Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Antaranews 24 Feb 2015

Jakarta (ANTARA News) - Lain Australia, lain pula Brasil, demikian kalimat yang tepat untuk menggambarkan reaksi kedua negara terhadap eksekusi hukuman mati warganya. 

Sekalipun beda cara, namun reaksi keduanya sama-sama "blunder" dan kontra produktif. 

Jika Australia menggunakan semua cara untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap warganya, Brasil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri.

Tepat sekali seperti yang ditegaskan oleh Menlu RI Retno Lestari PM bahwa tindakan Brasil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

Ekpresi kekecewaan negara atas kebijakan negara lain sebenarnya soal biasa dalan hubungan internasional. Semua negara pasti akan mengambil langkah perlindungan terhadap warganegaranya yang mengalami persoalan hukum di luar negeri. 

Indonesia sering mengambil langkah ini. Upaya perlindungan ini adalah bentuk "intervensi" negara terhadap negara lain yang direstui oleh hukum internasional.

Bentuknya bisa berupa perlindungan diplomatik, yaitu negara atas nama warganya bereaksi terhadap tindakan hukum negara lain terhadap warganya ini.

Australia telah melakukan ini dan masih dalam koridor perlindungan diplomatik. Bentuknya hanya tekanan diplomatik tanpa harus melanggarnya. 

Memang reaksinya keras, namun sampai saat ini belum ada norma internasional yang dilanggar, dan yang terpenting, belum ada tindakan yang bisa menghambat Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.

Namun reaksi Brasil agak tidak lazim dan dari sisi hukum diplomatik sangat ironis. 

Tentu saja Presiden Dilma Rousseff berhak menolak kredensial (surat kepercayaan) Duta Besar RI, tidak ada yang membantah itu, namun cara menolaknya sarat dengan "itikad buruk", ini yang sedang dipersoalkan. 

Soalnya, Duta Besar RI diacarakan dan diatur oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial dan telah berada di Istana Presiden bersama para Duta Besar asing lainnya. Sampai pada akhirnya Presiden Rousseff "tiba-tiba" menolaknya.

Apakah penolakan yang dilakukan "tiba-tiba" itu dengan itikad baik? Apakah Presiden tidak mengetahui dari awal bahwa salah satu Duta Besar yang akan menghadap adalah Indonesia? Apakah tidak ada niatan Presiden Rousseff untuk "mempermalukan" Duta Besar RI?.

Pertanyaan ini menjadi terbuka, namun sulit menyangkal bahwa Duta Besar RI memang benar sengaja dipermalukan. Lembaga Duta Besar adalah terhormat dan dilindungi oleh Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang sama-sama sudah diratifikasi oleh kedua negara. 

Seperti kata Menlu RI, pasal 29 Konvensi ini mewajibkan setiap negara penerima untuk memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. 

Ide dari pasal ini sebenarnya ditujukan terhadap kemungkinan pihak-pihak lain di dalam jurisdiksinya, baik individu atau kelompok, yang berpotensi menyerang dignity Duta Besar seperti pencemaran nama baik, penghinaan, atau perlakuan yang tidak terhormat lainnya.

Ironisnya, dalam kasus ini perbuatan mempermalukan ini justru dilakukan oleh negara. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran terhadap Konvensi Wina, apalagi jika pelakunya justru negara yang bersangkutan.

Menjaga kehormatan korps diplomatik adalah kewajiban negara setempat sesuai pasal 29 Konvensi dan lingkupnya, termasuk larangan untuk mempermalukan diplomat (embarrassing or offending; Brownlies Principle of Public International Law). 

Banyak negara dewasa ini justru ingin memperluas ruang lingkup pasal 29 Konvensi sehingga mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatan. Manakala dunia sedang menjadikan kehormatan Duta Besar sebagai hal yang "sakral", namun Brasil justru sedang menggerogotinya.

Tindakan pelanggaran Konvensi Wina oleh Brasil sebenarnya bisa dijustifikasi jika tindakan ini dimaksudkan untuk memberi sanksi terhadap Indonesia atas "pelanggaran" kewajiban internasionalnya terhadap Brasil. 

Tapi apakah Indonesia telah melakukan pelanggaran kewajiban terhadap Brazil? Apakah penerapan hukuman mati terhadap warga negara Brasil merupakan pelanggaran kewajiban internasional oleh Indonesia terhadap Brasil? Tentu jawabnya tidak, karena Indonesia membuka ruang seluas-luasnya untuk berlangsungnya proses hukum terhadap warga Brasil. 

