Perbatasan antara Indonesia dan Negara-Negara Tetangganya: Mengapa sulit Ditetapkan?

 

 



PERBATASAN
ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA TETANGGANYA:
MENGAPA SULIT DITETAPKAN?
dimuat di Jurnal Diplomasi (Kementerian Luar Negeri) Vol.2.No.4 Desember Tahun 2010

Damos Dumoli Agusman
Konsul Jenderal Republik Indonesia di Frankfurt


ABSTRACT

This article discusses three major problems: (i) the complexity that Indonesia faces in its efforts to settle down its border lines, both on land and sea; (ii) The principles of international law that regulate maritime borders, particularly the United Nations Conventions on the Law of the Sea 1982; and (iii) The dynamics of Indonesia-Malaysia border issues, with particular emphasize in several regions like Kalimantan, Sebatik Island, the Malacca Strait, and the Sulawesi Sea.


Pendahuluan
Banyak masalah kompleks yang mengitari penetapan perbatasan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangganya. Perlu ditekankan bahwa batas NKRI belum tuntas dan masih dalam perundingan sehingga respon terhadap berbagai insiden di wilayah yang belum ada batasnya harus bertolak dari asumsi ini. Selanjutnya diuraikan pula berbagai kompleksitas yang terdapat dalam upaya penyelesaian batas negara  dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hukum laut ternyata belum menyediakan aturan yang jelas untuk menetapkan batas maritim sehinga perundingan batas maritim diiserahkan kepada kehendak para pihak yang nota bene adalah negara berdaulat. Ketiadaan pedoman jurudis ini dan ditambah lagi dengan sifatnya yang teknis mengkibatkan proses perundingan lazimnya akan berjalan alot, berlarut-larut, dan terkesan bertele-tele dan dapat dipastikan membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini tidak hanya dialami oleh Indonesia tetapi juga berbagai negara di belahan lainnya.

Tiga bagian utama dibahas secara mendalam yaitu (i) Membahas kompleksitas masalah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga dan upaya penetapan batas wilayah, baik perairan maupun daratan; (ii) Membahas prinsip-prinsip hukum internasional tentang perbatasan maritim, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen; dan (iii) Membahas kompleksitas perbatasan Indonesia-Malaysia, yang terkait dengan perbatasan di berbagai wilayah, antara lain di Kalimantan, Pulau Sebatik, Selat Malaka dan Laut Sulawesi.

Kesimpulan dari bahasan tersebut adalah bahwa perundingan perbatasan adalah proses yang panjang, kompleks, juridis yang membutuhkan tidak hanya kemampuan diplomasi tetapi juga keahlian teknis dan juridis.

PENDAHULUAN

            Munculnya reaksi publik Indonesia yang cenderung over-reaktif atas setiap insiden di wilayah perbatasan pada hakekatnya berakar dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa SEOLAH-OLAH PAGAR PERBATASAN NKRI SUDAH JELAS. Karena masalah garis batas sangat kompleks, maka dapat pula dimaklumi bahwa publik awam tentu tidak bisa membedakan antara garis perbatasan yang sudah ditetapkan secara bilateral dengan garis batas yang diklaim oleh Indonesia secara unilateral. Apa yang dipersoalkan oleh publik Indonesia dewasa ini justru bersandar pada garis klaim Indonesia (yang dipahami secara keliru sebagai garis yang sudah jelas) yang sudah barang tentu tidak diakui oleh negara tetangga.

            Mengapa garis batas Indonesia belum jelas dan apa itu klaim garis batas? Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 maka telah muncul berbagai jenis perairan baru. Sebelum Konvensi ini , laut hanya dibedakan dengan laut teritorial, laut bebas dan perairan pedalaman. Setelah Konvensi, muncul jenis perairan baru yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Selain itu, khususnya buat Indonesia, Konvensi memberi kewenangan bagi Indonesia untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan dimana jenis-jenis perairan tersebut diukur. Akibat dari ini semua, maka Indonesia harus memformat ulang wilayahnya yang selama ini merupakan peninggalan sistem kolonial Belanda. Garis pangkal kepulauan harus ditetapkan terlebih dahulu dan konsekuensinya adalah batas-batas perairan dengan berbagai jenis tersebut harus diukur ulang pula sesuai dengan aturan baru dari Konvensi. Berbeda dengan batas pada jaman Kolonial Belanda, munculnya rejim perairan baru ini mengakibatkan terjadi perluasan wilayah perairan Indonesia ke arah negara tetangga dan perluasan ini mengakibatkan perairan Indonesia menjadi bersentuhan dengan negara-negara tetangga tersebut. Salah satu prioritas utama bagi Indonesia adalah penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga. Jadi garis batas itu harus dibuat kembali berdasarkan Konvensi dan proses membuat batas-batas ini masih berlangsung.

KOMPLEKSITAS MASALAH PERBATASAN INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA

            Penetapan garis batas sejak munculnya berbagai rejim hukum perairan semakin kompleks. Di berbagai wilayah termasuk di wilayah negara-negara yang sudah cukup maju pun masih terdapat banyak segmen-segmen perairan yang masih belum tuntas penetapan batasnya. Indonesia menghadapi persoalan yang lebih kompleks lagi karena untuk pertama kalinya dalam sejarah negara-negara Indonesia menerapkan garis pangkal kepulauan sebagai dasar perundingan, suatu konsepsi yang belum ada precedennya dalam sejarah perundingan batas maritim. Konfigurasi geografis Indonesia yang bersifat kepulauan dengan sistem garis pangkal lurus kepulauan menyebabkan penyelesaian batas maritim Indonesia dengan negara tetangga membutuhkan waktu yang cukup lama.

