PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA


Oleh Pan M. Faiz
I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukummerupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmuhukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukumsecara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatujenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan inididasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkatketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehinggamempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukumlainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana perannegara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran darihukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubunganinternasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukuminternasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teorivoluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauannegara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasionallepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalammemahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandanganteori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai duaperangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda denganpandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukuminternasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.


II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasionalbersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakandua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan halini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukuminternasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumberpada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauanbersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalamhukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalahnegara;
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum padarealitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukumnasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidakdipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukuminternasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektifwalaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkathukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yanglain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukumnasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak sajaberbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antarasatu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkathukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkanhukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukumnasional.

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukumyang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukuminternasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaituhukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukumini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme inimelahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebihutama antara hukum nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang menganggap hukum nasionallebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebutsebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapanhukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut denganpaham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalamteori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangantangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukuminternasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Pahamini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional padahakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasanyang kemukakan adalah sebagai berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupannegara-negara;
2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak padawewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal darikewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukumnasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukumnasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatanmengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukankeberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendirimenganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukumnasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional

Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurutsumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa sajayang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7,tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional PerampasanKapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam MahkamahInternasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saatini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumberhukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu PiagamMahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Inidisebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernahterbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional,dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalammengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

1. Perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan Internasional;
3. rinsip Hukum Umum;
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagainegara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat ataudibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjekhukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukuminternasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupunantar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjekinternasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan olehperkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasionaldan negara-negara.
Perjanjianinternasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on theLaw of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force)pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedurperjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadihukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalahtraktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute),charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, danlain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda denganperjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadidua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tigatahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16]Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaituperundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukanuntuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuandari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty makingpower). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru ataumenyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana,perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yangcepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasukgolongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan PerwakilanRakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalampembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yangberunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalahteknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjianinternasional.
4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskandan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atasnaskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yangbiasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjianinternasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundinganmultilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakantindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untukmelegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati olehkedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjianinternasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatanterhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan(ratification/accession/acceptance/approval).


IV. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesiadengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukuminternasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karenamengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itupembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkanundang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang PerjanjianInternasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional sepertitertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presidenmempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuanDewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaranlebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadihukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencobamenjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalambentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yangditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalamproses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19]Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukanmelalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yangdiatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dariSurat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk digantidengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diaturdalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000,adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

· Ketentuan Umum
· Pembuatan Perjanjian Internasional
· Pengesahan Perjanjian Internasional
· Pemberlakuan Perjanjian Internasional
· Penyimpanan Perjanjian Internasional
· Pengakhiran Perjanjian Internasional
· Ketentuan Peralihan
· Ketentuan Penutup[20]

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatuperjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatuperjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataanmenerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjianinternasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnyaself-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatuperjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihakterhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasionalmemerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akanmengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatanganinaskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjianinternasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidakmemerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasamateknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinyaberada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah,baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjangdipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatuperjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati olehpara pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlakusetelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang ataukeputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuanDPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan keDPR.[25]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabilaberkenaan dengan:

· masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
· perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
· kedaulatan atau hak berdaulat negara;
· hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
· pembentukan kaidah hukum baru;
· pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawabanatau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telahdibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjianinternasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai denganketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalamPasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalindonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesiamemandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yangberbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikanmenjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjianinternasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melaluiundang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidakserta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia,undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikatterhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasionaltersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenaiperjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasiInternational Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang,maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yangada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalampemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatupelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional sepertiini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumenperjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalamperjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yangmaterinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antarpropinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihaksetelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Share
Tweet
Pin
Share