PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM DINAMIKA GLOBAL


Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu(spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian.Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun. Sebaliknya,tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian danpertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertianperjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanyamelekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkansifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakattentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka,dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai denganhasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan parapihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatanhukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang.Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama(sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku),sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isikesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusussebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya,maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat(hukum) tertentu tanpa persetujuannya.
Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diaturdalam Pasal 11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999tentang Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

UU tentang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakankepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjianinternasional oleh Pemerintah RI. Pada dasarnya UU tersebut memuatprinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang HukumPerjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang PerjanjianInternasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional, yang sekalipuntidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukumkebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakatinternasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.

PRAKTEK HUKUM RI: MONISME OR DUALISME?

Praktek Indonesia dalam masalahimplementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalujelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasikeduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telahdiratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untukmengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yangdiratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No. 6/1996 tentangPerairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yangdiratifikasi namun dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti KonvensiWina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UUNo. 1/1982.
Komentar Prof. Swan Sik:
Pertanyaan berlakunya hukum internasional (HI) didalam lingkungan hukumnasional Indonesia (HN) memang belum jelas terjawab. ToR tepat menitikberatkanbahwa dari sudut tata-hukum Indonesia perlu dikembangkan pilihan politik hukumantara kemungkinan2 sebagai berikut:
HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungansistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlakudiluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “alirandualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut acaradan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan dapatberlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah tersebut yangtelah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN lainnya, dantunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori). HIdan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum sebagaikeseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap berlaku pula(“di-inkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”, namun denganmempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh isinya cocokuntuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula terhadapnya.
HI dianggaptidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui sebagai hukumyang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang berlawanan dengannya.Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu mengecualikan UUD daripengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan UUD pun dibawah HI. Pilihanantara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-beda. AdaHN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-undang,atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya hakim, ataupemerintah pusat). Disamping itu ada kemungkinan diadakannya perbedaan antaraHI tertulis (perjanjian internasional) dan HI tak tertulis (hukum kebiasaan)dalam penerapan pilihan sistem.

Sikap tata hukum Indonesia (HN) terhadap berlakunya HI dalam lingkungan HNsebagai keseluruhan belum jelas. Petunjuk paling jelas sebenarnya dapat dilihatdalam praktik peradilan (“yurisprudensi” dalam arti-kata umum). Bahkan darizaman kolonial masih ada ketentuan yang berdasarkan peraturan2 peralihan masihberlaku, seperti pasal 22a “Ketentuan2 umum perundang-undangan” (Algemene bepalingen van wetgeving, Staatsblad1847:23) yang berbunyi: “Wewenang hakim dan daya pelaksanaankeputusan hakim dan akta otentik dibatasi oleh pengecualian2 hukuminternasional.” Berdasarkan ketentuan ini hakim wajib menguji wewenangnyaterhadap HI, sehingga dapat diharapkan ada keputusan2 hakim yang mengutarakanpendapatnya tentang ada (tidak)-nya “pengecualian2” demikian, baik yangbersumber di hukum kebiasaan, maupun di hukum PI yang berlaku untuk Indonesia.Sayang sukar untuk diketahui praktek hakim karena masih belum adanya kebijakanpengumuman luas keputusan2 hakim (selain dari pemberitaan2 wartawan disuratkabar).

Komentar Damos Dumoli Agusman:
Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum Indonesia, terdapat suatupertanyaan critical, yaitu ”apakah suatu negara mutlak memilih salah satujurusan tersebut”. Beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya ketiga jurusanitu bisa dipakai dengan menggunakan parameter kepentingan nasional secara kasusper kasus. Artinya, jika kepentingan nasonal (national interest) menuntut, makaketiga jurusan itu bisa dipakai secara bergantian. Dalam konteks ini mereka tidakmenginginkan HN Indonesia memilih jurusan dan membiarkan ketiganya applicabledalam setiap kasus.

Saya sendiri berpendapat bahwa ”bukan jurusan yang menentukan apa yang HNpilih, tapi apa yang HN pilih yang akan menentukan jurusan”. HN Indonesia tidakperlu terjebak dengan berbagai jurusan tsb namun tetap diperlukan adanya sikap(”legal provisions”) dalam HN Indonesia yang menentukan apa status HI dalam HN(hubungan HI dan HN). Jika HN telah menetapkan status hubungan ini maka warnajurusan akan terlihat dan teridentifikasi.

Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakanteori monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengajapandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satualiran ini. They deny the theory but theirthinking reflect the theory.
Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakaiuntuk menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukumdan prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Daripandangan para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandanganmereka terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusanteori, dan belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb.

Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jikadapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?)

