PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SUASANA HUKUM NASIONAL


oleh Syahmin, AK*
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dampak ke dalam (internal effect) suatuperjanjian internasional sangat erat hubungannya dengan sistem hukum nasionalsuatu negara peserta. Perjanjian internasional tertentu tidak menghendakiadanya ketentuan pelaksanaan, sebaliknya ada perjanjian yang menghendakiketentuan pelaksanaan dalam hukum nasionalnya. Dalam hukum internasionaldikenal dua teori yang menjelaskan perlu-tidaknya ketentuan pelaksanaannasional dalam rangka penerapan perjanjian internasional. Kedua teori dimaksudadalah teori adoption dan incorporation.

Menurut teori adoption, perjanjian internasional mempunyai dampak hukum (legal effect) dalam suasananasional. Perjanjian internasioal tetap mempertahankan sifat internasionalnya(keasliannya), namun diterapkan dalam suasana hukum nasional. Sebagai dasarteori ini adalah aliran monisme, yangmengajarkan bahwa hukum nasional dan hukumiternasional merupakan satu kesatuan dari satu siatem hukum pada umumnya.Sementara itu, menurut teori incorporation, perjanjian internsional ituterlebih dahulu harus diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, baru dapatditerapkan dan menjadi hukum nasional. Teori ini mendasarkan ajrannya padaaliran dualisme, yaitu hukum internasional dan hukum nasional merupakan duasistem hukum yang berbeda. Menurut pandangan kaum dualisme, ikutnya suatunegara dalam perjanjian internasional melalui ratifikasi secara simultan menjadikanperjanjian internasional diinkorporasikan ke dalam sistem hukum nasional.Sebaliknya menurut aliran dualisme yang strict dualist system, perjanjianinternasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional dengan ketentuanyang telah ada. Selama tranformasi ini belum ada dampak ke dalam (internal effect) perjanjianinternasional tersbut tidak ada, kecuali bila ada keputusan hakim nasional ataumengadakan penafsiran hukum nasional, mulai dari asumsi bahwa pembuatundang-undang tidak bermaksud bertindak atau mempertahankan ketentuan yangbertentangan dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional.

Perlu atau tidaknya suatu perjanjian internasional dibuatkan aturanpelaksanaannya jika diterapkan dalam suasan hukum nasional bergantung pada isiperjanjian itu sendiri, yaitu apakan isi perjanjian tersebut mempunyai sifatsebagai perjanjian yang self-excuting?Sebaliknya jika suatu perjnajian tidak berlaku secara otomatis dalam suasananasional, perjanjian internasioal itu berarti memiliki sifat non-self executing.
Jika perjanjian secara otomatis berlaku sebagi hukum internasional, makadapat muncul permasalahannya, yaitu bagaimana status hukum perjanjian tersebutjika berhadapan dengan hukum nasional yang tidak sesuai dengan isi perjanjiantersebut? Dalam hal ini, jika kita kembali pada teori transformasi yangmengajarkan bahwa suatu perjanjian yang telah diajdikan hukum nasional denganjalan transformasi akan mempunyai status yang sama sebagai hukum nasionallainnya, asas lex posterior derogat lege priori akan diterapkan. Sebaliknyajika kita kembali kepada teori adoption yang mengajarkan di mana perjanjianditerapkan sebagai hukum internasiona, statusnya tidak otomatis sama denganhukum nasional, melainkan membutuhkan penetuan sikan dari hukum nasional,ataupun hukum interasional atau praktik. Dalam hal ini, baik teori monismemaupun teori teori dualisme berpendapat bahwa suatu perjanjian dapat efektifberlaku pada akhirnya bergantung pada praktik nasional masing-masing negara.Hal yang jelas perlu diingat bahwa suatu negara bertanggung jawab ataspenerapan perjanjian dalam suasana nasional. Jika penerapannya melanggar hukuminternasional, suatu negara tidak dapat mempergunakan ketentuan hukumnasionalnya sebagai dalil pembelaan dan pembenaran atas pelanggaran tersebut.[1]

Selanjutnya, bagaiman sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalampraktik ketatanegaraan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus meninjaukembali hukum konstitusi, yaitu UUD 1945. UUD 1945 ternyata tidak memberikanjawaban yang jelas mengenai hal tersebut.[2]

