BEBERAPA ASPEK KENISBIAN DAN KESAMARAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


oleh Ko Kwan Sik*
Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu(spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian.Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun.Sebaliknya, tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastiandan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertianperjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanyamelekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkansifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakattentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka,dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai denganhasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan parapihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatanhukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang.Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama(sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku),sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isikesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusussebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya,maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat(hukum) tertentu tanpa persetujuannya.

Uraian singkat ini cukup mutlak dan terang bunyinya, tetapi tidak mencukupisebagai penjelasan konsep perjanjian. Ternyata berbagai kenisbian dan kesamaranmelekat padanya. Diantaranya, berlakunya hukum dalam batas-batas suatu tatahukum tertentu menampilkan pertanyaan tentang keterbatasan ruang lingkup dayahukum yang terkait pada kesepakatan. Kenisbian lain yaitu ketergantungankeabsahan perjanjian dari kedudukan para pelakunya sebagai subyek hukum tatahukum bersangkutan, ditambah syarat kewenangan pelaku tersebut untuk mengadakanperjanjian yang berkekuatan hukum. Disamping itu, tata hukum mengenalpembatasan-pembatasan mengenai pokok persoalan (“obyek”) perjanjian, pembatasanmana biasanya bersangkut paut dengan sendi-sendi kemayarakatan bersangkutan.Kenisbian tersebut terdapat juga di bidang PI yang merupakan golongan khususdari pengertian perjanjian yang lebih luas. Marilah kini kita meneliti beberapakenisbian dan kesamaran khusus mengenai PI.

“Internasional”

Terhadap latar belakang tersebut di atas, tampillah pengertian dan istilah“perjanjian internasional”, yang kata sifatnya “internasional” tidak berartitunggal, hal mana kita ingat betul dari setiap permulaan tahun kuliah apabilakita mencoba menerangkan kepada para mahasiswa hakekat mata pelajaran yangmereka ikuti. Kita tahu bahwa keragu-raguan itu bukan akibat kurang jelasnyapencipta pengertian, melainkan akibat pemakaian perkataan dalam arti kataberganda. Kata “internasional” pertama digunakan untuk merujuk pada perjanjianantara para aktor yang bertindak selaku subyek hukum internasional (HI) danoleh karena itu khusus berlaku dalam lingkungan HI. Meskipun kelihatannya cukupjelas, namun bagaimanakah kita dapat tetapkan bahwa suatu perjanjian yang kitahadapi itu memang “governed by international law” seperti yang disyaratkanPasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969[2] tentang Hukum PerjanjianInternasional? Ada kalanya yang kita maksudkan dengan istilah PI adalahperjanjian yang para pihaknya bertindak dalam lingkungan hukum nasional (HN)(tanpa mempedulikan apakah mereka itu asal mulanya diciptakan sebagai subyek HIataupun sebagai subyek HN) tapi dengan mata perjanjian yang bersifat lintasbatas suatu negara dan oleh karena itu disebut “internasional”.[3] Kitadapat (meskipun syukur jarang terjadi) menambah kerumitan di lapangan PIgolongan belakangan ini apabila tidak hanya obyek perjanjiannya melintas-batas,tetapi para pihaknya pun masing-masing bertindak dari lingkungan HNberbeda.

Sesuai tafsiran undangan Editor jurnal ini, tulisan ini hanya akan mencurahkanperhatian kepada perjanjian golongan pertama dan kenisbian dan kesamaran yangmelekat padanya.

Sifat Normatif Hukum danSangkalannya

Tadi telah pernah disebut Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina 1969, ketikakita menitikberatkan keperluan menentukan apakah yang kita hadapi itu benarperjanjian yang dikuasai Hukum Internasional. Ternyata bahwa yang menjadi buahaturan Konvensi adalah “perjanjian internasional yang diadakan antara negara... dan yang dikuasai oleh hukum internasional ...”. Ini berarti bahwasekalipun kita jelas menghadapi perjanjian antar negara, yang sudah memenuhisyarat-syarat yang menurut perkiraan kita menjadikannya Perjanjian Internasionalasli, kita masih juga perlu memeriksa apakah benar “dikuasai HukumInternasional”. Apakah makna anak kalimat ini?

Mengingat sifatnya, maksud tujuannya dan konteks pembuatannya, dapatlah kitabertolak dari anggapan bahwa Konvensi tersebut khusus mengacu pada perjanjiandi lingkungan internasional, tanpa perhatian, bahkan mengenyampingkan, hal-halyang mengenai perjanjian di lingkungan HN. Hal mana berarti bahwa satu-satunyadugaan tentang maksud dan arti anak kalimat tadi yang masuk akal adalah bahwasi perancang membayangkan kemungkinan adanya perjanjian antar negara, dilingkungan internasional, yang dapat dikuasai oleh “sesuatu” yang lain (bukanHN) daripada HI. Sistem apakah yang kita dapat bayangkan di sini?