            Karena letak letak geografisnya yang demikian kompleks maka pada dasarnya batas-batas suatu negara ditetapkan berdasarkan dua kemungkinan:

1.     Jika letak geografis Indonesia tidak berhadapan atau tidak berdampingan dengan negara-negara lain maka batas terluar zona maritimnya  adalah titik terluar dari lebar maksimum yang diakui oleh Konvensi, yaitu 12 mil untuk laut teritorial (pasal 4), 24 mil untuk zona tambahan (pasal 33), 200 mil untuk ZEE dan landas kontinen (pasal 57 dan 76 ayat 1), dan dalam kondisi tertentu 350 untuk landas kontinen (pasal 76 ayat 6). Dalam hukum laut, klaim terhadap lebar maksimum ini sering disebut dengan entitlement.

2.     Jika letak geografis negara tersebut berhadapan atau berdampingan dengan nengara-negara lain dan jika jarak antara pantai negara-negara tersebut menimbulkan situasi tumpang tindih klaim maksimum atas salah satu atau semua zona maritim, maka batas terluar zona maritim tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian perbatasan antara negara-negara terkait. Dalam  hal ini penetapan batas terluar zona maritim tunduk pada rejim delimitasi batas maritim (maritime boundaries delimitation) menurut pasal 15 (laut teritorial), pasal 74 (ZEE) dan pasal 83 (landas kontinen).

            Untuk kategori pertama yaitu pada daerah-daerah tertentu, penetapan batas maritim dapat dilakukan berdasarkan klaim maksimum (entitlement) seperti di samudra India khususnya perairan disebelah Selatan Pulau Jawa dan Sumatra, dan di samudra Pasifik khususnya disebelah Utara Pulau Irian Jaya. Persoalan Indonesia justru lebih banyak pada kategori yang kedua. Karena kedekatannya dengan negara-negara tetangga, maka penetapan batas terluar zona maritim Indonesia pada umumnya harus dilakukan melalui pernjanjian perbatasan maritim dengan  10 negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Australia, Filipina, Palau, Vietnam, Thailand, Timor Leste dan India. Batas-batas dengan negara tetangga inilah yang lebih rumit dan kompleks karena harus didasarkan pada suatu perjanjian bersama yang didahului dengan proses perundingan batas yang sangat rumit dan kompleks.

Jenis-jenis perbatasan  Indonesia dengan negara-negara tetangga mencakup perbatasan:
1.     Wilayah darat dengan Malaysia dan Papua Nugini;
2.     Laut teritorial dengan Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Timor Leste;
3.     Landas Kontinen (fungsional)  dengan Malaysia, Australia, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Timor Leste;
4.     Zona Ekonomi Eksklusif (fungsional) dengan Malaysia, Filipina,  Australia, India, Thailand, Vietnam, Timor Leste.
           
            Di laut Cina Selatan, Indonesia juga akan memiliki perbatasan dengan negara yang akan menjadi pemilik kepulauan Spratly. Sampai saat ini masih belum diketahui negara pemiliknya karena belum  terselesaikannya  masalah  klaim tumpang tindih antar beberapa negara terhadap kepulauan tersebut.
Description: NKRIFIN
            Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 juga menetapkan zona tambahan (continuous zone) yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut, namun, berbeda dengan zona-zona lainnya, tidak mengatur apakah negara-negara yang berhadapan atau berdampingan perlu membuat batas zona ini jika jaraknya kurang dari 48 mil laut. Dilihat dari kebutuhan dan praktek negara saat ini mungkin dinilai belum perlu  menetapkan batas zona tambahan ini namun tidak tertutup kemungkinan bahwa di kemudian hari kebutuhan akan kepastian status perairan ini dalam rangka penegakan hukum menjadi semakin penting sehingga penetapan batasnya menjadi mutlak.

            Sampai saat ini, Indonesia telah dan masih terus melanjutkan upaya penetapan batas maritim dan penegasan batas darat dengan negara-negara tetangga, termasuk penetapan batas-batas terluar zona maritim Indonesia berdasarkan klaim maksimal (entitlement). Mengingat bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 telah membedakan jenis rejim maritim dan bahkan mengembangkan rejim baru yaitu ZEE,  maka wilayah-wilayah yang perlu ditetapkan batas maritimnya semakin bertambah. Dengan berlakunya Konvensi ini maka zona-zona yang perlu ditetapkan batasnya tidak lagi mencakup zona landas kontinen dan laut teritorial tetapi juga meliputi ZEE dan, dalam hal tertentu,  batas terluar landas kontinen yang lebarnya lebih dari 200 mil.

            Khusus untuk perbatasan dengan negara-negara tetangga ini, penetapan bersama garis-garis batas tersebut masih belum tuntas dan masih dalam perundingan. Dalam praktek internasional, jika garis batas itu belum ditetapkan maka masing-masing negara pada umumnya akan menetapkan klaim unilateral sebagai basis untuk perundingan. Klaim unilateral ini kemudian akan diimbangi juga dengan klaim unilateral negara tetangganya sehingga terjadilah apa yang disebut dengan tumpang tindih klaim. Insiden-insiden yang terjadi dengan negara tetangga pada umumnya adalah pada wilayah dimana garis batas itu belum ditetapkan atau pada wilayah tumpang tindih klaim.

            Dalam rangka penetapan batas-batas wilayahnya, Indonesia telah menyelesaikan titik-titik garis pangkalnya yang dituangkan melalui PP No. 38 Tahun 2002. Sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, garis pangkal ini merupakan dasar bagi penetapan garis perbatasan dengan negara-negara tetangga.

