Perkara Laut Tionkok Selatan

Menguak Posisi Tiongkok dalam ”Nine Dotted Lines”


Dr. iur. Damos Agusman, Kompas 20 Januari 2015

TIONGKOK baru-baru ini mengeluarkan posisi resminya terhadap gugatan Filipina soal Laut Tiongkok Selatan ke Special Tribunal Hukum Laut. Tribunal sudah memberikan tenggat waktu sampai 15 Desember 2014 bagi Tiongkok untuk memasukkan pembelaan tertulisnya. Namun, Tiongkok menyatakan menolak hadir untuk berperkara di Tribunal dan tampaknya lebih memilih mengeluarkan pernyataan pers, dengan harapan dibaca dan diperhatikan para hakim sebelum menjatuhkan vonis.

Posisi resmi ini menjadi menarik karena beberapa hal. Pertama, baru kali ini Tiongkok secara agak gamblang, walaupun agak samar, menjelaskan tentang apa makna sembilan garis putus-putus yang tergambar secara terserak di peta Laut Tiongkok Selatan (LTS). Kedua, Tiongkok menjelaskannya melalui logika-logika yang sangat dikenal dalam hukum laut internasional. Selama ini, arti sembilan garis terputus ini sangat misteri. Tidak ada satu penjelasan resmi Tiongkok pun tersedia di publik tentang apa makna garis ini.

 Dalam beberapa kesempatan, Tiongkok hanya mengindikasikan adanya klaim historis di LTS tanpa menjelaskan lebih rinci, misalnya, apakah garis itu sendiri adalah dasar dari klaim historis. Pakar hukum sejumlah negara sudah sering membahas bahkan membedahnya dalam suatu simposium internasional. Debat akademis ini bahkan melibatkan pakar dari Tiongkok, tetapi mereka buru-buru mengklaim sebagai pendapat pribadi, bukan posisi resmi Tiongkok. Semua negara dan para ahli hukum akhirnya hanya mampu mereka-reka. Indonesia pun sudah pernah bertanya apakah garis ini dimaksudkan hanya untuk mengklaim fitur maritim (pulau/karang/elevasi surut) di dalamnya atau juga termasuk zona maritimnya. Dalam bahasa hukumnya: apakah ini garis alokasi atau garis delimitasi. Jika hanya soal fitur maritim, Indonesia bukan claimant state.

Tugas Tribunal

Tribunal yang dibentuk oleh Konvensi Hukum Laut tidak dirancang untuk mengadili soal kedaulatan atas fitur maritim. Tribunal juga tidak berkompeten mengadili soal delimitasi zona maritim jika soal ini telah dikecualikan oleh negara pihak konvensi, dan Tiongkok telah menyatakan itu. Namun, Filipina tidak kehilangan akal. Gugatannya tidak melulu mempersoalkan tentang kedaulatan dan delimitasi, tetapi juga meminta interpretasi Tribunal tentang keabsahan garis terputus itu. Pertanyaan ini tentu saja dalam kewenangan Tribunal, yang apa pun putusannya pasti akan enggan menyatakan bahwa garis ini sah berdasarkan konvensi.

Guna keluar dari gugatan ini, Tiongkok harus meyakinkan Tribunal bahwa ini soal kedaulatan dan delimitasi maritim ke- timbang soal garis terputus itu. Namun, untuk maksud itu, Tiongkok terpaksa harus buka suara dan menguak sedikit tentang makna garis misteri ini walaupun hanya suatu serpihan. Tiongkok menjelaskannya dengan menggunakan dalil-dalil hukum laut sambil merujuk beberapa yurisprudensi Mahkamah Internasional tentang delimitasi laut. Menurut Tiongkok, seperti kata mahkamah dalam berbagai putusannya, zona maritim tidak mungkin dapat dilahirkan tanpa bertolak dari daratan. Dalil ini dikenal sebagai land dominates the sea. Untuk memutuskan keabsahan garis ini, Tribunal harus terlebih dahulu menetapkan siapa pemilik fitur maritim. Dengan dalil ini, Tiongkok berharap bahwa perkara yang diseret oleh Filipina ini adalah soal kedaulatan wilayah, bukan soal interpretasi atas garis itu, dan dengan demikian Tribunal menjadi tidak berwenang.

Misteri garis putus

Terlepas dari hasil akhir perkara ini, makna garis terputus ini mulai agak terkuak. Tiongkok mulai menjelaskan yang mana ayam dan telur, yang selama ini hanya bisa di reka-reka. Dugaan beberapa kalangan bahwa garis putus ini sebagai dasar klaim atas fitur maritim di dalamnya mulai terpupuskan. Konsisten dengan dalil hukum laut yang digunakan Tiongkok, garis terputus ini adalah garis klaim yang lahir karena, atau ditarik dari, kepemilikannya atas fitur maritim. Artinya, Tiongkok terlebih dahulu memiliki title atas fitur maritim dan dengan demikian terciptalah garis terputus itu. Ini berarti, Tiongkok tidak menggunakan garis ini untuk menjelaskan bahwa dia memiliki Kepulauan Spratly dan Parcel, tetapi dengan dasar argumen lain.

Apa artinya ”bocoran” ini buat kepentingan hukum Indonesia? Pertama, Indonesia patut menyambut baik bahwa Tiongkok menggunakan bahasa dan logika hukum laut untuk mengonstruksikan klaim atas zona maritimnya. Sebagai sesama negara pihak pada Konvensi Hukum Laut, Indonesia dan Tiongkok memiliki basis hukum yang sama dan ini akan memudahkan kedua negara melihat persoalan delimitasi lautnya, itu pun jika ada. Kedua, garis terputus yang menyentuh perairan Natuna, jika hendak dianggap sebagai garis klaim delimitasi, haruslah diukur dari fitur maritim sesuai dengan kata Tiongkok di atas. Pengukuran ini belum pernah dilakukan dan mungkin tidak akan dilakukan sebelum persoalan siapa pemilik fitur maritim itu diselesaikan. Ini berarti, Indonesia masih harus menunggu tuntasnya persoalan tumpang tindih atas Pulau Spratly.

Damos Agusman Doktor Hukum Internasional dari Goethe University of Frankfurt; Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Share
Tweet
Pin
Share