Hal itu disebabkan oleh sering kali kaidah-kaidah hukum internasional itumemang tidak jelas atau sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakatinternasional yang sedang mengalami masa transisi dan mengalami perubahan yangbegitu cepat. Dalam pemberlakuan perjanjian internasional, terutama perjanjianyan diwariskan oleh pemerintah kolonial Netherland dan dinyatakan berlaku untukHindia Belanda. Kadang-kadang ditempuh cara tidakan sepihak (unilateral act)akrena tidak ada alternatif lain bagi negara yang menghendaki perubahan cepatatas norma yang dirasakan tidak adil. Karena tidak adanya petunjuk pada UUD1945, mengenai sikap Indonesia terhadap perjanjian ini, Prof. MochtarKusumaatmadja menegasakan sebagai berikut.[3] “...kita tidak menganut teoritransformasi apalagi sistem Amerika Serikat.
Kita condong pada sistem negara Kontinental Eropa..., yakni langsung menganggapdiri kita terikat pada keawajiban melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan perjanjiandan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undangpelaksana...”

Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan sebagai berikut. bahwa sebaiknyakita mengundangkan apa yang telah menjadikan kita sebagai pihak peserta suatu perjanjianyang telah mengikat kita, apalagi kelalaian untuk melakukan hal itu bisamenimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yang berlaku. Sebaliknya, dalambeberapa hal pengundangan demikian tidak perlu, masalahnya tidak menyangkutbanyak orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangatterbatas. Akan tetapi, pengundangan dalam Undang-Undang Nasional mutlakdipelukan, yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam Undang-UndangNasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.”

Dari pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja di atas, jelas kiranya bahwa dalammemberlakukan kaidah hukum internasional khususnya yang berasal dari suatuperjanjian internasional, UUD 1945 tidak memuat petunjuk dan untukmengetahuinya, kita harus melihatnya pada praktik negara kita sendiribagaimana.

D. Indonesia dan Konvensi tentang Pengkuan dan Pelaksanaan keputusan ArbitraseAsing

1. Konvensi Jenewa 1927

Seperti telah penulis utarakan pada bab-bab terdahulu, dengan dikeluarkannya KeppresNo.34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 Presiden Republik Indonesia telahmenerbitkan Keppres No. 34 Tahun 1981 untuk mengesahkan “Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards” yang telah ditandatanganidi New York pada tanggal 10 Juni 1958. Konvensi ini telah mulai terlebih dahulupada tanggal 7 Juni 1959. Republik Indonesia baru menyatakan turut serta padakonvensi ini dengan cara accescion, dan mulai tanggal 5 Agustus 1981.[4] sebelumKonvensi New York 1958 ini dinyatakan berlaku, di Indonesia sebagai ahliwaris dari Hindia Belanda berlaku Konvensi Jenewa 1927 tenang pelaksanaanKeputusan –keputusan Arbitrase luar negeri.[5] Akan tetapi, sering timbul perbedaanpaham mengenai masih berlaku atau tidaknya konvensi tersebut setal RImenjadi negara yang berdaulat. Dengan kata lain, masih berlaku atau tidaknyaperjanjian internsional sehubungan dengan telah terjadinya suksesi negara/pergantian negara (succession of state)dari Hindia Belanda sebagai negara yang digantikan (predecessorstate) kepada negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negarapengganti (sucessor state).[6]

Sehubungan dengan hal tersebut, suksesi negara ini dapat dibedakan antarapengertian yuridis dan pergantian menurut kenyataan.

Pergantian negara karena kenyataan dapat terjadi karena perubahan yangdisebabkan oleh penggabungan satu dan/atau lebih negara menjadi federasi,konfederasi, atau negara kesatuan, dapat juga karena sesi, aneksasi,dekolonisasi.[7]

Hal yang menyangkut maslah kita sekarang adalah pergantian negara karenaperubahan karena dekolonisasi. Bagaimanakah nasib perjanjian internasionalkarena dekolonisasi? Dalam hukum internsional dibedakan antara personaltreaties dan inpersonal treaties, serta dispositive. Personal treaties ialah perjanjianyang dibuat oleh kepala negara/kepala pemerintahan secara pribadi sebagaikepala pemerintahan. Perjanjian demikian tidak akan beralih kepadapenggantinya. Bentuk perjanjian tidak akan beralih kepada penggantinya. Bentukperjanjian demikian yang personal dapat berbentuk perjanjian yang bersifatpolotis, baik bilateral maupun multilateral. Contoh perjanjian yang bersifatpolitis adalah perjanjian persahabatan, persekutuan (aliansi) pemberianbantuan, dan lain sebagainya. Dapat pula berupa kerja sama dalam bidangperadilan, misalnya perjanjian ekstradisi dan konvesi tentang pengakuan danpelaksanaan keputusan hakim arbitrase luar negeri.

Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian yang termasuk dalam kategoridispositive adalah perjanjian yang menyangkut wilayah negara atau tanah.Perjanjian ini membebani suatu wilayah dengan status hukum, misalnyapernjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan, dan lain sebgainya.Perjanjian ini mengikatkan negara dan tetap mengikat negara tersbut, meskipun negaratersebut, meskipun telah terjadi suksesi negara.

Ternyata dengan timbulnya negara-negara baru setelah Perang Dunia II dalampenyelesaian maslah pernjanjian internsional yang dibuat oleh negarapenjajahnya timbul praktik yang berbeda-beda. Mereka tidak seluruhnya menaatiteori di atas. Dalam hukum internasional, ada dua doktrin yang populer yangdapat dipakai untuk menganalisis sikap negara-negara baru dalam hal perjanjianinternsional sehubungan suksesi negara. Doktrin tersebut ialah acquired rigths doctrine atau vested rights doctrine dan clean state doctrine.

Menurut acquired rights doctrine,hak yang telah diperoleh oleh negara yang diganti beralih kepada negara yangmenggantikannya. Teori ini juga disebut dengan teori universal. Sementara itu,doktrin yang kedua berpendapat bahwa negara baru tidak dibebani dengankewajiban yang timbul dari perjanjian internsional yang mengikat negara tersbutsebelum terjadinya suksesi negara. Doktrin ini juga disebut free choice doktrine. Ternyatadalam praktiknya, doktrin tersebut tidak dapat diikuti dengan strict danpenyelesaian masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesinegara berbeda-beda, bergantung pada sikap negara-negara baru yangbersangkutan.

Cara lain untuk menyelesaikan masalah perjanjian internsional sehubungan dengansuksesi negara ialah dengan cara membuat inheritanceagreement atau disebut perjanjian peralihan. Perjanjian peralihanini merupakan cara agara beralihnya hak dan kewajiban yang timbul dari suatuperjanjian internasional dalam rangka suksesi negara dapat berjalan denganlancar. Sebagai contoh untuk perjanjian peralihan ini adalah perjanjian yangdibuat antara negara bekas jajahan Prancis dengan Prancis. Indonesia sendirimengadakan perjanjian dengan Kerajaan Belanda, mulai dari perjanjianLinggarjati tentang penyerahan kedaulatan (1947), dan ditindaklanjuti denganperjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang masalah Irian Barat (1949),kemudian disertai dengan perjanjian peralihan yang menampung kedudukanperjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda yangdinyatakan berlaku bagi Hindia belanda. Pasal 5 ayat (1 dan 2) PerjanjianPeralihan KMB menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh Belanda tidakotomatis berlaku bagi bekas jajahannya di Netherlands Indie. Namun, setelahpemutusan perjanjian KMB, sikap Indonesia tetap bahwa perjanjian internasionalyang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dan dinyatakan berlaku bagi wilayahHindia Belanda tidak otomatis berlaku bagi Indonesia.[8]

Masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan terjadinya suksesinegara dapat diatasi dengan adanya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negaradalam hubungannya dengan penghormatan pada perjanjian internasional (Vienna Convention on Sucession of State inRespect of Treaties) yang diterima PBB pada 23 Agustus 1978.

Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak dapatmemengaruhi apa pun terhadap garis batas wilayah dan hak yang berhubungandengan rezim perbatasan yang ditetapjan oleh perjanjian internasional.[9]Sementara itu, Pasal 12 ayat (1,a-b) menetapkan pembentukan basis/pangkalanmiliter asing di wilayah negara itu karena terjadinya suksesi negara tidakmengikat negara pengganti.[10] Jadi, Pasal 12 (3) merupakan pengecualian atasprinsip yang ditetapkan dalam Pasal 12 (1,2). Pasal 11 dan Pasal 12 (1,2)sesuai dengan teori dispositive treaties tetap belaku, meskipun telah terjadisuksesi negara. Isi ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 62 (2,a)Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menegaskan bahwa perubahanmendasar tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjianperbatasan.[11]

Kembali lepada persoalan, bagaimanakah sikap Indonesia terhadap perjanjianinternacional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan dinyatakanberlaku bagi Hindia Belanda dalam hubungannya dengan telah terjadinya suksesinegara pada tahun 1945? Setelah berlakunya KMB sebagai perjanjian peralihan(devolution agreement), ternyata hubungan antara Indonesia dan Negeri Belandatidak harmonis karena masalah Irian Barat, di mana pada saat itu Irian Baratmasih tetap dikuasai oleh Kerajaan Belanda.