Indonesia tidak mengurangi hak-hak hukumnya seperti yang dijamin hukum internasional khususnya ICCPR. Dia diberi kebebasan untuk membela dirinya baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana di forum peradilan yang independen, dari proses awal sampai titik akhir yang bersifat final dan mengikat. Akses konsuler juga dibuka lebar untuk memastikan terpenuhinya hak ini. 

Artinya, penghukuman terhadap pelaku sudah memenuhi syarat hukum internasional dan Brasil sendiri tidak bisa dan tidak pernah menyangkalnya.

Reaksi Indonesia dengan menarik pulang Duta Besar-nya sangat wajar dan tepat karena hukum internasional memang memberi hak kepada Indonesia untuk mengambil setiap langkah guna mengurangi dampak yang diakibatkan oleh pelanggaran Konvensi Wina oleh Brasil. 

Indonesia memilih langkah bijak, yaitu memulangkan Duta Besar-nya sambil menunggu perkembangan berikutnya. Ini cerminan dari negara yang tetap ingin mengedepankan persahabatan namun akan tegas jika kedaulatan hukumnya digerogoti. 

Artinya, eksekusi hukuman mati tidak akan tertunda hanya karena rekayasa diplomatik yang tidak lazim ini, apalagi Indonesia kini sedang dalam "darurat" narkoba dengan 30-40 korban tewas dalam setiap harinya.

* Penulis adalah pengamat hukum internasional.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kommpasiana, 24 Feb 2015

