungan diplomatik, subjek yang bersengketa sudah upgraded, dari yang semua warganegara Australia versus Jaksa Indonesia, menjadi sengketa antara Australia versus Indonesia. Para pihak yang “ribut” sudah bergeser menjadi dua negara dan sang pelaku pidana hanya menjadi objek. Yang berdialog dalam upaya perlindungan ini adalah antar negara dan yang dipersoalkan bukan lagi mengenai proses hukum melainkan perosalan kebijakan negara, dalam hal ini kebijakan hukuman mati oleh Indonesia.  Karena konteksnya dalah dua negara sedang berdialog, maka yang mengambil peran adalah representasi negara yaitu Menlu Bishop yang kemudian oleh PM Abbott, dan yang menjawab Menlu RI dan Presiden RI. Pernyataan menteri-menteri lain dari kedua negara termasuk politisi lainnya biasanya hanya memiliki bobot politis namun tidak menjadi bagian dari dialog antar negara itu. Apa kata kepala pemerintah dan Menlu kedua negara akan menjadi penting karena dilihat sebagai reaksi resmi negara.
Australia sedang memainkan fungsi perlindungan diplomatik ini. Argumen yang diangkat tentu bukan tentang perbuatan warganegaranya karena ini porsi perlindungan konsuler. Untuk level diplomatik, soal yang diangkat adalah perbuatan Indonesia yaitu soal kebijakannya yang memperbolehkan hukuman mati. Tidak heran maka Australia menyoal soal  ”keabsahan hukuman mati” yang dianggap barbar. Sayangnya, jika masuk ke topik ini maka akan muncul dua kubu yang sama-sama valid dan saling menegasikan.
Topik tentang keabsahan hukum mati ini sangat klasik dan sering digunakan untuk acara simulasi debat mahasiswa karena secara berimbang akan melahirkan dua argumen yang saling berseteru dan tidak mungkin menghasilkan pemenang. Demikian halnya dengan kasus ini. Australia dan Indonesia memasuki dialog klasik ini. Dialognya sendiri sudah exhaustive dan tidak mungkin berujung. Penjelasan apa pun yang diberikan oleh masing-masing pihak dengan keyakinannya, tidak mungkin berujung pada pihak yang satu meyakinkan pihak yang lain. Sebagai pihak yang sedang dipersoalkan, Indonesia lebih diuntungkan. Menlu RI secara sistematis telah memaparkan posisi tegasnya. Pertama, karena hukum internasional sendiri masih membuka ruang untuk adanya hukuman mati (Pasal 6 ICCPR). Kedua, UU nasional yang dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi masih menjustifikasi hukuman ini. Ketiga, proses hukuman mati WN Australia ini sudah melalui proses hukum yang lengkap dalam arti, kedua WN ini menikmati semua jalur hukum yang disediakan oleh hukum Indonesia. Dan kempat, dan ini yang terpenting, Indonesia sedang dalam krisis narkoba. Survival-nya sedang terancama akibat narkoba. Debat lain, soal sifatnya yang barbar, moralitas, keberadaban, dll tentu juga sahih namun tidak menjadikan Indonesia salah di mata internasional (tidak internationally wrongful act).
Bagaimana sebaiknya memaknai reaksi Australia yang semakin progresif ini? Sejatinya Australia sedang melakukan kewajiban konstitusionalnya terhadap warga negaranya. Tampaknya, tujuannya semata-mata untuk memenuhi kewajiban domestik bukan soal internasional.  Bahwa “hukuman mati itu barbar” bukanlah concern utama  sebab Australia anteng-anteng saja pada waktu Amrozi cs dieksekusi mati pada tahun 2008. Artinya, ini soal nasib warga negaranya yang harus disuarakan ke dan terhadap Indonesia serta harus dipertontonkan ke konstituen domestiknya.
Sayangnya, reaksi berskala progresif  oleh Australia ini berada pada  waktu dan ruang yang kurang menguntungkan. Pertama, reaksi ini disuarakan manakala perhatian publik Indonesia khususnya Presiden sedang tersita pada urusan domestik yakni KPK versus Polri yang sedang seru-serunya. Akibatnya, perhatian publik Indonesia agak kurang peduli.
Kedua, reaksi ini menyentuh soal nasionalisme Indonesia. Publik Indonesia sejak dulu sangat alergi dengan “cawe-cawe” asing terhadap masalah domestiknya, tanpa harus  tahu duduk persoalannya. Maka dapat dibayangkan, publik mainstream tidak tertarik mendukungnya, bahkan beberapa pakar internasional merasa terganggu dengan reaksi ini.
Ketiga, reaksi Australia menggunakan logika Barat yang justru menimbulkan antitese terhadap logika yang dipahami oleh Indonesia. Ini terkait dengan pernyataan PM Abbott yang mengingatkan soal bantuan Tsunami-nya kepada Indonesia. Mengungkit-ungkit kebaikan apalagi dalam bentuk materi adalah hal yang wajar dalam logika Barat, namun menjadi “penghinaan” bagi logika ketimuran Indonesia. Saya pernah ingin berbaik hati tanpa pamrih menolong teman kuliah di Inggris mencari sepedanya yang hilang, namun saya menjadi kecewa manakala dia menjanjikan akan memberikan sejumlah uang jika saya mendapatkan sepedanya. Konflik antar logika yang berbeda ini justru counterproduktif bagi upaya Australia untuk menarik simpati publik Indonesia apalagi Presiden. Boikot turis Australia ke Bali juga terlihat retorik, dan keretorikan ini adalah khas negara Barat.  Australia adalah negara hukum modern, dimana peran negara semakin menipis jika sudah ke soal privasi warganya. Melarang warganya bergabung ke ISIS saja sudah sulit apalagi mengatur kemana warganya hendak berplesiran. Australia bukan negara diktator yang bisa mengatur kemana warganya berpergian.
Keempat, karakter Indonesia sebagai negara hukum justru tidak menguntungkan bagi Australia yang menghendaki pembebaskan hukuman mati ini. Coba bayangkan, bagaimana dilematisnya Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Komjen BG yang merupakan hak prerogatif-nya. Apalagi membatalkan eksekusi hukuman mati yang sudah jelas-jelas dimandatkan oleh hukum. Membayangkan bahwa Presiden memenuhi permintaan pembebasan hukuman mati adalah suatu keajaiban politik untuk konstelasi politik dan  hukum Indonesia sekarang. Proses hukum telah tuntas dan final serta tidak ada lagi upaya hukum lain. Tidak ada satu otoritas pun di Indonesia yang memiliki wewenang memenuhi tuntutan Australia ini,  Presiden pun tidak.
Apakah Australia menyadari “kemustahilan” dipenuhinya tuntutannya ini? Tentu saja. Kedubesnya di Jakarta pasti telah memberikan assessment yang akurat tentang kondisi politik dan hukum di Indonesia, yang pastinya meyakinkan Canberra bahwa bakal mustahil mengubah rencana eksekusi hukuman mati ini. Terus, apa manfaatnya Australia tetap berkoar-koar terus meminta pengehentian hukuman mati? Jawabnya kembali ke ilmu dasar. Australia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan sebaiknya Australia diberi ruang untuk itu. Selain itu, mungkin juga politik domestik Australia melahirkan dinamika tertentu sehingga butuh reaksi progesif ini. Ini tentu soal politik dan bukan soal hukum.
****

Share
Tweet
Pin
Share