Perselisihan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat itu,kemudian dipergunakan oleh Indonesia untuk membatalkan secara sepihak hubungandengan pihak Kerajaan Belanda. Republik Indonesia dengan menggunakan prinsiprebus sic stantibus dan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 tahun 1956[12],menyatakan tidak terikat lagi pada Perjanjian KMB, dan secara tegas telahmemutuskan ikatannya dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut. Setelahpemutusan terhadap perjanjian KMB, sikap Indonesia terhadap perjanjianinternasional dalam kaitannya dengan suksesi negara berlandaskan pada UU No. 13tahun 1956. Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan Indonesia kepadaSekretaris Jenderal PBB (sebagai deposan untuk perjanjian yang didaftarkan padaLBB/PBB sesuai dengan ketentuan Pasal 102 (1) Piagam PBB) Indonesia secarategas menyatakan sikap tetap terikat oleh beberapa konvensi, antara lain adalah: Convention for the Settlement of CertainConflicts of Laws in Connection with Cheques and Protocol (Geneva March 19,1931); Convention on the Stamps Laws in Connection with Cheques(Geneva, March 19, 1931), Convention Providing Uniform Law for Cheques andProtocol (Geneva, March 19 1931). Oleh karena itu, untuk selanjutnya sikapRepublik Indonesia terhadap perjanjian internasional yang dahulu dibuat olehKerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, tidak secaraotomatis berlaku. Hal ini sesuai dengan Surat Departemen Luar Negeri RepublikIndonesia tanggal 19 Desember 1972 o. 12727, yang pada pokoknya berbunyisebagai berikut:

“…Praktik yang dianut oleh Indonesia dewasa ini ialaha bahwa Republik Indonesiahanya menjadi pihak pada suatu perjanjian yang dahulu dibuat oleh Nederland dandinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, selama Republik Indonesia secara tegasmenyatakan demikian, sesuai dengan prosedur dalam hukum perjanjianinternasional, kecuali mengenai perbatasan.”[1]

Kembali pada persoalan. Bagaimana sikap Republik Indonesia terhadap KonvensiJenewa 1927 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Hakim Arbitrase LuarNegeri? Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama dikemukakanoleh Prof. Sudargo Gautama sebagai berikut.

“…kami sendiri berpendapat bahwa Konvensi Jenewa tahun 1927 ini masih berlakuuntuk negara kita. Hal ini disebabkan oleh karena dalam Konferensi Meja Bundar,dalam pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuankedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dihubungkan denganPenetapan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka persetujuaninternasional yang berlaku untuk wilayah Republik Indonesia pada saatpenyerahan kedaulatan tetap berlaku.”[2]

Jika kita hubungkan dengan pendapat yang telah penulis utarakan di muka,agaknya Prof. Sudargo Gautama ini menganut teori acquired rights/vested rights,atau juga disebut dengan teori universal.

Pendapat kedua dianut oleh Prof. Asikin Kusumaatmadja, yaitu sebagai berikut.“Konvensi ini sudah tidak berlaku lagi sejak Konferensi Meja Bundar. Hal inidisebabkan oleh karena tidak ada pernyataan secara tegas dan aktif oleh pihakIndonesia bahwa kita hendak menganggap diri terikat pada konvensi itu.”
Pendapat yang kedua ini tampaknya sesuai dengan doktrin clean state.

Agaknya terhadap pendapat yang berbeda-beda sebagaimana telah penulis paparkandi atas masing-masing mempunyai pendukungnya. Sekali lagi penulis tegaskanbahwa adanya perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya ketentuanperundang-undangan kita yang tegas-tegas mengatur masalah tersebut.

2. Implementasi Konvensi New York 1958 di Indonesia

Seperti telah penulis utarakan pada bagian awal pembahasan bab ini, Indonesiamenjadi peserta Konvensi New York 1958 dengan pernyataan ikut serta (aksesi)melalui Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981. 
Aksesi ini didaftarkan pada SekretariatJenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Oktober 1981.
Indonesiahanya mengajukan persyaratan (reservation) pertama saja, yaitu reciprocity principles (asasperberlakuan secara timbal balik).