Istilah “dikuasai” di anak kalimat tersebut tentu berarti “dikuasai” sistem(hukum internasional) yang mengaitkan ciri normatif kepada kesepakatan antarapara pihak perjanjian, satu dan lain menurut kehendak dan pilihan para pihaktersebut. Kita dapat bayangkan berbagai sistem normatif yang berlaku bagikelakuan manusia selain sistem hukum, misalnya agama, adat istiadat, danmoralitas. Namun, sistem-sistem ini semuanya ditujukan kepada pribadi manusiadan tidak mengenal kaidah-kaidah pelaksanaan untuk memberlakukannya danmenerapkannya pada hubungan antar negara. Kadang-kadang disebut sistem“kesopanan kemasyarakatan” yang menguasai hubungan-hubungan internasional, akantetapi sistem demikian hanya mengacu pada bentuk dan tata cara kelakuan dantidak bersangkut-paut dengan sifat normatif dari hak/kewajiban yang termuatdalam perjanjian bersangkutan.

Dalam perbincangan tentang hubungan-hubungan internasional, kadang terdengaristilah “perjanjian politik” untuk membedakannya dari perjanjian yang dikuasaihukum, dan dalam hubungan ini kadang-kadang terdengar pula istilah “perjanjiantidak mengikat” (“non-binding agreements”)yang agak aneh bunyinya dan biasanya dimaksudkan sebagai “perjanjian yang tidakmengikat dari sudut hukum” (legallynon-binding agreements). Sehingga timbullah pertanyaan apakahkiranya ada “sistem politik” yang bersifat normatif dan menguasai kelakukan danyang merupakan alternatif di samping sistem hukum. Memang, kadang-kadang kitamenghadapi perjanjian-perjanjian antar negara yang dianggap tidak memuatkewajiban hukum melainkan “hanya memuat kewajiban politik”. Soalnya ialah bahwahingga kini belum ada uraian yang memberi penjelasan memuaskan tentang bagimanasebenarnya isi sistem normatif politik demikian itu dan sejauh mana sistemtersebut berbeda dari sistem hukum. Memang ilmu politik mengenal danmemperhatikan keadaan dimana kelakuan tertentu pihak yang satu dapat diduga dandiharapkan sebagai akibat kelakuan tertentu pihak yang lain, dimana kelakuanbelakangan ini merupakan “cogentmotive for action” pihak pertama. Apabila dalam keadaan demikiankelakuan pihak yang satu itu ternyata tidak terjadi, bertentangan dengan apayang diharapkan, tidak mustahil pihak yang dikecewakan membalas dengan menuntutapa yang diharapkan dan bahkan menuntut ganti kerugian, semua ini tanpa melaluiataupun berdasarkan alasan hukum.

Contoh tersohor perjanjian yang kadar hukumnya terang-terangan disangkal adalahAkta Terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Helsinki Final Act1975) yang meliputi negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur termasuk UniSoviet dan Amerika Serikat dan Kanada (yang hingga kini masih berlaku dinegara-negara bekas bagian Uni Soviet di Asia Sentral yang sama sekali bukanmerupakan bagian dari Eropa). Negara-negara Barat menitikberatkan bahwa Aktatersebut bukan PI yang mengikat menurut hukum. Hal ini ditegaskan secara agakaneh namun jelas. Latar belakang cara yang dipakai ini ialah Pasal 102 PiagamPBB[4]yang mewajibkan setiap PI yang diikutsertai negara anggota untuk didaftarkanpada Sekretariat untuk keperluan penerbitannya (di UN Treaty Series). 
“Sesuai dengan”peraturan ini, Akta Helsinki memuat ketentuan yang memohon si Tuan Rumah(Finlandia) untuk “transmit to theSecretary-General of the United Nations the text of this Final Act (untukdisosialisasikan di antara negara anggota PBB) which is not eligible forregistration under Article 102 of the Charter of the United Nations, as wouldbe the case were it a matter of a treaty or international agreement under theaforesaid Article”.

Persoalan kewajiban perjanjian yang tidak berkadar hukum ini bahkan pernahdijadikan judul penelitian di kalangan Institut Hukum Internasional (Instituutde Droit Internasional) di tahun-tahun 1970an dan 1980an. Lembaga inipun belumsanggup menyajikan jawaban yang memuaskan, dan bahkan memutuskan pada 1983untuk menangguhkan penyelidikannya sambil menunggu perkembangan-perkembanganyang membawa bahan-bahan baru.[5]

Pokok persoalan fenomena tersebut, yang mengenai kewajiban kelakuan yang unsurhukumnya disangkal, mirip dengan, walaupun mungkin tetap perlu dibedakan dari,fenomena usaha-usaha “perundang-undangan internasional” dalam bentukperjanjian-perjanjian multilateral, kadang-kadang mengenai perbaikan kedudukanmanusia pribadi di pelbagai lapangan, yang tidak, setidak-tidaknya belum,memuat aturan penegakan hak-hak yang diakui (“withoutlegal remedies”). Terlihat disini fenomena hukum “pincang” yang“tidak sempurna”.

Kenisbian dan kesamaran yang penulis sebut disini dan yang kadang agak kurangtepat diberi nama “hukum lemah” (soft law), perlu dibedakan dari naskah-naskahyang disepakati oleh para pihak namun yang jelas tidak dimaksudkan sebagaisumber hak/kewajiban melainkan semata-mata sebagai rumusan pendirian dan tekadmasing-masing (yang “kebetulan” sesuai) mengenai hal tertentu. Keraguan tentusangat menyolok apabila para peserta berbeda pendapat tentang maksud naskahmereka. Akan tetapi, ini mengacu pada tidak tercapainya kesepakatan, bukankesamaran perjanjian.