            Batas-batas dimana saja yang sudah ditetapkan? Batas-batas darat antara Indonesia dengan Malaysia dan Papua Nugini secara formal telah ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian  perbatasan yang pada waktu itu dibuat oleh Hindia Belanda namun karena penetapannya masih menggunakan metodologi tradisional maka garis-garis batas tersebut perlu lebih ditegaskan dalam format dan koordinat yang lebih jelas dan sesuai dengan standar internasional tentang perbatasan.

            Sedangkan batas-batas maritim, karena harus diformat ulang, pada umumnya belum ada dengan satu negara pun yang tuntas. Semuanya masih dalam perundingan. Mengapa begitu lambat menetapkan pagar maritim ini? Seperti lazimnya dalam setiap proses perundingan penetapan perbatasan antara negara, faktor-faktor yang mempengaruhi  upaya menetapkan batas-batas wilayah Indonesia dengan negara-negara tetangga,  antara lain dapat berupa faktor politis, politis-juridis, ekonomis, atau semata-mata faktor teknis perundingan. Faktor politis misalnya pernah sarat mewarnai penetapan batas maritim antara Australia dan Indonesia karena keterkaitan issue Timor Timur didalamnya. Faktor ekonomis mungkin sangat mempengaruhi perundingan batas maritim antara Indonesia dengan Vietnam di Laut Natuna dan baru dapat diselesaikan setelah 30 tahun (1973-2003). Faktor politis-juridis dan sekaligus ekonomis sangat mewarnai proses penetapan batas maritim di Laut Sulawesi dengan Malaysia pasca kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. Faktor lain seperti “self-interest” negara tetangga misalnya sangat mendominasi perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

            Di wilayah/perairan lain, proses penetapannya secara umum hanya dipengaruhi oleh faktor teknis perundingan, antara lain, masalah prioritas negara-negara terkait tentang perlunya segera dilakukan penetapan batas maritim, atau jadwal dan modus perundingan yang masih perlu ditetapkan. Tertundanya penetapan batas maritim Indonesia dengan Palau, misalnya, lebih banyak disebabkan karena kesulitan komunikasi diplomatik kedua negara karena masing-masing tidak memiliki hubungan diplomatik. Perundingan ini akhirnya baru dapat dimulai setelah pembukaan hubungan diplomatik kedua negara tahun 2007 .

            Penetapan batas maritim dengan Timor Leste juga akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang lebih kompleks yang akan mencakup saling keterkaitan antara penetapan batas bilateral dengan penetapan “trijunction points” antara Indonesia-Australia-Timor Leste. Selain itu, rumitnya konfigurasi geografis di sebelah utara Pulau Timor antara lain dengan faktor lokasi Okusi yang terpisah dari Timor Leste sedikit banyak akan memberikan kendala tertentu dalam penetapan batas maritim di wilayah tersebut.

            Adanya kompleksitas permasalahan ini sayangnya tidak didukung oleh pemahaman publik tentang masalah perbatasan maritim. Akibatnya, pengambilan kebijakan politik cenderung mengarah pada desakan agar batas negara cepat-cepat dituntaskan tanpa menghiraukan bahwa aspek teknisnya cukup rumit.


PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERBATASAN MARITIM
                                                                                                                                                           
            Penyebab lain sehingga perundingan perbatasan demikian rumit dan kompleks adalah karena hukum internasional tentang perbatasan maritim masih belum menyediakan pedoman apalagi solusi yang efektif sehingga penyelesaiannya lebih banyak disandarkan pada diskresi negara-negara terkait yang note bene adalah berdaulat.

            Berbeda dengan batas-batas darat yang pada umumya telah lebih dahulu terselesaikan di antara negara-negara, maka batas-batas maritim merupakan suatu lembaga hukum internasional yang relatif baru. Batas-batas darat pada umumnya telah ditetapkan bersamaan dengan negara-negara tersebut memperoleh title atas teritorinya misalnya akibat menang perang, penemuan wilayah (discovery), pendudukan (occupation), prescription, dan dasar-dasar title lainnya yang diakui oleh hukum internasional pada waktu itu. Sejarah hukum internasional juga mengenal prinsip-prinsip hukum tentang bagaimana menetapkan batas darat seperti konsep thalweg atau prinsip-prinsip geografis yang dapat dijadikan sebagai batas. Namun mengingat batas-batas darat antar negara pada umumnya telah tuntas, maka hukum internasional yang mengatur tentang batas darat ini tidak banyak digunakan lagi atau bahkan dapat disimpulkan bahwa cabang hukum ini tidak berkembang lagi.

            Persoalan hukum yang masih sering timbul tentang darat yang berkaitan dengan  perbatasan sebagai akibat warisan masa lalu, khususnya di negara-negara bekas jajahan, adalah tentang klaim tumpang tindih antar negara atas suatu wilayah darat (pada umumnya pulau-pulau ) yang disebabkan oleh ketidakjelasan status pulau-pulau dimaksud atau, karena dinilai pada waktu itu tidak memiliki signifikansi, dibiarkan tidak jelas oleh negara-negara penjajah.

