CATATAN ATAS MASALAH AKTUAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL


olehHikmahanto Juwana

I. Aliran di Indonesia : Dualisme atau Monisme?
Dalam praktek tidak perlu dipermasalahkan apakah Indonesia menganut fahammonisme ataupun dualisme. Dalam praktek yang penting adalah kepentingannasional.

Masalah transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidakterkait dengan monoisme ataupun dualisme. Teori monoisme dan dualisme berlakuapabila ada pertentangan antara hukum nasional dan hukum internasional.Pertanyaannya adalah dalam situasi demikian mana yang harus berlaku.

Bila dicermati masalah transformasi ketentuan dalam perjanjian internasional kedalam hukum nasional akan berlaku di banyak negara. Ini karena ketentuan dalamperjanjian interasional mengikat negara yang mengikuti, namun tidak berartilangsung mengikat warga yang berada di negara tersebut. Memang harus diakui adaperjanjian internasional yang langsung mengikat seperti Statuta Roma.

Oleh karenanya bila perjanjian internasional belum ditransformasi ke dalamhukum nasional, istilah di Indonesia dibuat dalam peraturan pelaksanaan, makahakim ataupun aparat hukum belum bias menegakkannya. Tidak mungkin hakimmenggunakan Perjanjian Internasional yang telah diikuti oleh Indonesia untukmempersalahkan terdakwa.

Oleh karenanya setiap perjanjian internasional yang telah diikuti olehIndonesia yang memuat kewajibannya untuk dilaksanakan ditingkat nasional (baikyang diratifikasi maupun tidak) perlu untuk diterjemahkan atauditransformasikan ke dalam hukum nasional. Maka perjanjian internasional yangtelah diikuti tidak berhenti sampai disitu. Pemerintah mempunyaikewajiban untukmenyisir berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia dan menemukan manayang bertentangan dan mana yang belum diatur. Bila bertentangan maka perluuntuk dilakukan amandemen, sementara yang belum diatur perlu untuk dibuataturannya. Sebagai contoh keikutsertaan Indonesia dalam UN Convention on AntiCorruption saat ini sedang dilakukan penerjemahan ke dalam hukum nasional. UUTindak Pidana Korupsi yang berlaku akan diamandemenkan dan disesuaikan denganUNCAC. Bila ada kasus yang menggunakan langsung UNCAC tentu ini tidak bisadilakukan karena tidak mungkin terdakwa dijerat dengan perjanjianinternasional. Bila ada ketentuan yang bertentangan antara UNCAC dengan UU TPKmaka UU TPK yang berlaku karena UNCAC belum merupakan hukum positif di Indonesia.

Disamping itu, ada contoh lain perlunya peraturan pelaksanaan yaitu keberlakuanNY Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.Mahkamah Agung tidak melaksanakan pelaksanaa putusan arbritase asing yangdiminta setelah Indonesia meratifikasi pada tahun 1981 dengan alas an belum adaperaturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaan ini penting karena memuatketentuan pengadilan mana yang mempunyai wewenang untuk menerima danmengabulkan permintaan putusan dan lain sebagainya. Barulah setelah diterbitkanPeraturan MA No. 1/1990 permohonan untuk melaksanakan putusan arbritase asingdapat dilakukan.

Perlu diperhatikan disini bahwa tidak ada kaitan antara instrument untukmeratifikasi suatu perjanjian internasional dengan peraturan perundang-undanganyang mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional. Instrumenuntuk meratifikasi dalam UU Perjanjian Internasional ditentukan dapat berbentukUU maupun Peraturan Presiden sesuai dengan criteria yang ditentukan. 
Instrumen ini yang harus disampaikan ketempat yang menerima deposit untuk menandakan keikutsertaan Indonesia. Namuninstrument ini tidak dapat digunakan untuk keberlakuan perjanjian internasionaltersebut, sepanjang ketentuan yang ada belum diterjemahkan ke dalam hukumnasional.

Dalam konteks demikian, meskipun Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement,ICCPR, dan banyak lagi, namun bila ketentuan ini belum ditransformasikan makaberbagai kewajiban tersebut tidak bisa dijalankan (enforced) di Indonesia. Inimerupakan kewajiban dari pemerintah mengingat pemerintah merupakan pemegangkekuasaan membuat peraturanperundang-undangan.