Ketidakkonsistenan praktekIndonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesiaperihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkanpertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatuperjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural,atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masihmembutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnaiperdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional,yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikanperjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakimIndonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatuperundang-undangan?

Komentar Prof. Swan Sik:
Syarat keberlakuan PI untuk lingkungan HN ditetapkan oleh HI (adatidaknya PI yang relevan untuk RI) dan HN (ketentuan status PI tsb. dalamlingkungan HN). Adanya perundang-undangan yang mengatur hal2 sama dengan apayang telah diatur pula dalam suatu PI yang berlaku untuk RI, tidak per semerupakan bukti bahwa RI menganut dualisme. Perundang2-anbersangkutan mungkin “mengatur lebih lanjut” (ToR dengan tepat menggunakanistilah “implementasi”). Agar PI mengikat suatu negara (berlaku, dari sudut HI,terhadap suatu negara) diperlukan seperangkat tindakan pejabat hukum HN(ratifikasi) yang dalam hal ini bertindak baik dalam fungsi HN maupun fungsiHI. Apakah tindakan2 tersebut juga berakibat PI bersangkutan berlaku dalamlingkungan HN (lihat catatan diatas) adalah pertanyaan yang perlu dijawab olehHN, dalam bentuk tegas ataupun sebagai hasil penafsiran (contoh: oleh hakim).
KomentarDamos Dumoli Agusman
Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yangdianut oleh Indonesia dalam masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justrutidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermindari:

1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturanperundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembarannegara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuatpemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”

2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuatkalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalambahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidakterpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yangdiratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsungtanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes SaudiArabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961

4. Judicial review MK tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran danRekonsiliasi: merujuk langsung pada “praktek dan kebiasaan internasional secarauniversal”

5. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterimanegara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukumnasional.

6. PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN- PENGECUALIAN OLEHHI

Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnyadalam praktek penerapan UNCLOS 1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. UU ini barudicabut oleh UU No. 6/1996. Dalam hal ini, UU No. 17/1985 tidak dianggapbertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangkadualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU yangmentransformasikan UNCLOS 1982.

Pandangan dualisme ini tampaknya jugadidukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolakuntuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi utatu PI sebagai produkperundang-undangan. Menurut kelompok ini UU/Perpres ini hanya jubah untukmenyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres dalampengertian perundang-undangan. Kelompok ini masih menganggap perlu adanyaUU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. Jurisprudensi Indonesia sendiribelum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi untuk pengembangandoktrin hubungan HI dan HN
Ketidakkonsistenan praktekIndonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesiaperihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkanpertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatuperjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atauprosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi normaatau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telahmewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjianinternasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untukmengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalahapakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuatdalam suatu perundang-undangan?
Komentar Prof. KwanSik
Dilihat dari sudut umum, pilihanpara fihak (negara atau organisasi internasional) tentang penempatan (G-to-G)loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN adalah pilihan politik (kebutuhandan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan teoretis juridis. Pertanyaanyang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih mungkin bagi RI, denganadanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul ini boleh jadi olehkarena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan perjanjianpinjaman/hibah antar-negara/organisasi internasional diperlakukan sebagai perjanjianyang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut juga boleh jadimelulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian pinjaman/hibah,karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan dengan UU itudapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb. dilingkunganHN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000masih tetap kadang2 memuat klausula tentang governinglaw".
Komentar Damos Dumoli Agusman:
Dilihat dari historis pembuatan UU No24/2000, perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu tidak dibekali oleh pemahamantentang definisi perjanjian internasional, sehingga menganggap semua perjanjianbaik perdata maupun public adalah treaty dalam pengertian Konvensi Wina 1969. Sehingga loanagreement pada waktu itu oleh perumus UU No. 24/2000 selalu dianggap sebagaitreaty sekalipun governed by HN. Dalam konteks pemahaman yang keliru inilahloan agreements dirumuskan dalam UU No. 24/2000. Akibatnya, maka berdasarkan UUNo. 24/2000 tidak lagi diberi ruang bagi adanya loan agreement governed by HN.Dalam praktek, hal ini tidak dapat dipertahankan karena acapkali muncul loanagreements yang governed by HN namun “dipaksakan” untuk dikategorikan sebagaiPI berdasarkan UU No. 24/2000. Untuk itu sejak tahun 2006, dalam rangkapembuatan RUU tentang Pinjaman/Hibah telah diupayakan untuk membedakanperjanjian pinjaman menjadi dua jenis, yaitu governed by international law dangoverned by national law. Untuk kelompok pertama diterapkan UU No. 24/2000tetapi untuk kelompok kedua tidak perlu diberlakukan.

Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu denganDepkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang Pinjaman/Hibah.Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua jenis perjanjianini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan.

Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan juridisteoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain darihukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”.