            Hukum tentang Perbatasan Maritim merupakan cabang hukum internasional yang relatif baru dan berkembang seiring dengan berkembangnya hukum laut setelah perang dunia II yang dimulai dengan proses kodifikasi hukum laut melalui Konvensi Jenewa 1958 dan mencapai puncaknya dengan lahirnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 ini sebenarnya tidak banyak bahkan hampir tidak memuat  aturan substantif  tentang hukum perbatasan maritim khususnya untuk ZEE dan landas kontinen karena rumusan tentang masalah ini hanya berupa suatu paragrap pada setiap jenis zona maritim tersebut yaitu the delimitation of the exclusive economic zone/continental shelf between States with opposite of adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.  Pasal ini pada dasarnya hanya bersifat prosedural yaitu mewajibkan setiap negara yang berhadapan dan berdampingan untuk membuat perjanjian batas maritim.

            Aturan delimitasi yang agak bersifat substantif terdapat pada pasal 15 khusus untuk delimitasi laut teritorial, yang menyatakan:

where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to  delimit the territorial seas of the two States in a way where is at variance therewith.

Aturan ini menekankan pada penggunaan prinsip garis tengah (median line) dalam menetapkan garis batas teritorial kecuali jika ada alasan hak historis atau keadaan lain. 

Namun demikian, Konvensi ini mendorong pesatnya perkembangan hukum tentang batas maritim di luar Konvensi  karena dengan munculnya berbagai zona maritim, khususnya dengan kriteria yang baru, maka perlu pengaturan lebih lanjut tentang delimitasinya diantara  negara yang berhadapan atau berdampingan. Akibat lahirnya zona-zona maritim ini dengan kriteria baru di satu pihak, dan tidak adanya aturan yang jelas dalam Konvensi tentang cara menetapkan batasnya di pihak lain, maka praktek negara serta jurisprudensi tentang  penetapan batas zona maritim ini semakin berkembang, dan perdebatan tentang penemuan hukum dari praktek-praktek negara dan jurisprudensi ini juga semakin marak,  yang pada akhirnya memperkaya norma hukum kebiasaan internasional.

Sampai saat ini, pembentukan hukum internasional positif tentang penetapan batas maritim antar negara dalam rangka hukum kebiasaan internasional masih berlangsung dan untuk sementara belum ada kesepakatan diantara para  pakar tentang aturan yang baku tentang hal ini. Pada saat perumusan pasal-pasal tentang delimitasi batas maritim pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, khususnya untuk ZEE dan landas kontinen, masalah ini merupakan salah satu issue yang sangat kontroversial. Dalam pembahasannya, muncul 2 pendekatan dominan tentang masalah ini, yaitu:

1.     Kelompok yang menekankan pada prinsip equidistance/median line-special cirscumstances.
Pendekatan ini lebih suka menggunakan prinsip garis tengah sebagai prinsip umum dan akan melakukan penyesuaian pada garis tengah tsb jika terdapat situasi-situasi khusus.

2.     Kelompok yang menekankan pada prinsip equitable.
Menurut pendekatan ini, equidistance harus dilihat sebagai salah satu metode dan bukan satu-satunya metode untuk garis batas. Prinsip hukum yang perlu ditekankan adalah equitable yaitu bahwa garis batas itu dinilai adil oleh kedua para pihak.

Karena perdebatan yang berkepanjangan maka Konvensi akhirnya memuat suatu rumusan yang sangat sederhana, yaitu ...shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution....

Karena rumusan tersebut sangat sederhanan maka dalam praktek timbul banyak penafsiran,  a.l.:

1.     Pasal ini sama sekali tidak mengandung aturan substantif dan hanya memberi  pedoman bahwa hasil perjanjian harus equitable. Namun demikian, Konvensi ini sama sekali tidak menyangkal eksistensi aturan hukum substantif yang harus dicari dalam hukum laut internasional di luar Konvensi yang dikembangkan dalam mekanisme pembentukan hukum internasional pada umumnya seperti praktek negara, jurisprudensi dan pendapat pakar hukum. Melalui penerapan aturan hukum inilah equitable solution dapat dicapai. Klausula on the basis of international law ditafsirkan sebagai memberi batasan bagi para pihak agar dalam menarik garis batas harus disesuaikan  dengan hukum yang berlaku.

2.     Pasal ini hanya menetapkan syarat bahwa hasilnya harus equitable tanpa harus memperhatikan bagaimana dasar-dasar atau metode dalam mencapai hasil ini. Dalam hal ini para pihak dapat menyetujui garis apa saja sepanjang hasilnya dinilai equitable oleh masing-masing pihak dan tidak perlu harus menerapkan suatu aturan hukum tertentu. Dalam hal ini eksistensi adanya suatu norma hukum tentang delimitasi sangat diragukan. Klausula on the basis of international law harus ditafsirkan bahwa agreement dimaksud harus dibuat berdasarkan hukum internasional. Ahli Hukum Laut seperti Malcolm D. Evan[1] dalam  hal ini menyatakan bahwa it is often easier to agree on the result than on the reasoning that lies behind it and strongly supported result is usually of more importance to the parties than a closely reasoned one.

            Para pakar hukum laut cenderung berpendapat bahwa karena Konvensi tidak menuntaskan masalah ini ( the international maritime boundary law  codified in the 1982 Convention on the Law of the Sea is indeterminate maka perdebatan tentang masalah hukum delimitasi batas maritim ini masih akan berlangsung dan tampaknya cabang hukum ini masih terus berkembang ditengah-tengah semaraknya praktek negara dalam menetapkan batas-batas zona maritim dan jurisprudensi. Namun seperti yang dikemukakan oleh pakar hukum delimitasi batas maritim, Jonathan I. Charney[2]A primary criticism of  the current of this law is its indeterminacy. International law does not require that maritime boundaries be delimited in accordance with any particular method; rather, it requires that they be delimited in accordance with equitable principles, taking into account all of the relevant circumstances of the case so as to produce an equitable result.