Aksesi ini merupakan langkah penting terhadap perkembangan iklim arbitrase diIndonesia. Hal ini penting karena dewasa ini dengan semakin meningkatnyakontrak internasional yang diadakan oleh pengusaha Indonesia dengan pihakasing, di mana klausul arbitrase tercakup di dalamnya, keppres tersebutmerupakan bukti bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menghormati klausultersebut beserta akibat hukum yang ditimbulkannya.

Meskipun Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York 1958, yang berarti bahwaketentuan-ketentuan konvensi tersebut mengikat Indonesia, ternyata dalampelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yangdibuat di luar negeri muncul. Masalah ini baru berkisar pada adanya duapendapat yang saling bertolak belakang antara Mahkamah Agung Republik Indonesiadengan para pakar hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa meskipun pemerintah Republik Indonesia telahmengaksesi konvensi melalui Keppres No. 34 tahun 1981, namun dengan adanyaperundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti keputusan arbitrase yangdibuat di luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah berpendapatperlu adanya peraturan pelaksanaan dari keppres tersebut agar pelaksanaan(eksekusi) suatu keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan. LengkapnyaMahkamah menyatakan sebagai berikut.

“Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masihberlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusiputusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri,kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukanmelalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusantersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukuminternasional bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonanpelaksanaan putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapatditerima.”[3]

Sebaliknya, Prof. Dr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa keppres tersebut tidakperlu dijabarkan oleh peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Menurutbeliau, sebuah keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan denganundang-undang yang menentukan. Untuk itu, diperlukan peraturan pelaksanaan.Beliau memberikan sebuah contoh tentang pasal 43 Undang-undang Nomor 1 TentangPokok-pokok Perkawinan di Indonesia Tahun 1974 yang menentukan bahwa anak diluar kawin mengikuti status hukum sang ibu. Hubungan lebih lanjut antara Ibudan anak dengan keluarga sang ibu akan diatur lebih lanjut dalam peraturanpemerintah. Peraturan pemerintah ini hingga kini belum pernah diterbitkan.

Menurut hemat penulis, sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antarapemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dengan para pakar hukum bilayang dipertentangkan itu hanya soal perlu tidaknya peraturan pelaksanaan.Kehendak pemerintah ketika mengaksesi Konvensi New York 1958 sudah jelas antaralain adalah untuk terikat kepada ketentuan-ketentuan Konvensi New York tahun1958 dan menghormati secara timbal balik keputusan hakim arbitrase yang dibuatdi luar negeri. Sebagai konsekuensi dari tindakan itu sudah barang tentupemerintah seyogianya berupaya agar keputusan hakim arbitrase asing yang dibuatdi luar negeri tersebut dihormati dan dilaksanakan.

Peran pemerintah disini sudah jelas, yakni sebagai alat pengontrol terhadapkeputusan tersebut agar benar-benar dapat dilaksanakan di dalam negeri. Jadi,peran kontrol inilah yang diemban oleh pemerintah. Sementara itu, yang memegangkendali utama dan sebenarnya dalam hal ini adalah tetap ada pada para pihakyang telah membuat klausul arbitrase dan menetapkan arbitrasenya, sertakesepakatan untuk melaksanakan segala keputusan yang dikeluarkan oleh arbitraseyang bersangkutan.

Seperti telah diutarakan pada bab terdahulu, masalah keputusan hakim arbitraseasing di Amerika Serikat tidak begitu menjadi masalah yang terlalu signifikanlagi karena memang para pihak (terutama para pengusaha di negeri Paman Sam itu)telah benar-benar konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah mereka tuangkandi dalam klausul arbitrase. Jadi, peranan pengadilan di sana tidak begitubanyak. Memang untuk para pengusaha di Indonesia, tampaknya komitmen dan tarafpemahaman, penghargaan terhadap klausul arbitrase belum setara dengan parapengusaha di luar negeri (Amerika Serikat) yang telah cukup lama berkecimpungdalam lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa komersialmereka. Di tanah air, pengenalan terhadap lembaga arbitrase saja masih minimsekali. Bukan saja bagi kalangan pengusaha, tetapi juga di kalangan perguruantinggi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikeluarkannya Peraturan Mahkamah AgungRepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990, sekaligus menjawab dua masalah penafsiranhukum yang saling berkaitan yang telah lama berkembang. Masalah pertama, apakahsuatu keppres memerlukan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atautidak, sebagaimana halnya dengan undang-undang? Masalah kedua, badan peradilanmanakah yang memiliki wewenang untuk menangani masalah pelaksanaan keputusanhakim arbitrase asing tersebut?