Jenis peraturan perundang-undangan yang akan digunakan pun akan tergantung darimateri yang ada dalam perjanjian internasional. Sebagai contoh bila ketentuanyang hendak ditransformasikan ternyata bertentangan dengan suatu UU maka jenisperaturan perundang-undangan yang dibutuhkan adalah UU. Hal ini karena tidakmungkin ketentuan UU diubah dengan peraturan perundang-undangan yang adadibawahnya. Namun bila belum ada ketentuan yang mengatur dalam peraturanperundang-undangan di Indonesia, maka pemerintah dapat lebih fleksibel dalammenentukan jenis peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, ketentuan yangmengatur anti-dumping sebagai pelaksanaan dari WTO Agreement diakomodasi dalamPeraturan Pemerintah. Namun ketentuan yang mengatur tentang safeguard diaturdalam Keputusan Presiden




II. Apakah perjanjian internasional perlu didefinisi ulang sehingga mencakupsemua perjanjian yang bersifat transnasional?

Perjanjian internasional tidak perlu didefinisi ulang. Perjanjian negara yangbersifat transnasional harus diperhatikan dengan baik karena disini negaramempunyai dua fungsi. Ini mengingat istilah transnasional merujuk pada objekpermasalahan atau perjanjian yaitu sepanjang lintas batas. Padahal dalamperjanjian transnasional tercakup perjanjian internasional dan kontrak bisnisinternasional yang berdimensi public.

Perjanjian internasional tentu harus merujuk pada Konvensi Wina. Sementara untukkontrak bisnis internasinal yang berdimensi public melihat negara dalamfungsinya sebagai pedagang atau iure gestionis.

Kalaupun di Indonesia pernah ada kesalahan maka kesalahan tersebut tidak dapatdijadikan preseden mengingat secara teori tidak dapat dibenarkan. Negara harusdibedakan secara tegas apakah sebagai institusi public (iure imperii) atausebagai subyek hukum perdata (iure gestionis). Prosedur sebagai iure imperiidan iure gestionis tidak dapat dicampur-adukkan.


III. Apakah loan agreement adalah perjanjian internasional?

Bergantung dengan siapa pemerintah Indonesia membuat loan agreement, maka loanagreement bias merupakan kontrak bisnis internasional yang berdimensi publicatau perjanjian internasional.

Bila pihak ketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalahsubyek hukum perdata (commercial bank, misalnya) maka perjanjian merupakankontrak bisnis internasional yang berdimensi public. Sementara bila pihakketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalah subyek hukuminternasional, seperti negara atau organisasi internasional, maka loanagreement akan masuk dalam kategori perjanjian internasional.

a. Perjanjian PLN berupa Kontrak Bisnis yang Berdimensi Publik

Dalam lapangan hukum perjanjian (yang merupakan subcabang dari hukum perdata)maka perjanjian dimana salah satu pihaknya adalah Negara akan disebut sebagai“Kontrak Bisnis yang Berdimensi Publik (Government Contract)”. Istilah inimengindikasikan bahwa sifat hubungan yang dilakukan adalah perdata namun karenasalah satu pihaknya adalah pemerintah maka terdapat dimensi publiknya.Perancangan maupun penelaahan terhadap perjanjian seperti ini harusmemperhatikan hukum perdata maupun hukum public. Salah satu konsekuensi hukumadalah apabila ada cidera janji oleh Negara maka sengketa tidak diajukan keperadilan administrasi melainkan kepada peradilan perdata yang dapat berupapengadilan ataupun arbritase (tergantung dari kesepakatan para pihak).

Perlu juga dicatat bahwa dalam hukum perdata dikenal hukum perdatainternasional, yaitu hukum perdata dimana terdapat elemen asing. Paralel denganpemahaman tersebut, dalam perjanjian pun dikenal Kontrak Bisnis Internasional.Mengingat dalam transaksi bisnis sering juga Negara menjadi subyek hukumperdata, semisal pemerintah Indonesia membeli pesawat tempur dari perusahaanAS, maka ada juga “Kontrak Bisnis Internasional yang Berdimensi Publik”. Disinimengindikasikan bahwa suatu perjanjian mana terdapat elemen asing dimana salahsatu pihaknya adalah Negara.