            Sumbangan penting lainnya dari Konvensi terhadap perkembangan hukum delimitasi batas maritim ini adalah ditetapkannya kewajiban hukum terhadap setiap negara peserta untuk menyelesaikan perbatasan maritim dengan negara tetangganya. Konvensi tidak memberi ruang kepada suatu negara untuk membiarkan masalah perbatasannya terlunta-lunta dan tidak terselesaikan (pending) tanpa alasan yang sah. Masalah delimitasi batas maritim ini termasuk dalam kategori masalah yang harus diselesaikan dalam kerangka prosedur memaksa (compulsory procedure dari mekanisme penyelesaian sengketa Bab XV Konvensi. Dengan prosedur ini maka suatu negara pihak Konvensi tidak dapat secara sepihak menyatakan tidak akan menyelesaikan atau menunda dengan alasan tertentu (kecuali atas kesepakatan kedua pihak)  penyelesaian  masalah perbatasannya. Jika suatu perundingan penetapan perbatasan mengalami jalan buntu maka para pihak terkait wajib menyelesaikannya melalui mekanisme penyelesaian sengketa Konvensi dimaksud. Dalam hal ini, jika suatu pihak menolak untuk menyelesaikan masalah perbatasannya secara bilateral maka pihak lain dapat meminta agar masalah ini diselesaikan melalui konsiliasi atau pihak ketiga. Diterapkannya prosedur memaksa ini oleh para perumus Konvensi tampaknya didasarkan pada penilaian bahwa terbengkalainya masalah perbatasan dapat mengundang konflik potensial antar negara yang akibatnya dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia.

KOMPLEKSITAS PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

Perbatasan Indonesia dengan Malaysia adalah yang paling kompleks dan sangat berpotensi untuk dan bahkan sudah sering menimbulkan ketegangan antara kedua Negara. Batas kedua Negara mencakup perbatasan darat di Pulau Kalimantan/Sebatik dan perbatasan zona maritim di Selat Malaka, Laut Karimata, dan Laut Sulawesi.

Perbatasan Darat Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan dan Pulau Sebatik.

            Perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dikawasan ini secara umum ditetapkan berdasarkan Perjanjian Belanda ‑ Inggris Tahun 1891. Dibuatnya perjanjian ini dilatarbelakangi oleh pertikaian antara Belanda dan Inggris pada waktu itu dalam merebut pengaruh kekuasaan kolonial di Pulau Kalimantan. Itulah sebabnya, berbeda dengan perjanjian-perjanjian batas teritorial kolonial pada waktu itu yang umumnya menggunakan indikasi geografis yang tidak tegas seperti sungai, gunung dan karakteristik geografis lainnya, Perjanjian 1891 pada umumnya secara tegas menggunakan parameter koordinat geografis disamping menggunakan batas-batas alamiah.

            Sekalipun sudah menggunakan metode koordinat geografis, posisi yang tepat batas-batas wilayah di lapangan tetap sangat sulit ditentukan karena situasi geografis yang sangat sulit dan tidak mungkin untuk dilakukannya suatu penetapan di lapangan.  Itulah sebabnya dalam pasal V Perjanjian 1891 disebutkan bahwa posisi yang tepat garis batas wilayah akan ditentukan melalui perjanjian lanjutan.Upaya survey dan penegasa perbatasan sebagai tindak lanjut dari Perjanjian 1891 telah dilakukan oleh Belanda dan Inggris sejak tahun 1912 yang akhirnya berhasil merumuskan Perjanjian 1915 dan Perjanjian 1928 yang lebih menegaskan secara rinci batas-batas seperti yang dimaksud oleh Perjanjian 1891.

            Perjanjian-perjanjian tersebut masih belum menuntaskan batas-batas wilayah dan bahkan masih menimbulkan permasalahan dalam penafsiran a.l. karena penggunaan istilah watershed (garis sungai) sebagai faktor penentu batas-batas wilayah yang ternyata dalam praktek di lapangan menimbulkan perbedaan lokasi oleh masing-masing pihak. Oleh sebab itu, pada tahun 1973, melalui suatu Memorandum of Understanding 1972, Pemerintah Indonesia dan Malaysia membentuk suatu Joint Boundary Committee (Panitia Bersama Perbatasan) yang secara khusus bertugas untuk menegaskan perbatasan seperti yang dimaksud oleh Perjanjian-perjanjian tersebut. Panitia Bersama ini telah melakukan kegiatan survey dan pemetaan di lapangan terhadap batas-batas yang belum jelas tersebut dan telah menghasilkan semacam kesepakatan tentang lokasi tempat pilar-pilar batas.

Perbatasan Maritim Indonesia-Malaysia

            Perbatasan maritim Indonesia-Malayisa belum tuntas sampai saat ini. Perairan yang belum ditetapkan batas maritimnya berada pada semua segmen wilayah baik pada perairan Selat Malaka, Laut Natuna, maupun Laut Sulawesi. Ketegangan biasanya muncul pada segmen Selat Malaka dengan insiden Tanjung Berikat dan Laut Sulawesi dengan insiden Blok Ambalat.

Description: selat malaka1
Perbatasan RI-Malaysia di Selat Malaka adalah dalam kedudukan pantai kedua negara yang saling berhadapan. Sampai saat ini, perbatasan yang sudah dituntaskan  masih terdiri dari batas landas kontinen dan batas laut teritorial yang ditarik dari utara ke arah Selatan sampai pada titik tertentu, yaitu titik 10 untuk landas kontinen dan titik 8 untuk batas laut teritorial, pada wilayah sebelah utara Pulau Rangsang sebelum Selat Johor. 