Masalah pertama, sehubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia telahmengaksesi Konvensi New York tahun 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun 1981,tanggal 5 Agustus 1981. Namun, baik Konvensi New York 1958, maupun keppresnyasendiri tidak mengatur tentang bagaimana prosedur pelaksanaan kepuytusanarbitrase sehingga timbul reaksi dari para ahli hukum kita. Seperti telahdiutarakan di muka bahwa keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, tetapipihak pemerintah menganggapnya perlu. Mengulangi pernyataan sebelumnya, menuruthemat kami, peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 itu sekaligus merupakanpenjabaran dan petunjuk lebih lanjut dari Keppres No. 34 tahun 1981, bukanperaturan pelaksanaan sebagaimana lazimnya yang dikehendaki oleh peraturanperundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa kepprespun, bila pemerintah menganggap perlu, dapat dibuatkan aturan pelaksanaan.

Masalah kedua, yaitu siapakah dan atau lembaga peradilan mana yang berwenangmenangani masalah putusan arbitrase asing tersebut? Terjawab dengan ketentuandalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1990 itusendiri bahwa badan yang diberi kewenangan untuk menangani masalah yangberhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim arbitrase asingitu adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua pendapat mengenai perlu tidaknyakeppres dibuatkan aturan pelaksanaannya telah mengundang perdebatan yang sengitdan memperoleh tanggapan yang saling bertolak belakang antara satu pihak daripemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan pihak pakar hukumIndonesia. Akhirnya, telah terjawab dengan keluarnya Peraturan MahkamahRepublik Indonesia Nomor 1 tahun 1990 itu dimungkinkan. Karena tidak adanyaketentuan dalam peraturan hukum nasional Indonesia yang mengatur, bagaimanakahpenerapan perjanjian internasional sebagai pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945?Meskipun ada Surat Presiden No. 2826, dan telah dijadikan sebagai pedoman dalamhubungannya dengan pelaksanaan Pasal 11 sesuai dengan konvensi ketatanegaraan,pelaksanaan Surat Presiden No. 2826 dalam praktiknya belum dilaksanakan secarakonsisten dan konsekuen. Akibatnya praktik negara kita sehubungan denganperjanjian internasional masih banyak masalah yang harus dibenahi.
------------------------------------
*Dari buku Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada,2006: hal.186 s/d 205
[1]Budi Lazurusdi dan Syahmin AK., Op. Cit., hlm. 95.
[2]Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm. 68
[3]Sudargo Gautama, Ibid., hlm. 57.

[1]Periksa Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.
[2]Mochtar Kusumaatmdja, Op.Cit., hlm.87.
[3]Ibid., hlm.87.
[4]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40. Lihat Lampiran II bukuini
[5]Staatsblad Tahun 1933 No.131.
[6]Salah seorang pakar hokum internsional yang banyak mencurahkan perhatian danbanyak melakukan penelitian tentang succession of state ini adalah D.P.O.Connel. Karya tulidsnnys yang amat terkenal itu di antaranya ialah: The Law ofState Succession, dan State Sucession in Municipal Law and Internasional, danState Succession and Problems of Treaty Interpretation, Mac Millan & Co.,Ltd, London.
[7]Syahmin AK., Hukum Perjanjian Internasional: Menurut Konvensi Wina 1969,(Bandung CV Armico, 1988), hlm.196; Lihat pula Budi Lazarusli dan Syahmin AK.,Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internsional (Bandung: CV.Remadja Karya, 1986), hlm.6 dan seterusnya.
[8]Lihat, Keppres No.33 Tahun 1950, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2Tahun 1950.
[9]Konvensi Wina Tahun 1978, Article 11 – “Boundary Regime” merumuskan: Asuccession of States does not as such affect;
(1) a boundary established by treaty; or
(2) obligations and rights established by a treaty and relating to the regimeof a boundary.
[10]Article 12 par.(3) merumuskan sebagai berikut.
The provision of the present article do not apply to treaty obligations of thepredecessor State providing for the establishment of foreign military bases onthe territory to which the sucession of States relates.
[11]Article 62 tentang Fundamental change of circumstances: par. (2.a) merumuskan:fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground forterminating or withdrawing from a treaty:
(a) if the treaty establishes boundary.
[12]Lihat Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1956.
































Share
Tweet
Pin
Share