Sumber Hak dan Kewajiban dan Sangkalannya


Dalam menetapkan perjanjian-perjanjian mana yang dikuasai olehnya, KonvensiWina dalam Pasal 2 ayat 1 judul (a) dengan tegas menyatakan bahwa PI dapat sajatermuat dalam satu atau lebih dari satu dokumen dan dapat saja diberi namaapapun. Ketentuan ini, yang boleh dikatakan mencerminkan anggapan umum dandengan demikian dapat dianggap berlaku sebagai HI umum, berarti bahwa bentuk PItidak ada relevansinya bagi HI dan tidak mempengaruhi kadar hukum isinya. Akantetapi, hal ini tidak berarti bahwa nama yang diberikan kepada naskah danrumusan pengertian-pengertian dan istilah yang dipakai dalam naskah tidakpenting, oleh karena nama dan rumusan itu merupakan sumber interpretasi tentangmaksud para pihak dan makna dokumen bersangkutan mengenai hak dan kewajibanmasing-masing.[6]

Pembuatan naskah sebagai hasil perundingan dapat mengacu ke berbagai tujuan.Ada kalanya naskah dimaksudkan sebagai penetapan hak / kewajiban masing-masingdengan kekuatan hukum. Apabila naskah diberi nama menurut kebiasaan tradisionaldi bidang PI, seperti kata “treaty” dalam bahasa Inggris, apalagi jika disertaiacara-acara klasik seperti syarat ratifikasi (persetujuan keterikatan) dan/ataukesepakatan untuk mendaftarkannya di Sekretariat PBB sesuai Pasal 102 makakesamaran tentang maksud para pihak boleh dikatakan dapat tercegah. Tapi bentukdan acara demikian tidak merupakan syarat untuk menegaskan sifat hukum isinya.Tidak termuatnya ciri-ciri terkenal demikian sama sekali tidak membenarkankesimpulan bahwa para pihak tidak menghendaki dokumen kesepakatan merekamerupakan sumber hak/kewajiban hukum. Inilah, antara lain, makna kebebasanbentuk yang diakui Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina. Demikianlah tafsiranyang selayaknya diberi kepada istilah “treaties insimplified form” yang kita kenal dari praktek diplomasi dan yangdapat berbentuk, misalnya, pertukaran surat, “Pernyataan Bersama” (joint statement), bahkan “NotaKesepahaman” (memorandum of understanding).Sebagai contoh yang cukup ekstrim, ada kalanya dipilih bentuk “Communiqué” yang sebenarnyaberarti tidak lebih daripada “penerangan khalayak ramai tentang sesuatu yangterjadi”, namun dipakai sebagai sumber hak dan kewajiban.

Sebaliknya, suatu naskah sebagai hasil komunikasi (secara bagaimanapun) antarapara pihak dapat saja dibuat dengan tujuan berlainan. Tadi kita telah menjumpaifenomena perjanjian dengan hak/kewajibannya yang dikuasai sistem normatif yangtidak bersifat hukum atau suatu “sistem pengharapan” berdasarkan tindakantimbal balik. Disamping itu, naskah yang disepakati dapat dimaksudkan sebagaipernyataan penetapan tekad para pihak tentang kelakuan mereka di masa yang akandatang, tanpa tersiratnya janji yang bersifat hukum. Alternatif selanjutnyaialah pengumuman belaka, bagaimanapun resmi dan mulia sifatnya, tentang (biasanyahanya sebagian dari) apa yang diperbincangkan antara para pihak dan hasilkesepakatannya. Tadi telah disebut istilah Communiqué,meskipun “Pernyataan Bersama” kadang-kadang lebih disukai.

Kadar Hak dan Kewajiban

Sangkalan kadar hukum yang merupakan pokok persoalan di atas tadi tidak dapatdisamakan dan tidak boleh dicampuradukkan dengan gejala lain, yaitukeanekaragaman jenis (hak dan) kewajiban yang kadar hukumnya tidak diragukan.

Pengertian sempurna tentang hakekat suatu kewajiban hukum merupakan syaratpenting untuk dapat menetapkan apakah kewajiban itu dapat dinilai telahdipenuhi atau justru dilanggar. Itulah sebabnya perhatian yang cukup besardicurahkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB kepada penggolongan danpembedaan antara berbagai jenis kewajiban hukum selama sebagian besar waktuperencanaan naskah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan negara melawan hukum.[7]

Meskipun demikian, tetap terdapat cukup banyak gejala dalam praktek PI yangmenimbulkan pelbagai pertanyaan tentang kelakuan dan tindakan ataupun hasilusaha yang merupakan isi sebenarnya kewajiban bersangkutan. Oleh karena itu,kita perlu mencurahkan perhatian khusus kepada soal kejelasan atau sebaliknyakesamaran yang kadang-kadang melekat pada rumusan suatu kewajiban. Antara kewajiban-kewajibankita dapat membedakan kewajiban yang “keras” dan yang “lunak”.