Perbatasan landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka bagian utara seluruhnya telah selesai dan dituangkan dalam Perjanjian 27 Oktober 1969 yang telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969. Selain wilayah Selat Malaka, Perjanjian ini juga mencakup wilayah-wilayah lain yang berbatasan dengan Malaysia seperti Laut Natuna.

Untuk wilayah di Selat Malaka, garis batas ini berhenti pada titik 10 menjelang Selat Johor di sebelah utara Pulau Rangsang. Terhentinya proses penetapan batas maritim pada titik 10 disebabkan karena Indonesia pada waktu itu masih harus menunggu diselesaikannya batas laut teritorial Singapura dan Malaysia di sebelah selatan Selat Johor guna menetapkan titik trijunction ketiga negara.

Perjanjian ini masih didasarkan pada definisi Landas Kontinen yang diukur berdasarkan kedalaman menurut Konvensi Geneva 1958. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982  mendefinisikan landas kontinen sebagai zona yang berada diluar laut teritorial (Pasal 76) dengan demikian secara teoritis pada wilayah sempit di Selat Malaka yang jaraknya kurang dari 24 Mil sudah tidak terdapat lagi batas landas kontinen.

            Perbatasan laut teritorial antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, pada wilayah yang jarak kedua negara kurang dari 24 mil,  telah ditetapkan melalui  Perjanjian 17 Maret 1970 (diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1971).  Seperti halnya garis batas landas kontinen, garis batas laut teritorial ini berhenti pada titik 8 (berhimpitan dengan titik 10 batas landas kontinen)  menjelang Selat Johor di sebelah utara Pulau Rangsang.

            Seperti halnya batas landas kontinen, terhentinya proses penetapan batas maritim pada titik 8 disebabkan karena Indonesia masih harus menunggu diselesaikannya batas laut teritorial Singapura dan Malaysia di sebelah selatan Selat Johor guna menetapkan titik trijunction ketiga negara.

            Pada tahun 1995, Malaysia dan Singapura telah menyelesaikan batas laut teritorial di Selat Johor yang pada hakekatnya merupakan penegasan terhadap Perjanjian Perbatasan 19 Oktober 1927 antara Inggris dan Sultan Johor. Dengan selesainya batas laut ini maka lanjutan perundingan penetapan batas laut teritorial antara RI-Malaysia, RI-Singapura dan titik trijunction sudah dapat dimulai dan saat ini  Indonesia sudah menjajagi untuk memulai perundingan tersebut. Kelihatannya Malaysia ingin menunggu selesainya permasalahan Pulau Batu Puteh dengan Singapura terlebih dahulu baru melanjutkannya dengan penetapan trijunction ini. Untuk itu, Indonesia dan Singapura pada tahun 2009 telah menuntaskan perbatasan bilateral batas laut wilayah pada segmen barat (Tuas - P. Nipa) ini.

            Perbatasan pada perairan Tanjung Berakit masih belum ditetapkan karena penyelesaian pada segmen ini harus menunggu tuntasnya tumpang tindih klaim antara Malaysia dengan Singapura tentang Batu Puteh yang telah diputuskan oleh Mahkamah Internasional. Pada perairan inilah timbul peristiwa Tanjung Berakit  pada bulan Agustus 2010 yang lalu.

            Perbatasan ZEE kedua negara belum ditetapkan. Penetapan zona ini tidak dibahas dalam rangka Perjanjian 1969 dan 1970 karena pada waktu itu konsep ZEE belum dikenal. Dengan diterimanya konsep ZEE dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, maka dalam rangka implementasinya, Indonesia perlu memulai membuat Perjanjian Batas ZEE dengan Malaysia termasuk di Selat Malaka, yang jarak kedua pantai negara lebih dari 24 mil.

Kendala Utama dalam proses Perundingan Indonesia-Malaysia

            Selain aspek politis dan kedaulatan, kendala utama dalam porses perundingan Indonesia-Malaysia adalah karena tidak diterapkannya prinsip-prinsip teknis yang termuat dalam Konvensi dalam penetapan perbatasan maritim. Kedua pihak khususnya Malaysia lebih menekankan pada proses “upaya mencari kesepakatan” tanpa harus terikat pada metodologi teknis yang sudah disediakan oleh Konvensi. Akibatnya, perundingan lebih banyak diwarnai oleh proses tawar menawar guna mencapai kesepakatan.

            Kendala utama adalah sampai saat ini Malaysia belum menggambarkan secara tegas garis pangkalnya menurut padahal Konvensi garis pangkal sangat dibutuhkan sebagai titik tolak dalam pengukuran serta proses perundingan garis batas. Namun dari peta  yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia khususnya  Peta Baru tahun 1979, telah tergambar secara tersirat posisi garis pangkal Malaysia (inferred baselines).  Disebut secara tersirat karena Malaysia sampai saat ini tidak pernah secara resmi menggambarkan garis-garis pangkalnya,  namun pada petanya tergambar klaim perbatasan/batas terluar zona maritimnya, sehingga dapat secara tersirat digambarkan garis pangkalnya. Dalam hal ini Indonesia belum memberi reaksi atas inferred  baselines tersebut mungkin karena disamping sifatnya yang tersirat, penetapan garis pangkal menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 harus ditetapkan dalam bentuk daftar titik‑titik koordinat geografis dan didepositkan ke Sekretaris Jenderal PBB, yang dalam hal ini belum dilakukan oleh MalaysiaNamun Indonesia secara terus menerus telah melakukan protes terhadap klaim/batas terluar yang dihasilkan dari inferred baselines Malaysia ini.

