PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945


oleh DR. Harjono, SH, MCL*

Pendahuluan

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatuNegara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salahsatu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkanketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsisebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itupembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi.Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukummaupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusionalyang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkanpandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritisdalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional.

Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturankonstitusional pembuatan Perjanjian Internasional menurut UUD 1945 dalam suatukesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenaisistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistemterdapat: “there are wholes; they haveelements and those elements have relations which form structure”.Lebih lanjut dinyatakan: “Source-basedsystem has legal rules or norms for elements. These are related by relations ofauthority or validity to higher rules. These relations are clasically formedinto a pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, ‘basic norm’or ‘legal science fiat’ at the top. The wholeness factor is provided by thestructure itself and by its function of providing the authoritative basis forall law in community”. Dengan berdasar pada pengertian sistemsebagaimana di atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari PerjanjianInternasional dalam UUD 1945.

Dasar Hukum

Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalamiperubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkanakibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan Negara,
dan/atau mengharuskan perubahanatau pembentukkan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan PerwakilanRakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur denganUndang-Undang.

Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkandidalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikajilebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal PerjanjianInternasional.

Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negarayang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistemUUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabiladibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isipasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III iniyaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.

“Pihak Negara lain secara prima faciedan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh PresidenIndonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinyaNegara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yanglain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuatkesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggaltak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyatmenyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dansetelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1)Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUDsetelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, haltersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelumperubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentukUndang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahanPasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan RancanganUndang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelahperubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentukUndang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebutterjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.

Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagaiKekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD,Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelumperubahan
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab IIImenjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalamsistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakanperang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. KedudukanPresiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yangmelekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanyaPasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negaradalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.

Bentuk Hukum

Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangankesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yangmembuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkankehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapayang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihakNegara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu danmengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuatperdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secarahukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidaklain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara laintersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untukmengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatandengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yangditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalamsistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahidalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.

Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuatperdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR.Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentukhukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harusberbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukumtersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yangdisyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhiapabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denganNegara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataanperang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentukhukum Undang-Undang.

“Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidakberarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanismeinternal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagipihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat danbukan pengesahan Undang-Undang.”Apabila pernyataan perang, membuat perdamaiandan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang makaartinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatanUndang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum.Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lainmempunyai karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadisuatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dankemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harusmengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untukmenyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedangreses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akanmenunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahuioleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dandapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak danharus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahassuatu Rancangan Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda denganmembuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukankesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.

Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara NegaraIndonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlahjanggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan PerjanjianInternasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelahmenyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebutdalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalahpernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujuihal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibatmengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undangmenimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasionalsedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yangberada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateraldisahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negaralain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karenadigantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukanadalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.

Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakahsebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendaksuatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain.Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkanberada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebuttidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yangsetara kedudukannya.

”Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunyasegala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harusdiberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.”Hal berikutnyamenyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuahPerjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalahpenentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan olehpara pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antarpihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, makadiperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran.Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskahotentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila PerjanjianInternasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang dan kemudian karenasuatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah kemudianpihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiranUndang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akanmenimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakuibahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskahotentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah PerjanjianInternasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak diakuisebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimanamestinya.

Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunyasegala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harusdiberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuanUUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telahdisetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah olehPresiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebutdisetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajibdiundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presidentelah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPRtelah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalahmekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadimengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadiUndang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dariperjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasiuntuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam PerjanjianInternasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dankemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanyaketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yangdemikian.

Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalamkasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harusdilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri ataumemutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel.Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasionaldapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyakUndang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulanPresiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk Undang-Undang, sebagai misalpengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia,dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi diNegara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagaiUndang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusibahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senatdan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undangdibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negaratersebut.

Persetujuan DPR dalam pembuatan PerjanjianInternasional

Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan HukumNasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuatPerjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yangberdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untukmewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuatPerjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internalkonstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasionalketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam kontekshubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakanperjanjian dengan Indonesia.

“… dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwaapa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruhelemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan initidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.”Apabilasecara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai denganketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secarakonstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakanperbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembagaNegara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut.Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universalbahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikatseluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuanini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.

Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakanhaknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatuperjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasarrasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarattersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negaralain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunyapersetujuan DPR apabila Presiden membuat ”Perjanjian Internasional lainnya”yang: (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yangterkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan ataupembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklahterkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrakbisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUDmempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain(demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagikehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR.Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yangmaksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjianperdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluanuntuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya.Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukanperjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertianPerjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan SubyekHukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwaperjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuanDPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagikehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perludigarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internaldan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik HukumInternasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukanpersetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2)UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiranperlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karenamenyangkut kepentingan bangsa.

Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasionalyang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karenapihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklahtepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak ataumengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karenaperjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dariperjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadirelevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutusperselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara NegaraIndonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Courtof Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karenaperselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukanmenjadi bagian Hukum Publik Internasional.

Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akanmempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukumpublik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau dendasebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetapmempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangikemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.

Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional

“Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidakselalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalahpada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagaisatu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luarnegeri.”Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukumyang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidakada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum darikewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lainmasing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yangmenetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakiliNegara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasionalyang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisisetara dan oleh karenanya perjanjian internasional mempunyai dasar “good faith”antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntairmenyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satupihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yangkemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebanikewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannyasedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. PerjanjianInternasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “goodfaith and mutual trust” antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda”menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segiinternal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada kewajibanuntuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yangdilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang olehkonstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atauNegara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang laintermasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum padaPerjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta denganprosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasarpacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karenakemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakanperjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanyaitikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya PerjanjianInternasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetapmemberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pactasunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaanPerjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan padapelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagaipihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat dipastikandengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui jalurdiplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasionaldalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya membebanikewajiban secara sepihak saja.


“Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakimuntuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil PerjanjianInternasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkanPerjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yangsecara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasionalyaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.”
Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidakselalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalahpada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagaisatu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. ApabilaPresiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi makasebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusionalkarena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi.Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakansalah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnyadalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat PerjanjianInternasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan PerjanjianInternasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belumpernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwaIndonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan PerjanjianInternasional dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukanakseptasi terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatanPerjanjian Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the LawTreaty sebagai acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansiyang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satusumber Hukum Internasional.

Perjanjian Internasional Sebagai Sumber HukumBagi Putusan Pengadilan

Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumberhukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Adakalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yangdihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil,yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarangmenolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur,oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapatdilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salahsatu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dimasyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memangselayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh dimasyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat Internasional.Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyakdiratifikasi oleh Negara-Negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggapsebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara, olehkarenanya Hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalamPerjanjian Internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya danbukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian Internasional tetapi ataspertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterimaoleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak Negaramenerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya Negarayang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telahditerima sebagai sesuatu yang layak dan adil, dengan demikian kebiasaaninternasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum Nasional dalam rangka memberirasa keadilan melalui putusannya. Disamping sumber hukum materiil, Hakim dalammenjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalahUndang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim bahkan wajib untukmendasarkan putusannya pada Undang-Undang. Kekuatan mengikat PerjanjianInternasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidakterkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaituUndang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasionalsecara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusionaldiberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden denganmemenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, Perjanjian Internasionalatau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dariUndang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasiPerjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang mengesankan seolah-olahkekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan atasbentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian Internasionalyang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan PerjanjianInternasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkansecara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh Congressmerupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional tidakdituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress, tetapiPerjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat, namundemikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional sebagaithe law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya danbukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untukditerapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yangterdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yangditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikatatau daya berlaku yang berbeda. 
Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atauArticle 111 dari Convention on Recognition andEnforcementof Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi: “Each contracting state shall recognizearbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule ofprocedure terri tory where the award is relied upon under the condition laiddown in the following article”. Apabila Konvensi ini diratifikasioleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnyaHakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusanarbitrase asing asalkan dilaksanakan “under thecondition laid down in the following article” sebagaimana disyaratkan Article111 tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dariArticle yang terdapat dalam United Nations


“Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakimdihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan PerjanjianInternasional.”
Convention Against Corruption, 2003yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensiini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan “Subjectto its constitution and the fundamental principles of its legal system, eachState Party shall consider adopting such legislative and other measures as maybe necessary to establish as a criminal offence when committed intentionally,illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of publicofficial that he or she cannot reasonably explain in relation to his or herlawful income.” Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim karenajelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkahlegislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagaiperbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangatmencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkandengan gaji resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasionaldiperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannyadengan Perjanjian Internasional. Berdasarkan kajian konstitusi tentangkedudukan Hukum Perjanjian Internasional dapat disimpulkan hal-ha1 sebagaiberikut:

Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, PerjanjianInternasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presidenadalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain.
a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwabentuk
hukum ratifikasi PerjanjianInternasional adalah Undang-Undang, oleh karena itu diperlukan
pengaturan tersendiri yangberbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-
Undang.
b.Pasal 11 ayat (2) UUD 1945mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk Perjanjian
internasional lain, karena UUD menganggappenting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-
hal yang berakibat pada bebannegara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan
perubahan Undang - Undang, bukandidasarkan atas pembedaan antara Perjanjian
Internasional publik dan privat.
c.Perjanjian Internasionalmempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum
dalam Hukum Nasional karena telahdibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena
diwadahidalam bentukUndang-Undang, sehingga Perjanjian Internasional merupakan sumber
hukum di luar sumber hukumUndang-Undang.
d.Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yangterdapat
Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat selfexecuting juga merupakan
sumber hukum bagi putusan pengadilan.
e.Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang
menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturanyang baru.
-------------------------------------
Makalah disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun2000 tentang Perjanjian Internasional, 18 – 19 Oktober 2008, Surabaya
*Dr. Harjono, sh., m.cl.. S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas HukumUniversitas Airlangga, 1977; S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School ofLaw, Southern Methodist University, Dallas-USA, 1981; S3, Doktor Ilmu Hukum(Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.

Share
Tweet
Pin
Share