Dalam golongan kewajiban untuk melakukan sesuatu (obligationof conduct), sifatnya keras apabila tindakan itu dirumuskan secarasangat tegas dan spesifik, apalagi bila ditetapkan pula bahwa tindakan ituharus terlaksana dalam tenggang waktu yang tertentu. Sebaliknya, kewajibandapat saja dirumuskan sebagai kewajiban untuk berusaha, sesuai dengan kemampuansi pengemban kewajiban, dengan mempertimbangkan keadaan menurut penilaian sipengemban kewajiban, untuk mencoba mencapai sesuatu. Dalam hal demikian,kewajiban ternyata begitu longgar dan kadar keharusannya menjadi demikianrendah, sehingga timbullah keraguan cukup mendalam tentang dimana letaksebenarnya garis batas antara pelaksanaan dan pelanggarannya. Ada sebagianpeneliti yang mencari sebab kebijakan demikian di bidang adat-istiadat dibagian-bagian dunia yang segan menitikberatkan secara tajam hak dan kewajibanmasing-masing pihak, hal mana penulis sangsikan. Meskipun perlu diakui bahwa dilapangan Hukum Internasional yang bersifat khas itu pertimbangan-pertimbangan“tidak langsung” memainkan peranan yang jauh lebih besar di bidang perjanjiandaripada di lingkungan Hukum Nasional, seperti memilih bermacam nama yang menghindarikata perjanjian.

Kita dapat saja mengira bahwa kesamaran demikian tidak dapat timbul dalam hakkewajiban untuk mencapai suatu hasil usaha tertentu (kewajiban hasil usaha/obligation of result).Bayangkanlah kewajiban untuk mencegah terjadinya sesuatu. Namun, dugaan ituternyata tidak tepat. Kesamaran tetap terdapat bila, misalnya, kewajibanbersangkutan mengharuskan menghasilkan suatu “keadaan yang bermanfaat” bagisesuatu.

Tadi telah kita bertemu dengan istilah “hukum lemah” yang kadang dipakai untukmenggambarkan sifat kewajiban yang tidak jelas apakah memang dimaksudkansebagai kewajiban hukum. Kami mencatat disana bahwa penggunaan istilah dalamrangka itu rasanya kurang tepat oleh karena kesamaran disana mengenai batasantara hukum dan bukan-hukum. Istilah “hukum lemah” kiranya lebih tepat untukmenggambarkan kewajiban yang diakui sifat hukumnya namun memberi kelonggarandemikian banyaknya sehingga sukar menentukan garis batas antara memenuhi danmelanggar kewajiban.

Pihak Perjanjian dalam Kenyataandan Pihak Perjanjian Menurut Hukum: Gejala “Perjanjian Administrasi”

Penggolongan suatu perjanjian sebagai Perjanjian Internasional (PI) atausebagai kategori lain menunjuk pada dikuasainya oleh HI atau hukum lain (atau,seperti kita sempat menjumpai tadi, sama sekali tidak dikuasai hukum).Penggolongan itu didasarkan berbagai kriteria, antara lain kedudukan parapihaknya sebagai subyek hukum. Aktor kemasyarakatan yang tidak diakui sebagaisubyek HI tidak dengan sendirinya tidak dapat mengadakan PI sehingga perjanjianhasil kesepakatannya tidak pernah dapat dianggap bersifat PI. Sebaliknyaperjanjian antara para aktor yang jelas subyek HI tidak otomatis bersifat PI,oleh karena mereka dapat saja di samping itu bertindak selaku subyek HN.Bayangkan sekarang perjanjian antara aktor yang tidak jelas kedudukannyasebagai subyek HI namun bertindak dalam rangka hukum publik di negaranya.

Ada kalanya diadakan perjanjian antara alat-alat perlengkapan darinegara-negara berbeda, yang tidak khusus ataupun langsung berwenang danbertugas di lapangan hubungan luar negeri atau antara kesatuan-kesatuanteritorial sesuai sistem otonomi daerah (seperti kota atau propinsi) negaramasing-masing. Kesepakatan dan perjanjian demikian itu mengenai salah satukebijakan di bidang tugas mereka. Tentu ada negara dimana hubungan lintas batasdemikian antara alat-alat perlengkapan ataupun kesatuan negara teritorialdilarang oleh hukumnya, sehingga gejala yang dibayangkan disini tidak terjadi.Akan tetapi, cukup banyak negara-negara dimana hal demikian dapat terjadi danperjanjian-perjanjian demikian ternyata memenuhi kebutuhan bersama dibidangpemerintahan dan pengaturan kemasyarakatan setempat, terutama dikawasan-kawasan yang terletak saling berdekatan namun di negara yang berlainan.[8]Timbullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan hukum perjanjian demikian yangkadang-kadang disebut “perjanjian administrasi”. Apakah perjanjian itu harus,atau boleh, disamakan dengan PI? Tetapi para pelakunya pada umumnya tidakmerupakan (artinya: tidak diakui oleh negara bersangkutan sebagai) subyekHI (pengecualian boleh terjadi di negara federal tertentu). Haruskah kitamenarik kesimpulan bahwa perjanjian semacam itu tidak bersifat “internasional”dalam arti kata lazim sehingga tidak tunduk pada hukum internasional mengenaiPI melainkan harus dianggap dikuasai HN? Di samping itu, siapakah yangselayaknya dianggap sebagai pihak perjanjian? Haruskah negara-negarabersangkutan, biarpun tidak tegas menyuruh, mengizinkan ataupun menyetujui(meskipun tidak melarang) pembuatan perjanjian demikian, dianggap terikatpadanya, meskipun seluruh acara pembuatannya tidak sesuai dengan acara yanglazim untuk PI dan semata-mata oleh karena aktor yang mengadakannya merupakansebagian dari bangunan kenegaraan? Ataukah perjanjian demikian itu hanyamengikat para instansi bersangkutan di lingkungan HN? Tapi jika demikian, tatahukum manakah yang menguasainya, mengingat bahwa perjanjian demikian itu tidakpernah dimaksudkan sebagai suatu perjanjian HN?!