b. Perjanjian PLN berupa Perjanjian Internasional yang bersifat Perdata

Masalah perjanjian sebenarnya tidak hanya dikenal dalam cabang ilmu hukumperdata. Perjanjian juga dikenal dalam cabang ilmu hukum internasional(public). Bahkan dalam hukum internasional salah satu sumber hukum yangterpenting adalah perjanjian. Perjanjian dalam hukum internasional seringdisebut sebagai perjanjian internasional yang harus dibedakan dengan istilahkontrak (bisnis) internasional. Perjanjian internasional dilakukan oleh subyek-subyekhukum yang dikenal dalam cabang ilmu hukum internsional. Dua subyek hukuminternasional yang sangat menonjol untuk melakukan perjanjian yaitu Negara danOrganisasi Internasional. Perjanjian ini mengatur berbagai hal yang sangatvariatif, mulai dari masalah tapal batas, pengaturan perdagangan internasional,ekstradisi hingga kerjasama antar negara untuk memerangi terorisme. Perjanjiandapat bersifat bilateral maupun multilateral tergantung dari jumlah pesertanya.

Selanjutnya, klasifikasi perjanjian internasional dapat dilakukan atas dasarmateri yang diatur. 
Paling tidak ada dua klasifikasi yang penting dalam perjanjianinternasional bila melihat substansi yang diatur. Pertama adalah PerjanjianInternasional (PI) yang bersifat public dan kedua adalah PI yang bersifatperdata. Adapun yang dimaksud dengan PI yang bersifat public adalah PI dimanaNegara menjalankan fungsinya sebagai institusi public (iure imperii). SementaraPI yang bersifat perdata adalah PI dimana Negara menjalankan fungsinya sebagaiinstitusi perdata (iure gestionis). Perjanjian tapal batas, pengaturanperdagangan internasional dan ekstradisi masuk dalam kategori PI yang bersifatpublic. Sementara PI yang bersifat perdata adalah PI pinjam-meminjam antarnegara, bahkan transaksi perdata yang dilakukan antar pemerintah.

Karena ada perbedaan klasifikasi berdasarkan substansi PI ini beberapa konsepmaka dalam hukum internasional terimbas. Salah satunya adalah imunitas negaratidak lagi absolute. Imunitas untuk tidak dapat diadili di suatu negara berlakuuntuk PI yang bersifat public. Penyelesaian sengketa ini biasanya dilakukan diforum internasional seperti International Court of Justice (bila disepakatioleh para pihak). Sementara untuk PI yang bersifat perdata tidak dikenalimunitas, atau imunitas akan diminta untuk dikesampingkan (baik secaradiam-diam maupun tegas). Pengenyampingan terhadap imunitas secara tegasdituangkan dalam PI yang bersifat perdata melalui klausula “Waiver ofImmunity”.

c. Penandatnganan perjanjian : Menteri Keuangan atau Menteri Luar Negeri?

Bila diperhatikan dua kategorisasi perjanjian yang telah diuraikan, yaituKontrak Bisnis yang Berdimensi Publik dan PI yang bersifat Perdata, maka munculpertanyaan siapakah yang berwenang untuk menandatangani kedua kategoriperjanjian tersebut.

Bila dirujuk UU 24 dan UU 17, maka tidak dapat dihindari bahwa ada kesan rancu.Kerancuan ini karena tidak membedakan secara rinci katagorisasi perjanjian PLN.

Lebih lanjut perumusn dalam Pasal 10 kurang akurat karena menggeneralisasisemua perjanjian internasional tanpa membedakan antara PI yang bersifat publicdan yang bersifat perdata. Seharusnya pembentuk UU mengenali perbedaan inisehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatngani perjanjian. Dugaan kamipembedaan ini tidak dilakukan karena RUU disiapkan oleh Departemen Luar Negerisehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatangani perjanjian. Dugaan kamipembedaan ini tidak dilakukan karena RUU disiapkan oleh Departemen Luar negerisehingga apapun perjanjian internasional harus ditandatangani oleh Menteri LuarNegeri. Bila ini yang terjadi maka terjadi perubahan drastic dari praktekselama ini sehubungan dengan perjanjian PLN yang berupa PI yang bersifatperdata.

Ini tentunya bertentangan dengan UU 17 yang menyebutkan bahwa Menteri Keuanganmempunyai tugas melakukan perjanjian internasional dibidang keuangan. PerumusanUU 17 terjadi mungkin karena RUU dipersiapkan oleh Departemen Keuangan dansekedar melembagakan apa yang selama ini terjadi.