            Sayangnya penarikan inferred baselines Malaysia tersebut tampaknya tidak sesuai dengan prinsip garis pangkal yang diperkenankan oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Hal ini dapat dimaklumi karena Peta Baru 1979 dikeluarkan sebelum lahirnya Konvensi ini. Namun sampai saat ini Peta Baru 1979 tersebut belum diperbaharui dan tampaknya tetap dipergunakan  dalam  menentukan posisinya pada perundingan penetapan batas maritim dengan Indonesia antara lain klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat.

            Berdasarkan Konvensi,  inferred baselines Malaysia menunjukkan beberapa permasalahan di beberapa perairan, antara lain, penarikan (inferred) garis pangkal lurus antara Pulau Jarak dan Pulau Perak di Selat Malaka mencapai jarak 123 mil sehingga memperlebar perairan pedalaman selebar 59 mil.  Penarikan ini dapat dinilai bertentangan dengan kriteria geografis (misalnya  general configuration) seperti yang disyaratkan oleh pasal 7 Konvensi. Dalam hal ini pada wilayah tersebut tidak terdapat situasi yang bersifat deeply indented and cut into atau a fringe of islands along the coast in its immediate vicinity yang memberi hak negara pantai menarik garis pangkal lurus.

            Penetapan garis batas landas kontinen dalam Perjanjian tahun 1969 di perairan ini memang ditarik dari garis pangkal kepulauan RI vis a vis garis konstruksi (pangkal lurus) dari Pulau Perak ke Pulau Jarak yang saat ini diterapkan pada Peta Baru 1979 Malaysia. Dalam perundingan pada waktu itu, delegasi RI semula mempermasalahkan usulan garis pangkal  oleh Malaysia sebagai tolok ukur penetapan median line yang ternyata ditarik dari garis yang menghubungkan pulau‑pulau terluar dan bukan dari garis air rendah daratan utama Malaysia.  Namun akhirnya delegasi RI dapat menerima garis konstruksi dimaksud sebagai suatu kompromi dan dimaksudkan hanya untuk membantu kedua delegasi dalam menentukan median line di wilayah tersebut. Dengan demikian, penarikan garis pangkal lurus itu hanya diperuntukan pada perundingan pada waktu itu dan tidak dimaksudkan untuk mengakui garis dimaksud sebagai garis pangkal lurus Malaysia, karena Malaysia pada waktu itu (dan bahkan sampai saat ini) tidak pernah menyatakan secara resmi garis pangkalnya dan garis konstruksi dimaksud bukan merupakan garis pangkal seperti yang dimaksud oleh Konvensi Jeneva 1958 tentang Hukum Laut karena pantai Malaysia tersebut tidak memenuhi kriteria deeply indented and cut into atau a fringe of islands along the coast in its immediate vicinity.

            Pada waktu perundingan tersebut, Indonesia memang sedang memperjuangkan konsep pengakuan atas wawasan nusantara dengan garis pangkal kepulauannya sehingga tidak terlalu mempersoalkan posisi Malaysia  yang menarik garis konstruksi  dalam bentuk garis pangkal lurus. Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, maka penarikan garis pangkal kepulauan sudah dapat digunakan sebagai titik tolak penentuan batas wilayah (laut teritorial) RI‑Malaysia  di wilayah tersebut. Dalam hal tersebut Malaysia tidak lagi mempunyai dasar yang kuat untuk menerapkan garis konstruksi yang digunakan untuk Perjanjian 1969.

            Penarikan garis pangkal semacam ini akan mengganggu kepentingan Indonesia berkaitan dengan penetapan batas ZEE di Selat Malaka. Selain itu, saat meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 pada tanggal 2 Oktober 1996, Malaysia membuat suatu deklarasi yang a.l. pada butir 7 membuat suatu penafsiran, yaitu:

i.               tentang delimitasi ZEE (pasal 74) dan landas kontinen (pasal 83), Malaysia berpendirian bahwa garis batas zona-zona tsb adalah garis tengah (median line).
ii.              tentang definisi kedua rejim itu yaitu ZEE (pasal 56) dan landas kontinen, Malaysia berpendirian  untuk wilayah yang jaraknya kurang dari 200 mil maka garis batas kedua zona itu haruslah identik (single line).

            Penafsiran ini tampaknya berupaya mereduksi arti dari ZEE dan Landas Kontinen sebagai dua rejim yang terpisah. Dalam hal ini Malaysia ingin secara unilateral “memaksakan” kehendaknya bahwa untuk kedua rejim yang berbeda ini harus menghasilkan suatu garis batas yang sama. Konsekuensi lebih lanjut dari penafsiran ini bagi perundingan ZEE di wilayah selat Malaka akan terlihat jelas yaitu bahwa posisi Malaysia akan menekankan garis landas kontinen yang sudah disetujui pada Perjanjian tahun 1969 juga dijadikan sebagai garis batas ZEE, suatu posisi yang pasti akan ditolak oleh Indonesia mengingat tidak sesuai dengan prinsip Konvensi Hukum Laut 1982.

            Pada segmen lain, penarikan (inferred) garis pangkal di Selat Johor di sebelah Selatan Tanjung Piai sangat menjorok ke selatan dan ke timur sehingga klaim Malaysia bahkan akan melewati garis pangkal Indonesia antara Pulau Nipa dengan Pulu Karimun dan mendekati wilayah perairan Singapura di sekitar Pulau Sakra.