Praktek negara (termasuk IBRD) yang cenderung menggunakan HI sebagai governinglaw adalah karena konstelasi politik internasional dewasa ini beranggapan“governed by international law” lebih secured dari pada “governed by a nationallaw”. Mereka enggan menggunakan pengadilan nasional dan HN untuk penyelesaianconflict. Sehingga mereka menggunakan “treaty” dari pada “contract”. Pertanyaancritical adalah apakah norma HI sudah cukup “adequate” dan available untukmengatur tentang loan agreements, their terms, misalnya penetapan loaninterest.

Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasiinternasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihakkreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional danditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jikaperjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnyayang perdata. Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara danorganisasi internasional yang mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tundukpada hukum nasional seperti tercermin pada General Conditions for Loans IBRD2005.

Denganadanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjianpinjaman, yaitu: perjanjian internasional publik governed by international lawseperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun2000 tentang Perjanjian Internasional dan, perjanjian perdata internasionalbiasa yang governed by other than international law yang tidak membutuhkanprosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan UU tersebut.
Perjanjiantentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentangPerjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU danmenurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UUNomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunyapersetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusatdapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman daripemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.
Dalampembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan DepartemenKeuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini,pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannyaUU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saatmembuat perjanjian pinjaman luar negeri.

Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPRdalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR)seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang PerjanjianInternasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untukmengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untukmenyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini,apakah lembaga ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telahmengalami pergeseran makna?

Permasalahanyang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalahtidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentangKeuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU Pinjaman/HibahLuar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjianinternasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor 24Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjianpinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed byinternational law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini,ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentangPerjanjian Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjianpinjaman (loan agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing lawyang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridisteoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksudoleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional. Konsekuensinyaadalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidakdiperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukuminternasional.
Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa PerjanjianPinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecualiditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akanmenyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalahperjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang tentunyamembutuhkan ratifikasi sebelum pemberlakuannya.
KomentarProf Kwan Sik :
Menuruttafsiran yang manapun, dengan (dan selama) adanya UU 24/2000 pemerintah tidakmungkin mengadakan perjanjian pinjaman yang mulai berlaku sejak saatditandatangani, dan dengan demikian pasal 16 PP 2/2006 bertentangan dengan UU.
KomentarDamos Dumoli Agusman :
Untukmenyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa loanagreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidaktreaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006can apply.
KomentarProf Kwan Sik :
Carapersetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnyamerupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang”untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perinciansumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat tersebutdipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal penafsiran yangdapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya pemerintahmencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak DPR.
KomentarDamos Dumoli Agusman :
Melihatkompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan posisi apapun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP 2/2006 tidakbertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR dalam bentuk UUAPBN.

Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik denganratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act thatalready taken by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi.UU 24/2000 tidak mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalamhukum perjanjian internasional.

NOMENCLATURE, SHOULD THEY BE DISTINGUISHED?
Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian(nomenclature) tidak relevan untuk dibedakan karena apa pun namanya tidak harusmengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjianinternasional. Dalam hal ini, content perjanjian merupakan tolok ukur ketimbangnamanya. Namun demikian, dunia diplomasi cenderung memberikan bobot yangberbeda untuk setiap nomenclature. Treaty dan Agreement akan dianggap lebihmengikat ketimbang MOU.
KomentarProf. Swan Sik:
Salahsatu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam- macamsebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-negara/organisasiinternasional. Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah tertentuberakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang sekaliterlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat.

Bagaimanapun persoalan ini sekali-kali tidak semata-mata soal nomenclatur,melainkan soal usaha politik antar-negara untuk menghindari keterikatan padakewajiban hukum tanpa mengaku maksud tersebut. Petunjuk utama jika menghadapipersoalan bersangkutan yalah tafsiran segala faktor yang memain peranan dalamterjadinya “perjanjian” bersangkutan. (Masalah tersebut pernah saya bahassebagai judul pidato inaugurasi saya pada tahun 1990, sayang sekali dalambahasa Belanda: “De verplichting in hetvolkenrecht” [Kewajiban dalam hukum internasional] . Pustakamengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak saat itu, namunmenurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka).

Komentar Damos Dumoli Agusman:
Praktek Indonesia dalam pembuatan PI dengannegara-negara lain sangat inkonsisten. Pandangan paranegotiators selalu terjebak pada mind setting bahwa MOU lebih rendah dariagreement dan agreement lebih rendah dari Treaty.
Perkembanganhukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan praktekNegara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya padaNegara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah non legallybinding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara laintermasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuatantara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties.

Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negaraakan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebutsebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggapdokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis,pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasiyang berarti khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional.

Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalamdunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjianinternasional berdasarkan namanya.