Menurut hemat kami permasalahan ini dapat diselesaikan melalui kebijakanPresiden Terlebih lagi surat kuasa yang tidak ada jangka waktu oleh MenteriLuar Negeri kepada Menteri Keuangan yang dibuat pada Menlu Alwi Shihab masihberlaku.

Pada akhirnya yang penting untuk diperhatikan siapa yang berhak untuk mewakiliPemerintah. Menteri Keuangan ataupun Menteri Luar Negeri sama akan mewakili RIdalam perjanjian PLN.


IV. Apakah nomenclature membedakan bobot juridis suatu perjanjianinternasional?

Penamaan atau nomenclature dari perjanjian internasional sama sekali tidakmenentukan bobot juridis. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Konvensi Wina,instrument internasional ataupun peraturan perundang-undangan nasional.

Dengan demikian secara teknis perjanjian internasional dapat diberi nama Treaty,Convention, Covenant, Agreement, Protocol, bahkan Memorandum of Understanding(MoU). Hanya untuk yang terkahir perlu diperhatikan karena istilah inimempunyai dua pengertian dan bukan karena penerapan di negara common law.

MoU secara teoritis merupakan ikatan moral, bukan ikatan hukum. Namun dalampraktek kerap tidak dibedakan antara ikatan moral ataupun ikatan hukum. Halpenting untuk diperhatikan adalah melihat substansi. Apabila substansi berisiikatan hukum bahkan diintensikan sebagai ikatan hukum maka MoU berisiharapan-harapan dan masih akan ditindklanjuti dengan ikatan hukum berupaperjanjian internasional maka MoU tersebut merupakan ikatan ikatan moral yangtidak dapat mempunyai dampak sebagai perjanjian internasional.

V. Apakah lembaga negara di luar eksekutif (MA, BPK, DPR) dapat membuatperjanjian internasional?

Lembaga negara di luar Presiden tidak dapat membuat perjanjian internasionalyang mengikat Indonesia sebagai negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 UUD1945.

Namun lembaga-lembaga negara dapat membuat perjanjian dengan mitra darilembaga-lembaga negara lain sepanjang tidak untuk kepentingan negara RI.Perjanjian demikian biasanya lebih untuk mempererat hubungan antar lembaganegara ataupun peningkatan kemampuan para personil ataupun pertukara informasi.Perjanjian demikian tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional.

Perjanjian demikian dapat disetarakan dengan perjanjian antar daerah diIndonesia dengan daerah di negara sahabat yang dikenal dengan nama sister agreement.Sifat agreement bukan merupakan perjanjian internasional karena tidak memenuhisyarat dalam Konvensi Wina.

VI. Apakah Sekjen ASEAN dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas namaanggota ASEAN?

Sekjen ASEAN tidak dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas namaanggota ASEAN. Sekjen ASEAN dengan ketentuan telah memenuhi setiap persyaratanyang ditentukan dalam Piagam ASEAN, dapat membuat perjanjian internasionaldengan negara ketiga atau organisasi internasional lainnya sepanjang yangdiikat adalah ASEAN sebagai legal capacity yang salah satunya adalah membuatperjanjian. ASEAN sebagai organisasi internasional tidak sama bahkan identikdengan negara-negara anggotanya yang juga memiliki international legalcapacity.

Kalaupun Sekjen ASEAN yang menandatangani perjanjian internasional dengannegara atau organisasi internasional maka Sekjen sebagai perwujudan ASEANsebagai organisasi internasional yang abstrak. Seperti sebuah negara, maka yangmemiliki kewenangan untuk menandatangani perjanjian internasional adalahPresiden atau kepala pemerintahan. Dalam organisasiinternasional kewenanganuntuk menandatangani perjanjian internasional diberikankepada Sekjen, sepertihalnya PBB.

Sekjen ASEAN tentunya tidak berwenang, bahkan berada diluar otoritas, apabilaia menandatangani perjanjian nternasional dengan negara ketiga ataupunorganisasi internasional yang mengatasnamakan negara anggotanya. Negara anggotamemiliki kedaulatan dan mekanisme dalam konstitusi yang menentukan siapa yangdapat menandatangani perjanjian internasional. Bila Sekjen ASEAN melakukan haltersebut maka dapat dipermasalahkan kewenangan dari Sekjen, bahkan keberlakuandari perjanjian internasional yang dibuat.

Share
Tweet
Pin
Share