Karangan singkat ini bukan tempatnya untuk menyelidiki persoalan ini secarapanjang-lebar. Namun, mungkin disinipun kita dapat belajar dan mencari sandaran(meskipun hanya secara tidak langsung) di naskah PBB tentang perbuatan negaramelawan hukum 2001, khususnya bab 2 yang berkepala “The‘Act of the State’ under International Law” yang Pasal 5-nyaberbunyi:
“(1) For the purposes of the present articles, the conduct of any Stateorgan acting in that capacity shall be considered an act of that State underinternational law, whether the organ exercises legislative, executive, judicialor any other functions, whatever position it holds in the organization of theState, and whatever its character as an organ of the central government or of aterritorial unit of the State. (2) For the purposes of paragraph 1, an organincludes any person or body which has that status in accordance with theinternal law of the State.”
Keberlakuan di Lingkungan Hukum Nasional (HN)

Perbedaan antara tata HI dan tata HN menyebabkan timbulnya kenisbian tentangmakna PI, berhubung dengan persoalan kedudukan dan keberlakuan HI (ataukhususnya PI) di lingkungan HN. Persoalan ini perlu dikaji dan dijawab olehmasing-masing tata HN sendiri, meskipun tentu hanya sejauh HI bersangkutandapat ada relevansinya dalam lingkungan HI (hukum Internasional) relevansidemikian tidak ada dalam HI yang memang kita kenal ajaran-ajaran tentangkesatuan hukum internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentangperbedaan dan pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akantetapi, ajaran-ajaran muluk ini tidak menghidangkan jawaban langsung apapunatas pertanyaan yang kita hadapi dalam dunia “hukum yang berlaku” (“hukumpositif”). Hal yang kita perlukan untuk memberi jawaban ialah adanya penetapan,atau “pilihan”m yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan perananHI, khususnya PI, dilingkungannya. Pilihan demikian dapat berwujud tanpa ataumelalui suatu tindakan hukum tegas dari tata HN bersangkutan yang termuat diundang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana HN ternyata tidakmelakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaanyang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnyakeputusan-keputusan hakim.

Tata HN dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh HI terhadapHN, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yangberwenang mengadakan peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum dilingkungan HN. Sebaliknya, tata HN dapat juga pada azasnya mengakui kemungkinanperanan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara,yaitu dengan “mengizinkan” isi HI berlaku di lingkungan HN tanpa merubah sifatinternasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai HN dalam bentukperundang-undangan HN pula.

Perbandingan antara sistem-sistem HN menunjuk dua jalan yang dapat dilaluidalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah secara“membuka pintu” bagi HI, yang berakibat HI itu berlaku di lingkungan HN, tanpatindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapatjuga hanya diterapkan sejauh mengenai HI tak tertulis yang biasanya bertepatandengan HI yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yangmenggolongkan HI tak tertulis ini sebagai “law of the land”. Kebijakan iniberdasarkan sangkalan perbedaan antara hukum tak tertulis (“kebiasaan”) yangtercipta di suasana nasional dan internasional, dan yang melalui jalan itu jugamenghasilkan keberlakuan HI tak tertulis di lingkungan nasional. Jalan yanglain perlu ditempuh apabila tata HN, sekalipun yakin akan perlunya penerapanisi HI di lingkungan HN, menganggap perlu adanya suatu tindakan HN tegas agarmencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam UUD atau perundangan biasa. Dalamhal PI, UU persetujuan PI (yang di praktek politik Indonesia disamakan dengan“ratifikasi”) kadang dipakai untuk keperluan ini.

Sebagai alternatif kedua cara “pemberian izin” kepada HI tersebut kita kenalkebijakan menolak secara mutlak keberlakuan HI dalam tata HN. Dalam rangka ini,pemberlakuan isi HI di lingkungan HN memerlukan pembuatan HN yang tegas memuatataupun setidaknya tegas mengundangkan isi HI bersangkutan sebagai HN(transformasi).

Soal ya atau tidaknya tata hukum nasional memberlakukan HI, seluruhnya atausebagian, di lingkungan HN-nya, tanpa “mengubah” sifatnya sebagai HIM, ataupun“hanya” memberlakukan isi HI di lingkungan HN sejauh (“diubah”) bentuk dansifatnya menjadi HN, merupakan soal penting bagi penegak hukum nasional, yangkewenangannya di bidang penerapan hukum terbatas pada hukum yang berlaku dilingkungan hukum nasionalnya. Di samping itu, kebijakan berbeda itu juga memainperanan dalam penetapan kedudukan hirarki kaidah-kaidah hukum yang berasalinternasional dan nasional yang termasuk kewenangan tersebut.

Ruang Lingkup Azas KeterbatasanBerlakunya Antar-Pihak

Titik tolak di bidang hukum perjanjian adalah bahwa perjanjian itu mencerminkankesepakatan antara pihak-pihaknya tentang apa yang mereka inginkan. Dalam rumusanini tersirat penetapan bahwa siapapun yang tidak ikut menyepakatinya dengansendirinya tidak terikat padanya (pacta tertiis nec nocent nec prosunt;perjanjian tidak mengakibatkan keuntungan maupun kewajiban bagi pihak ketiga).Azas ini kelihatannya memang cukup layak, dan kelayakan ini lebih-lebihmenyolok apabila kita memandang perjanjian itu sebagai sumber hak dan kewajibantimbal-balik antar para pihaknya, dengan hak pihak yang satu terhadap pihakyang lain tergabung dengan hak pihak kedua ini terhadap pihak pertama. Memangdisini tidak ada alasan untuk memberi peranan apapun kepada pihak ketiga.

