Penegakan Hukum Minus ''Good Faith''


Saat ini publik Indonesia lagi galau. Kita sedang bingung. Kita mungkin bingung untuk mencari solusinya, yaitu bagaimana mengurai benang kusut dan carut marut perseteruan KPK dan Polri. Tapi ternyata lebih parah lagi, kita juga bingung menjelaskan apa sih yang sedang terjadi. Dari tampak luar, semuanya seolah-olah benar dan sekaligus salah. Semua mengklaim bahwa perbuatannya beralaskan normatif hukum. Berbagai jargon muncul, seperti “gunakan hati nurani, selamatkan KPK, lawan koruptor” dan seterusnya. Dari pihak sana muncul pula jargon “mari kita kembali ke UU, KPK/Polri memiliki wewenang, ada dua alat bukti” dan sederetan jargon lainnya. Semua jargon ini enak didengar tapi kok tidak bermanfaat dan malah benangnya tetap kusut.

Dari sisi hukum mungkin nggak sulit-sulit bangat menjelaskan kubu-kubu apa yang sedang bertarung, namun ini jarang dikuak ke publik karena para petarung sedang asyik dengan pertarungannya sehingga lupa bendera apa yang sedang diusungnya. Habitat hukum mengenal dua kubu yang secara historis terus bergelut. Pertama, aliran hukum alam (natural law), kedua yang menganut positivisme hukum. Keduanya saling menegasikan karena yang satu adalah anti-these terhadap yang lain. Dalam menyikapi setiap persoalan hukum, dua ‘agama” ini akan mengaliri pola pikir lawyer dan pengikutnya yang berpretensi berfikir seperti lawyer. Benturan kedua pola pikiran ini akan melahirkan pola pikir ketiga yang mencoba menyeimbangkan dan mencari jalan tengah terhadap dua pihak yang bergulat ini. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa dua pengacara berdiskusi selalu muncul tiga pendapat.

Pertama, kubu hukum alam meyakini bahwa alam itu melahirkan norma yang adil. Alam menyediakan apa itu benar dan salah, patut dan tidak pantas, baik dan jahat. Pembuat norma (Parlemen) menggali norma yang adil ini kedalam hukum positif. Bagi kubu ini, norma hukum positif adalah kristalisasi dari keadilan alam. Dengan pola pikir ini maka selain norma positif ada pedoman lain yang lebih tinggi yang bersumber dari alam yaitu etika, moral, agama, kepatutan, hati nurani, dan seterusnya. Bagi kubu ini, pendusta tidak pantas jadi Presiden, sekalipun UUD tidak pernah melarangnya. Apalagi jika seorang tersangka jadi Kapolri, maka bakal terganggu nurani hukum alamnya. Orientasi dari kubu ini adalah keadilan ketimbang kepastian hukum. Gampang ditebak, para pengamat yang mengedapkan nurani, etika, moral, dan kepatutan pasti menganut “agama” ini. Jurus-jurus aliran ini umumnya dipakai dalam argumen para pendukung KPK. Sentimen publik biasanya ke arah kubu ini karena kepentingannya ada di soal keadilan, dan jangan lupa, kultur kita masih kental dengan soal-soal hukum yang alamiah.

Kedua, aliran positivisme hukum. Kubu ini tidak suka jika suatu norma dicampur aduk dengan anasir lain yang bukan hukum. Apa kata norma, ya seharusnya begitulah yang diterapkan. Loh bagaimana kalau norma itu jelek dan tidak adil? Kubu ini akan mengatakan EGP (“emang gue pikirin”), dalam arti itu bukan soal hukum tapi urusan politis si pembuat norma. Ubah dulu normanya. Kalau pun mau diperbincangkan ya silahkan debat dalam rangka sosiologi hukum, filsafat hukum, yang jelas bukan soal hukum. Menurut aliran ini, hukum harus dimurnikan dari anasir-anasir lain yang bukan hukum, karena jika tidak akan timbul ketidakpastian hukum. Makanya kubu ini lebih menekankan kepastian hukum ketimbang keadilannya. Kubu ini sangat suka dengan kalimat “hormati praduga tidak bersalah”, karena memang “agamanya” adalah soal kepastian hukum. Pastikan secara hukum bahwa dia bersalah barulah  dia benar-benar bersalah. Tersangka menjadi Kapolri? Kenapa tidak, kan tidak ada norma yang melarangnya. Dia belum pasti bersalah. Dari aliran inilah muncul penekanan asas legalitas. Semuanya harus seperti apa kata Undang-undang, diluar itu menjadi tidak relevan. Jurus-jurus aliran ini umumnya dipakai dalam argumen para pendukung Polri.

Tapi jangan pula lupa, pada momen-momen tertentu dan untuk taktik (“kepentingan”) tertentu, kedua pendukung bisa berubah “agama”. Untuk proses pra pradilan Komjen BG, kubu yang semula posisitivisme ini tiba-tiba zig zag ke arah hukum alam. Kubu ini mencoba meyakinkan hakim agar jangan terpaku pada asas legalitas, tapi berfikir “out of the box” dan lihat perasaan keadilannya. Dalam praperadilan ini, KPK pasti akan ber legalistis-formal memakai jurus positivisme. Demikian sebaliknya, pendukung KPK yang selama ini menekankan kepatutan hukum alam tiba-tiba zig zag dan menilai bahwa hiruk pikuk dan gosip politik tentang pimpinan KPK sepertinya tidak perlu menjadi soal besar.