Lain Australia lain pula Brazil, demikian pepatah yang pas untuk menceritakan reaksi kedua negara ini terhadap hukuman mati warganya. Bila Australia tanpa sengaja cenderung mempermalukan dirinya, maka Brazil mencoba mempermalukan Dubes RI. Namun kedua reaksi ini sama-sam kontra produktif, karena bukanya Indonesia menjadi ragu, malah membuat Presiden semakin tegas, dan mendorong publik Indonesia semakin retorik. Jika tujuan kedua negara ini adalah murni dalam rangka perlindungan warga negaranya, maka hasil akhir justru membebani warganya sendiri.
Kedua negara sama-sama berjuang dengan menggunakan instrumen perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Artinya, Kedua negara bertindak atas nama warganya berhadapan dengan Indonesia di jalur diplomatik. Keduanya mempersoalkan kebijakan hukuman mati untuk warganya. Ingat, hanya untuk warganya, bukan untuk warga lainnya. Maknanya adalah, kedua negara mencoba melindungi warganya dan bukan mempersoalkan bahwa hukuman mati itu melanggar hukum internasional, dan bukan menggugat peradilan Indonesia. Praktik ini lazim dan sah sah saja menurut hukum internasional.
Namun ada yang beda antara kedua negara ini. Australia menggunakan semua cara dan mekanisme yang tersedia dalam hukum diplomatik, tapi Brazil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri. Menlu RI tegas menilai bahwa tindakan Brazil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Kedua negara memang marah. Namun dapatkah kemarahannya dituangkan dalam bentuk pelanggaran hukum internasional? Australia masih mendingan, karena kemarahannya diwujudkan dengan koaran kata-kata saja. Membisingkan memang, tapi so far belum ada norma hukum yang dilanggar. Ibarat orang yang emosi, Australia tidak dan belum menyentuh “fisik” Indonesia. Karenyanya, tidak ada alasan Indonesia melakukan pembalasan “fisik”. Dan juga, belum ada tindakannya yang bisa menghalangi Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.
Reaksi Brazil agak anomali. Dari sisi hukum diplomatik sangat serius. Mari kita runut kronologinya: Duta Besar RI dijadwalkan dan diundang oleh oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial kepada Presiden. Ini adalah upacara akbar diplomatik yang persiapannya pasti lama dan matang. Akbar karena di upacara inilah terjadi simbolisasi bagaimana dua negara bersahabat “bersalaman dan berpelukan”. Setibanya di istana dan menjelang prosesi dimulai tiba-tiba Presiden Rousseff “tiba-tiba” menolaknya. Alasannya, menunggu hubungan kedua negara lebih baik.
Bagaimana mungkin acara akbar yang seperti mantenan ini bisa tiba-tiba dibatalkan dengan dalih nunggu hubungan negara lebih baik? Tidak ada hukum diplomatik yang melarang Presiden menolak kredensial Duta Besar, sekalipun alasannya karena tidak suka sama Duta Besar. Tapi menolak Duta Besar RI setelah diundang resmi itu ibarat kita diundang ke pesta namun begitu masuk pintu kita tiba-tiba diusir. Bukan penolakannya yang jadi masalah, melainkan niat jeleknya (bad faith). Acara se sakral ini tidak mungkin tidak ada persiapan matang. Pasti semua hal sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Kemarahan Brazil bukan mulai saat pesta, tapi sudah jauh sebelumnya. Artinya, sulit menyangkal bahwa Brazil dengan sengaja, dan dengan perencanaan yang matang ingin mempermalukan Duta Besar RI.
Mari kita tilik Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Indonesia dan Brazil terikat pada Konvensi ini. Pasal 29 Konvensi yang dirujuk oleh Menlu RI menyatakan bahwa setiap negara penerima (dalam hal ini Brazil) harus memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. Maksud pasal ini adalah, negara harus memastikan bahwa tidak ada pihak lain dibawah jurisdiksi Brazil, misalnya individu, LSM, demonstran, pelaku tindak pidana, yang menyerang kehormatan Duta Besar. Ironisnya, dan ini yang jadi anomali, penyerang kehormatan Duta Besar ini justru dilakukan oleh negara bukan individu. Bukannya malah melindungi tetapi justru jadi pelaku. Pagar makan tanaman kata penyanyi Dangdut Mansyur. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran oleh negara itu, apalagi jika pelakunya justru negara.
Mengapa Duta Besar harus dijaga dignitinya? Sederhana saja. Duta Besar adalah institusi dan simbol negara. Wajah negara melekat pada sosok Duta Besar. Sejak dulu, Duta Besar itu sosok yang sakral di mata hukum setempat, makanya dia diberi kekebalan dan keistimewaan. Duta Besar membunuh sekali pun, tidak dapat diproses hukum di negara itu. Karena Duta Besar identik dengan negara. Makanya lahir norma hukum diplomatik supaya jangan ada yang coba-coba menyerang kehormatan Duta Besar. Konon, banyak negara yang semakin mendessak agar pasa 29 Konvensi ini diperluas lingkupnya. Jadi, mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatannya. Ironisnya lagi, Brazil justru sedang merusak tatanan norma ini.
Namun demikian pelanggaran hukum internasional ole Brazil ini bisa saja menjadi halal jika perbuatan ini dimaksudkan sebagai tindakan balasan terhadap pelanggaran hukum oleh Indonesia. Ini disebut dengan counter-measure/reprisal.Disini uniknya hukum internasional. Karena tidak ada polisi dunia maka tidak ada tempat mengadu, akhirnya negara harus menjaga dirinya sendiri (self help).
Tapi apakah Indonensia dengan mengeksekusi WN Brazil adalah pelanggaran hukum internasional? Mari kita bedah kasus ini. Pertama, penerapan hukuman mati itu sendiri ternyata masih direstui oleh ICCPR. Menurut Konvensi ini negara pihak tidak diwajibkan menghapus secara total hukuman mati melainkan diwajibkan untuk membatasi penerapan hukum mati khususnya menghapus hukuman mati untuk perbuatan yang bukan “most serious crime” (Para 6 HRC General Comments of Art. 6: that States parties are not obliged to abolish the death penalty totally they are obliged to limit its use and, in particular, to abolish it for other than the “most serious crimes”). Indonesia sedang darurat Narkoba dan tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan generasi sedang terancam,
Kedua, ICCPR melarang eksekusi hukuman mati yang bersifat extra judical, yaitu tanpa proses peradilan. Sedangkan kasus ini, terpidana mati telah menjalani semua rangkaian proses hukum dari tingkat awal sampai tingkat final dan mengikat. Semua proses ini dilakukan di depan pengadilan. Bahkan diberi kesempatan minta Grasi. Artinya, semua rangkaian upaya hukum sudah diberikan termasuk akses seluas-luasnya bagi Kedutaan Besarnya terhadap perkara warganya.
Jadi tidak ada sehelai norma pun yang dilanggar oleh Indonesia. Karenanya perbuatan, perbuatan Brazil yang melanggar Konvensi Wina menjadi tidak sah. Dalam hukum internasional, justru Indonesia diberi hak untuk melakukan counter-measur terhadap Brazil atas pelanggaran ini. Bentuknya banyak, termasuk pembatalan transaksi dagang, embargo, resiprositas , serta tindakan balasan lain. Dan ini tidak melanggar hukum internasional.
Reaksi Indonesia ternyata sangat tegas. Dalam hitungan jam sejak kejadian perkara, Menlu RI langsung menarik Dubes RI ke Jakarta. Pada malam itu juga, Kemlu memanggil Duta Besar Brazil di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas perlakuan Presiden Brazil. Ini bukan tindakan diplomatik biasa. Dulu Brazil dan Belanda juga menarik Dubesnya, namun tidak disertai dengan ‘kemarahan diplomatik, dan selang beberapa lama dikembalikan lagi ke Jakarta. Kemurkaan diplomatik dalam hal ini sudah sangat tinggi dan pasti diluar perhituntan Brazil. Terus apa hasil akhir dari permainan diplomatik Brazil ini? Hasilnya ternyata semakin mengeraskan Indonesia untuk lanjut dengan eksekusi berikutnya, dan salah satunya adalah Warga Brazil.
*****
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kompasiana, 20 Feb 2014