Akan tetapi, PI tidak selalu bersifat timbal balik. Kadang-kadang, dan makinlama makin banyak, sesuai dengan bertambah padatnya hubungan-hubungankemasyarakatan internasional di pelbagai lapangan (“globalisme”) dan sejajardengan perkembangan itu, timbullah dan bertambahlah kebutuhan akan pengaturanhubungan-hubungan yang menyentuh pelbagai masyarakat nasional, dan yangbersifat baik lintas batas maupun tidak, namun tidak bersifat antar negara.Hubungan-hubungan kemasyarakatan itu mengenai bermacam-macam aspek kehidupanyang mencerminkan cita-cita kemasyarakatan, seperti hak azasi manusia,pemberantasan penyakit, hubungan-hubungan keluarga, dan sebagainya. Dengandemikian, PI dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai kesamaan dalammenghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu itu dimasing-masing lingkungan hukum nasionalnya.

Pertanyaan yang kadang timbul adalah: dapatkah dan bolehkah PI yang berlakuantar negara A-B-C-D (yang menyajikan peraturan bersama tentang perlindunganhak-hak azasi manusia, atau merupakan peraturan bersama untukpersoalan-persoalan yang bersangkut dengan adopsi lintas batas, atau berisiaturan bersama tentang pemindahan perselisihan perdata tertentu dari kewenanganpengadilan kekuasaan pewasitan) diterapkan bila orang yang tersangkut dalamperkara HAM itu berkewarganegaraan negara E? Dan bagaimanakah apabila antarapihak hubungan internasional perdata ada yang berkewarganegaraan negara F? Atauapabila ada pihak berpekara digugat di pengadilan negara A untuk tunduk padaacara pewasitan sesuai dengan PI yang mengatur pewasitan, tapi pihak berperkaraitu kebetulan berkewarganegaraan negara X, berhakkah negara X dengan alasan“memberi perlindungan diplomatik” kepada warganya atau dengan alasan lainmenolak penerapan PI tersebut?

Disini kadang tampak kemungkinan adanya suatu salah mengerti tentang makna azaspacta tertiis. Azas ini mengacu pada aspek primer PI, yaitu terjadinyakesepakatan antara negara-negara sebagai subyek HI yang berdaulat. Negara Dtidak terikat pada perjanjian A-B-C, dan oleh karena itu , tidak dapatdiwajibkan tunduk pada isi perjanjian tersebut tanpa persetujuannya sebagainegara berdaulat. Jika obyek perjanjian terdiri dari, misalnya, hak dankewajiban timbal balik antar negara untuk bertindak bersama sebagai persekutuanmiliter, maka negara D tidak dapat dipaksa menurut hukum untuk menyesuaikankelakuannya dengan persekutuan tersebut. Sebaliknya, apabila obyek perjanjianterdiri dari kesepakatan tertentu untuk menghadapi persoalan-persoalankemasyarakatan tertentu secara sama di lingkungan HN masing-masing pihakperjanjian, maka negara D tetap tidak dapat dipaksa berdasarkan hukum untukmenyesuaikan kebijakan dalam lingkungan HN-nya dengan perjanjian tadi. Namun,ia juga tidak berwenang untuk berkeberatan, berdasarkan alasan tidak ikutsertanya sebagai pihak perjanjian, terhadap penerapan isi perjanjian tadi dilingkungan HN negara-negara A, B atau C jika penerapan demikian menyentuh suatuunsur yang berkaitan dengan negara D itu. Sebaliknya, keadaan ini tentu tidakmengurangi kewenangan negara D untuk mengajukan keberatan terhadap penerapanperjanjian itu berdasarkan alasan-alasan lain.

Dalam contoh belakangan ini, perjanjian bersangkutan tidak mengenaihak-kewajiban antar negara yang timbal balik, melainkan merupakan kesepakatan(antar negara) untuk menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatantertentu secara sama dan serupa di masing-masing lingkungan HN-nya. Disiniterletaklah batas ruang lingkup azas pacta tertiis tersebut tadi.

Ruang Lingkup Azas Pacta SuntServanda

Azas ini merupakan inti dan hakekat pengertian perjanjian, termasuk PI. Tentukewajiban yang terisi dalam azas ini, yang bersifat normatif dan tidak memaksadalam arti kata hukum alam, dapat saja dilanggar. Akan tetapi, ciri inti tatahukum adalah, seperti telah pernah disebut tadi, bahwa pelanggaran demikianoleh tata hukum dikaitkan pada akibat-akibat tertentu tanpa persetujuan sipelanggar, sedang kewajiban asal tetap berlaku. Jika isi perjanjian tidak lagimemenuhi kehendak bersama para pihaknya, maka mereka itu tentu bebas untukmengubahnya. Akan tetapi, gagasan pengubahan sepihak adalah sesuatu yang mutlakbertentangan dengan gagasan perjanjian.