APAKAH LEMBAGANEGARA DI LUAR EKSEKUTIF DAPAT MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL?
Praktekinternasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatanperjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR.Gejala ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasaini pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsirepresentation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuatperjanjian internasional?

KomentarProf. Swan Sik:
Bagi HIyang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara subjek2internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-alat)perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan laindaripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidakada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanyapejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI.

Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar(lihat dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannyakadang-kadang menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelasterjawab, yalah apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menuruttata hukum mana) dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembagadan alat perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota)dari negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrativeagreements”.

KomentarDamos Dumoli Agusman:
Secaratraditional, eksekutif adalah the legitimate representive of states. Adanyapembagian kekuasaan negara yang semakin ketat di Indonesia menimbulkanimplikasi bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga non-eksekutif bukan merupakanurusan eksekutif sehingga perjanjian yang dibuat oleh mereka bukan tanggungjawab eksekutif. Kenapa pertanyaan full power muncul? Karena non-ekeskutiftidak mengakui Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari eksekutif mengeluarkanfull power bagi mereka. Mereka mengklaim tidak perlu memperoleh kuasa daripemerintah. Dalam HN, kedudukan Menlu sebagai pejabat khas dalam hukuminternasional tidak dikenal.
Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaganon-eksekutif, maka kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers.Dalam hal ini, apakah Menlu lazim mengeluarkan full powers kepada lembagainon-eksekutif
ASEAN’S TREATY MAKING POWER
ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akanmemberikan landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupuneksternal. Treaty making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diaturdalam konstitusi setiap organisasi internasional sebagai bagian dari paragraftentang external relations. Namun ASEAN Charter tidak secara rinci mengaturmengenai treaty making power of ASEAN, dan hanya mengindikasikan bahwa masalahini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat implementasi.
KomentarProf. Swan Sik:
[Catatanini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series]Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) olehSekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas namaASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasandemikian.

Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khususdalam naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenangkhusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikiantidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan.

Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; paranegara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek hukumlain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan perbuatanhukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan perbuatanyang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang (“surat kuasa”)tersebut tadi.

Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihaklainnya (counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastianbahwa si wakil RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memangdi”tanggung” RI. Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itupercaya, menerima dan mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN,sehingga soal full powers tidak timbul.

KomentarDamos Dumoli Agusman :
Treatymaking power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam membuatperjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang akan sayasampaikan secara terpisah.

Permasalahannya adalah, European Union yang sudah demikian terintegrasi tidakpernah suatu negara anggota memberi mandate kepada Presiden Komisi untukbertindak atas nama negara tersebut mengikatkan diri dengan pihak lain. DalamEU dikenal adanya Mix Agreements, dimana negara anggota akan turut membubuhkantanda tangan jika bagian dari perjanjian dengan EU tersebut adalah wewenangnegara anggota. Praktek ASEAN dalam hal ini tidak didasarkan pada prinsip hukumperjanjian internasional bahwa “consent to be bound” harus dinyatakan olehnegara itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh ASEAN adalah hanya untuk kebutuhanpraktis.

Pertanyaanyang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara anggotaadalah: Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEANadalah full powers yangdimaksud oleh Vienna Convention 1969?dan Jika negara itu ingin terminate atauamandement perjanjian itu,dapatkan dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN.
PraktekASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat dibedakanatas dua perspektif yaitu Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihakketiga dimana status negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasionalyang berdiri sendiri. Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuksetiap Negara anggota sebagai collective members dan Hubungan antara ASEANsebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN Secretariat) dengan pihakketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya. Kedudukan ASEAN dalam kaitan iniadalah sebagai organisasi internasional seperti yang dimaksud oleh KonvensiWina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh Organisasi Internasional.
ASEANsebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengannegara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itumenggunakan isitilah ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalahperjanjian antara negara-negara anggota secara individu denganorganisasi/negara ketiga (perjanjian multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya sertapihak yang menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masingnegara anggota ASEAN secara individual seperti pada theCooperation Agreement between the MemberCountries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian iniyang membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota danbukan ASEAN sebagai a distinct subject separated fromits members. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa materi yangdiperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup atau wewenang ASEAN sebagai suatuorganisasi yang berdiri sendiri namun terletak pada negara-negara anggotanya.Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi internasionalas a distinct subject separated from its members
Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukuminternasional, ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannyasebagai a distinct subject separatedfrom its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN Secretariat.

Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yangtampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaituPerjanjian dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEANtetapi ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untukdan atas nama Negara-negara anggota.

Penandatangananoleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian menimbulkanbeberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian tersebutterhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum internasionallain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama subjek hukuminternasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi, dapatkahDPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum internasionallain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim Menteri LuarNegeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota inginmenarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpamelalui Sekjen ASEAN?
-------------------------------
[1]Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnyaditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Gunalebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.




Share
Tweet
Pin
Share