Maka jangan heran, jika tiba-tiba kita menemukan pakar hukum yang pada waktu hiruk pikuk Pilpres yang lalu beraliran naturalis di TV berita nasional yang satu, tiba-tiba dalam kasus KPK vs Polri beralih menjadi berfikir positivisme di TV yang satu lagi. Para pakar yang dulu ngotot meminta MK “out of the box” dan agar tidak berfikir legalistis tiba-tiba pada kasus sekarang meminta publik berfikir normatif formal. Mereka yang semula meminta Pilpres juga harus berlegitimasi moral dan kejujuran tiba-tiba berbalik pikiran bahwa tersangka boleh-boleh saja jadi Kapolri. Pakar yang murni biasanya konsisten pada “agama”-nya, namun pakar yang memiliki kepentingan akan bermain pada dua aras ini dan memilih mana yang menguntungkan agendanya. Tidak susah-susah amat mengenali sosok-sosok yang berpindah “agama” ini.

Namun anehnya, kedua “agama” yang bersiteru ini bisa dianut oleh orang yang sama . Sidang pra peradilan Komjen BG ini juga menyajikan bagaimana kedua aliran ini dipakai secara bersamaan, sehingga terlihat inkonsistensi-nya. Dengan memakai “agama” positivisme, pengacara BG menolak model pemanggilan tersangka oleh KPK yang tidak sesuai dengan syarat legalitas, alias tidak sesuai dengan yang tersurat. Namun, manakala masuk ke soal apakah pra peradilan berwenang memutuskan sah tidaknya penetapan tersangka (yang nota bene tidak tercakup dalam KUHAP) para pengacara meminta hakim untuk “out of the box” alias jangan terpaku pada yang tersurat. Artinya, asas legalitas itu dipuja sekaligus dibenci. Dipakai jika menguntungkannya namun disingkirkan jika merugiakknya.

Namun, terlepas dari pergulatan kedua kubu itu, kelihatannya ada satu yang hilang dari penegakan hukum kita. Mau positivisme atau pun hukum alam, penegakan hukum kita kehilangan sesuatu asas hukum yang disebut good faith, yang secara sederhana diteterjemahkan dengan “itikad baik”. Asas ini susah-susah gampang didefinisikan namun gampang dikenalin. Tapi yang jelas adalah asas ini telah bersifat asas hukum universal yang sudah diterapkan dalam sistem hukum modern. Asas ini sangat berakar dalam hukum adat Indonesia namun sayangnya telah tertanggalkan dalam modernisasi hukum Indonesia. Pakar hukum mengenal asas ini dalam hukum kontrak, yaitu kesepakatan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penjual yang menjual barangnya yang palsu tanpa sepengetahuan si pembeli, adalah perbuatan yang tidak dilandasi asas ini.

Namun asas hukum ini tidak hanya dikenal dalam hukum kontrak tapi juga pada hukum administrasi dan saat ini mutlak harus melekat pada penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia selalu menekankan adanya kewenangan dan diskresi penyidik namun kadang kala lupa menyisipkan bahwa penyidik dalam melakukan kewenangan maupun diskresi ini harus beritikad baik (acting in good faith). Asas good faith ini sudah menjadi elemen mutlak dalam setiap hukum acara pidana. Polisi memiliki kewenangan dan diskresi untuk menilang pelanggar lalu lintas. Namun mana kala Polisi membiarkan pengendara masuk ke jalur buswasydan tiba-tiba di ujung jalan menyetop dan menilangnya, maka Polisi ini sedang berakting not in good faith. Penyidik berhak menangkap tersangka namun jika dia menangkap pada jam 2 subuh denga maksud membuat kapok si tersangka karena dendam, maka polisi sudah tidak beritikad baik. Kata para pakar, seorang penegak hukum beritikad baik jika tindakan dan keputusannya patut dalam situasi tertentu. Artinya, asas good faith ini membatasi kewenangan dan diskresi penyidik. (del Carmen, Criminal Procedure: Law and Practice, 2013).

Tapi lagi-lagi, asas ini tidak mendarah-daging dalam penegakan hukum kita. Alasannya, asas ini tidak tereksplisit dalam KUHAP dan KUHP. Menangkap Pimpinan KPK pakai borgol adalah sesuai dengan kewenangan dan diskresi penyidik. Tidak ada yang membantah itu. Tapi apakah tindakan itu didasarkan oleh asas hukum itikad baik, sayangnya tidak ada pula yang mempersoalkannya dari sisi ini. Menjadikan semua pimpinan KPK sebagai tersangka adalah wewenang dan diskresi penyidik. Sayangnya, publik lebih mempersoalkannya dalam kacamata “kriminalisasi”, yang justru bukan persoalan hukum. Padahal kewenangan penyidik ini sekalipun dibenarkan oleh UU sudah kehilangan good faith-nya. Sekali lagi, ini asas hukum, bukan semata-mata kepantasan.

Asas ini juga berlaku dalam perilaku politik. Apakah DPR waktu menyetujui calon Kapolri yang sudah jadi tersangka disandarkan pada asas good faith? Tentunya tidak terlalu susah menjawabnya.
***

Share
Tweet
Pin
Share