Kemungkinan melanggar kewajiban hukum dapat dipandang sebagai kenisbian hukumpada umumnya dan tidak khusus mengenai pengertian perjanjian. Apa lagi, sejauhterjadi di lingkungan HN, terdapat (atau setidak-tidaknya: seharusnya terdapat)alat dan organisasi penegak hukum yang cukup lengkap dan kuat untuk menghadapidan “menghukum” pelanggaran demikian sehingga dapat tertekan terjadinya. Akantetapi, berbeda dari perjanjian di lingkungan HN, PI berada di lingkungan HIyang tidak mengenal organisasi masyarakat lengkap dengan dasar dan pucuknya,termasuk pemegang kekuasaan pusatnya dan alat perlengkapan penegak hukumnyayang berwenang dan nyatanya mampu menjaga dan mempertahankan hukum secaramemaksa. Pada umumnya, baik hukum nasional maupun HI, pada hakekatnya merupakanhasil pergulatan kekuatan-kekuatan di masyarakat. Bedanya, di lingkungan HNpergulatan itu tersalur melalui bermacam bangunan organisasi dan penjagaan danpembagian kewenangan, sehingga seakan-akan disublimasi dan dapat menghindaribentrokan-bentrokan yang merusak kestabilan masyarakat. Sebaliknya, dilingkungan HI aturan hukum hampir seluruhnya semata-mata merupakan buah hasilpergulatan kekuatan antara para subyek hukumnya yang kebebasannya hampirmutlak, berdasarkan titik tolak HI, yaitu kedaulatan negara. Dilihat dari sudutini, kenisbian PI ternyata sekali dari kejadian beberapa waktu yang lalu,ketika presiden AS mengutarakan kesimpulannya bahwa AS tidak lagiberkepentingan dengan adanya Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM Treaty)dan bahwa ia mempertimbangkan mengakhirinya. Ketika ditanya tentang niattersebut, ia menyalahkan orang yang tidak dapat atau tidak mau mengakui bahwazaman dan keadaan dapat saja berganti (dengan akibat kemungkinan perlunya hukumberganti pula).

Pengaruh Kekerasan

Menurut pengertian intinya, dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihamnyadan oleh karena itu tidak dapat lain daripada berdasarkan kehendak bebas. Dilingkungan HN, tata hukum dikuasai, dijaga, dan diatur oleh penguasa atau alatkekuasaan yang benar-benar berkuasa terhadap masyarakat lingkungan HN-nya.Kekuasaan ini dipegang secara monopoli dan mutlak (ingatlah julukan “negaragagal” bagi keadaan sebaliknya). Namun, maklumlah kekurangan duniapengertian-pengertian dibanding kompleksitas kenyataan hidup jika menghadapikeadaan seperti negara Libanon dimana kekuasaan dan kekuatan sebenarnya yangmembela kedaulatan negara terhadap dunia luar untuk sebagian besar berada ditangan organisasi di luar rangka pemerintah. Dalam rangka ini, lihatlahketentuan Pasal 9 dari naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum, 2001.Oleh karena itu, ancaman unsu kekerasan di bidang perjanjian perdata, sekalipundapat saja terjadi, namun biasa ditindak oleh penegak hukum dan pada umumnyatidak merupakan faktor yang dapat mengurangi azas-azas yang berdasarkan hakekatperjanjian.

Lain halnya di lingkungan HI yang berbeda secara mendalam dibanding dengankeadaan nasional. Wewenang menetapkan hukum, yaitu kewenangan politik hukum,seluruhnya pada dasarnya tergantung pada subyek hukum sendiri, terutama padanegara, sehingga dalam perbincangan hukum, unsur pembagian kekuatan, termasukyang akibat kekerasan, perlu diperhatikan dan diperhitungkan. Unsur kebebasankehendak sebagai inti perjanjian dengan demikian menjadi nisbi dalam hal PI.

Di pustaka sejarah politik internasional terkenal istilah “perjanjian tidakseimbang”, yang kadang-kadang diiringi tuntutan pembatalannya. Istilah tersebutkebanyakan mengacu kepada perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampauantara negara-negara Barat yang biasanya lebih kuat dengan kerajaan-kerajaanatau lain kesatuan kenegaraan di luar kawasan dunia Barat yang umumnya lebihlemah, sehingga perjanjian-perjanjian itu seringkali terus terang menguntungkanyang kuat dan merugikan si lemah. Timbullah pertanyaan apakahperjanjian-perjanjian demikian dapat dibatalkan ataupun dianggap batal demihukum.

Dilihat dari sudut kenyataan lingkungan HI seperti kita uraikan tadi, keinginanyang “sesuai rasa keadilan” itu sukar disesuaikan dengan kerangka bangunan tataHI yang belum mengenal larangan mempergunakan daya kekuatan dalam hubunganantar negara untuk menetapkan hak dan kewajiban antar mereka. Kita patut ingatbahwa sebelum terbentuknya tata hukum yang kita kenal semasa pasca Perang DuniaKedua dalam bentuk piagam PBB termasuk larangan kekerasanya, tata HI bahkanmengizinkan, setidak-tidaknya tidak melarang, penggunaan kekuasaan (perang)untuk mencapai keinginan terhadap subyek lain, yang kemudian disahkan (!) dalam“perjanjian perdamaian” atau perjanjian lain. Berlatar belakang ini, kitacondong berkesimpulan bahwa keinginan membatalkan perjanjian “tak seimbang”demi hukum akan gagal. Keinginan yang cukup legitimasi namun tanpa dasar hukumitu hanya dapat tercapai dengan cara penggemblengan kekuatan yang cukup besardan segala cara meyakinkan lainnya (kecuali paksaan dengan kekerasan atauancaman kekerasan, Pasal 52 Konvensi Wina) untuk mencapai perubahan isiperjanjian bersangkutan.