            Penarikan garis pangkal ini mungkin akan menjadi masalah potensial dalam melanjutkan garis batas (dari titik 8) antara RI-Malaysia dan (dari titik 21) antara Singapura-Malysia guna dihubungkan ke titik trijunction di Selat Johor.

            Perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di Laut Sulawesi meliputi perbatasan teritorial (Pantai timur Pulau Sebatik dan Pulau Sipadan dan Ligitan) serta  perbatasan fungsional (batas sumber alam di landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif), dalam kedudukan  pantai kedua negara saling berdampingan. Batas zona maritim di Laut Sulawesi ini mulai dirundingkan karena pada waktu itu masih menunggu selesainya kasus klaim tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang baru diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002. Mahkamah memutuskan Malaysia sebagai pemegang  kepemilikian (title)  pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama di administrasikan oleh Inggris dan (selanjutnya) Malaysia, atau yang dikenal dengan prinsip efektivite. Dengan keluarnya keputusan Mahkamah ini maka kedua pulau tersebut akan menjadi titik dasar bagi Malaysia sedangkan Indonesia masih perlu mengadakan penyesuaian terhadap garis pangkalnya menyusul perkembangan baru tersebut.

            Penetapan garis pangkal dan perbatasan maritim di pantai Pulau Sebatik pasca kasus Sipadan dan Ligitan akan diwarnai oleh beberapa persoalan juridis yang pada akhirnya telah menimbulkan berbagai insiden yang dikenal dengan insiden blok Ambalat, yaitu:

i.               Adanya klaim Malaysia berdasarkan peta tahun 1979 yang menggambarkan garis batas maritim yang menjorok ke Indonesia sehingga juga mencakup karang Tekad Unarang milik Indonesia. Pada UU Prp No.4/1960, karang ini tidak menjadi titik dasar dan berada diluar garis antara titik dasar 36 (Tanjung Saima) dan  titik dasar 37 (Tanjung Arang). Karang ini tidak dijadikan titik dasar diperkirakan karena hukum laut yang berlaku pada waktu itu hanya pulau terluar saja yang dapat dijadikan titik dasar seperti yang tercermin dari pasal 1 (2) UU Prp 4/1960.

ii.              Peeta 1979 yang telah diprotes oleh Indonesia ini tampaknya menarik garis pangkal lurus dari pantai utama Sabah ke kedua pulau ini. Penarikan garis pangkal semacam ini tidak sesuai persyaratan Konvensi karena Malaysia bukan negara kepulauan dan tidak ada unsur indented dan fragmented pada konfigurasi pantai dan pulau-pulau tersebut. Akibat garis pangkal ini maka klaim garis terluar Malaysia telah mencakup sebagian blok Ambalat sebagai berada di perairan Malaysia.


KESIMPULAN

            Dari uraian teknis diatas maka dapat disimpulkan bahwa perundingan dan penetapan batas maritim bukanlah proses yang mudah melainkan kompleks dan rumit. Munculnya rejim-rejim maritim yang baru, belum berkembangnya prinsip hukum tentang perbatasan maritim, serta besarnya diskresi negara berdaulat untuk menentukan garis batas berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, semakin mempersulit negara untuk dengan cepat menuntaskan garis batas maritimnya. Indonesia mengalami situasi yang lebih kompleks lagi karena:
i.               konfigurasi geografisnya yang bersifat kepulauan,
ii.              sistem garis pangkal kepulauan yang masih baru dan belum pernah dipergunakan dalam sejarah perundingan perbatasan,
iii.            posisi negara tetangga yang cenderung tidak secara konsisten menggunakan prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut 1982,
iv.            belum berkembangnya aturan hukum tentang perbatasan sehingga perundingan ditekankan pada kehendak bebas negara pihak,
v.              pemahaman publik yang masih sederhana tentang masalah perbatasan maritim sehingga pengambilan kebijakan dan tekanan politik menjadi kurang efektif dan cenderung tidak kondusif dalam proses perundingan,
vi.            trauma kasus Sipadan dan Ligitan yang masih menghantui Indonesia sehingga agak tertutup kemungkinan menggiring penyelesaian masalah perbatasan ke pihak ketiga termasuk peradilan internasional. Hal ini mengharuskan perundingan tetap berlanjut dengan atau tanpa menghasilkan kesepakatan.

            Diplomasi perbatasan tentunya tidak hanya bermodalkan kemampuan diplomasi semata melainkan menuntut adanya keahlian teknis dan juridis. Mengandalkan kemampuan diplomasi tanpa didukung oleh pemahaman teknis dan juridis justru akan menjerumuskan juru runding ke penyelesaian yang mungkin secara politis dapat dibenarkan namun secara juridis menimbulkan ketidakadilan dan jauh dari fairness.

            Kentalnya aspek politis dalam masalah perbatasan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk tetap menggunakan mekanisme penyelesaian politik dalam masalah perbatasan. Penyelesaian sengketa perbatasan ke mekanisme hukum (seperti ke Mahkamah Internasional atau arbitrasi internasional) hanya akan dilakukan jika kedua pihak merasa tidak menemukan titik temu lagi, dan itu pun jika dinilai bahwa masalah ini harus segera diselesaikan.

****



DAFTAR PUSTAKA

1. Evan, Malcolm D., Relevant Circumstances and Maririme Delimination, Oxford University Press, New York, 1989.
2. Charney, Jonathan I., International Maritime Boundaries, American Society of International Law, 2003.



[1] Malcolm D. Evan, Relevant Circumstances and Maritime Delimitiation, 1989.
[2] Jonathan I. Charney, International Maritime Boundaries, 2003

Share
Tweet
Pin
Share