Konvensi Wina, yang dapat kita anggap mencerminkan HI tentang PI menurutkeadaan perkembangannya yang paling baru, mengenal ketentuan-ketentuan tentangperanan kekerasan di bidang PI, yaitu Pasal 51-52. Pasal 51 mengatur halpersetujuan negara untuk mengikat diri pada perjanjian yang diperoleh dengan,artinya sebagai akibat, kekerasan yang dipakai terhadap pribadi pejabat yangmewakili negara bersangkutan. Bagi keadaan demikian, Pasal 51 menentukan bahwa“persetujuan” demikian “tanpa akibat hukum apapun”. Kekerasan terhadap pribadiseseorang cukup jelas, setidak-tidaknya jauh lebih jelas daripada Pasal 52 yangmenetapkan bahwa suatu perjanjian yang terjadi dengan memakai “ancaman ataupenggunaan kekerasan yang bertentangan dengan azas-azas HI yang termuat diPiagam PBB”. Multi interpretasi pengertian-pengertian yang digunakan di kalimatini menunjuk pada kadar kenisbian cukup tinggi.

Penutup

Mudah-mudahan tulisan singkat ini berhasil menambah keyakinan akan tersimpulnyapelbagai kenisbian, kesamaran dan pertanyaan di bidang lembaga perjanjianinternasional yang memerlukan penelitian dan penyelidikan seperlunya, baik dilapangan penerapan hukum praktis maupun di lapangan akademik, bagi kita semua.
-----------------------------------------------------
*Penulis adalah mantan Guru Besar Erasmus Universiteit Rotterdam(1988-1996), pendiri Foundation for the Development of International Law inAsia dan anggota Instituut de Droit International
[1] Pacta sunt servanda merupakanadagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjianmengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’sDictionary.
[2]Pasal 2 ayat (1) ini berbunyi: 1. For thepurpose of the present Convention: (a) ‘treaty’ means an internationalagreement concluded between States in written form and governed byinternational law, whether embodied in a single instrument or in two or morerelated instruments and whatever its particular designation.
[3]Patut kiranya disini ditambah sekedar catatan sampingan tentang pemakaianistilah lain yang adakalanya terlihat dalam hubungan ini, yaitu istilah“publik”, seperti kini juga terdapat di Pasal 1 judul (3) UU 37/1999 tentangHubungan Luar Negeri. Mungkinkah si perancang naskah undang-undang tersebutterjebak kekhilafan yang tersirat dalam penggunaan istilah “hukum internasionalpublik” sebagai “lawan” “hukum perdata internasional”? Di lingkungan (hukum)internasional (atau “dalam rangka tata hukum internasional”) yang tidakmengenal hubungan antara subyek-penguasa dan subyek yang tunduk pada kekuasaan,pertentangan (hukum) antara publik – perdata sebenarnya tidak berlaku (tidakdapat diterapkan). Sebagai contoh patut diajukan pertanyaan apakah adaperbedaan hukum antara PI tentang pinjaman uang antar-negara dan PI tentangpersekutuan militer.
[4]Ketentuan Pasal 102 ini berbunyi :
1. Every treaty and every internationalagreement entered into by any Member of the United Nations after the presentCharter comes into force shall as soon as possible be registered with theSecretariat and published by it.
2. No party to any such treaty orinternational agreement which has not been registered in accordance with theprovisions of paragraph I of this Article may invoke that treaty or agreementbefore any organ of the United Nations.
[5] Lihat Annuaire de l’Institut de droit international
jilid 60-I (persidangan Cambridge, 1983)
[6]Tidak lama berselang Edy Prasetyono (CSIS) dilaporkan (Hukum Online 11 Juni2006) pernah mengutarakan pendiriannya bahwasanya dokumen kesepakatan yangmelahirkan organisasi ASEAN tidak mengikat. Beliau mengaitkan pandangan inidengan kebijakan para pihak bersangkutan untuk ‘hanya menggunakan’ nama‘Deklarasi Bangkok 1967 ‘. Meskipun harus diakui bahwa naskah Deklarasitersebut memang kurang sesuai dengan bentuk lazim naskah pendirian organisasi,kiranya penyangkalan unsur keterikatan dalam comtoh ini patut dipertanyakan.Contoh lain ialah kabar tentang wawancara dengan Presiden AS pada bulan April2005 tentang hubungan AS dengan Afghanistan setelah pemilihan presiden dinegeri itu. Ia menitikberatkan bahwa hubungan strategis tidak mengharuskanpengaturannya dalam perjanjian resmi melainkan cukup diatur dalam bentukpertukaran surat atau dalam suatu Memorandum of Understanding. Tanpamenerangkan alasan-alasan apakah yang menyebabkan kecondongan tersebut.
[7]Lihat, misalnya, Draft Articles onState Responsibility, versi 1996, Report of the ILC, 48th session,1996 (A/51/10) Pasal 19-21.
[8]UU No. 37/1999 tidak memuat sebutan kemungkinan ini, meskipun demikian keluhansalah satu Dirjen Deplu tentang ”banyak perjanjian luar negeri yangdilakukan daerah kurang efektif”, Kompas 7 Agustus 2006, cukup membuat pelik.

















Share
Tweet
Pin
Share