Australia bereaksi keras terhadap rencana eksekusi hukuman mati dua Warganegaranya. Reaksinya berskala, mulai dari bahasa himbauan diplomatik  ke bahasa yang sudah bernada “ancaman”, yang intinya memberi pengaruh agar Indonesia mengurungkan niatnya mengeksekusi kedua warganya. Indonesia sampai saat ini bergeming dan tetap melanjutkan proses hukum ini. Baik Presiden maupun Menlu RI telah tegas menyatakan posisinya.
Reaksi ini sebenarnya wajar. Semua negara pasti akan mengambil langkah perlindungan terhadap warganegaranya yang mengalami persoalan hukum di luar negeri. Indonesia sering mengambil langkah ini. Upaya perlindungan ini adalah bentuk “intervensi” negara terhadap negara lain yang direstui oleh hukum internasional. Bentuknya juga berjenjang, dimulai dari perlindungan konsuler ke perlindungan diplomatik. Australia sedang menggunakan fasilitas hukum internasional ini.
Perlindungan konsuler diberikan oleh perwakilan negara melalu pejabat konsulernya. Si Pejabat konsuler ini akan melakukan advokasi terhadap warganegaranya serta memastikan bahwa warganegaranya memperoleh hak-hak hukum serta menjalani proses hukum sesuai hukum acara. Pada perlindungan konsuler ini, yang bersengketa adalah WN Australia selaku pelaku tindak pidana melawan otoritas hukum Indonesia yang diwakili oleh Jaksa. Jaksa menuntut dan WN Australia membela dirinya. Otoritas Australia yang diwakili oleh pejabat konsulernya melakukan monitoring terhadap proses hukum ini guna memastikan bahwa warganya memperoleh semua haknya berdasarkan hukum acara pidana. Asumsinya, Australia telah memberikan perlindungan ini sejak dari awal proses hukum sampai pada keputusan akhir bahkan sampai grasinya ditolak oleh Presiden RI.
Dewasa ini, Australia kelihatannya mulai bergeser dan meng-upgrade upaya perlindungannya ke perlindungan diplomatik, walaupun masih dalam tahap awal. Pada perlindungan diplomatik, subjek yang bersengketa sudah upgraded, dari yang semua warganegara Australia versus Jaksa Indonesia, menjadi sengketa antara Australia versus Indonesia. Para pihak yang “ribut” sudah bergeser menjadi dua negara dan sang pelaku pidana hanya menjadi objek. Yang berdialog dalam upaya perlindungan ini adalah antar negara dan yang dipersoalkan bukan lagi mengenai proses hukum melainkan perosalan kebijakan negara, dalam hal ini kebijakan hukuman mati oleh Indonesia.  Karena konteksnya dalah dua negara sedang berdialog, maka yang mengambil peran adalah representasi negara yaitu Menlu Bishop yang kemudian oleh PM Abbott, dan yang menjawab Menlu RI dan Presiden RI. Pernyataan menteri-menteri lain dari kedua negara termasuk politisi lainnya biasanya hanya memiliki bobot politis namun tidak menjadi bagian dari dialog antar negara itu. Apa kata kepala pemerintah dan Menlu kedua negara akan menjadi penting karena dilihat sebagai reaksi resmi negara.
Australia sedang memainkan fungsi perlindungan diplomatik ini. Argumen yang diangkat tentu bukan tentang perbuatan warganegaranya karena ini porsi perlindungan konsuler. Untuk level diplomatik, soal yang diangkat adalah perbuatan Indonesia yaitu soal kebijakannya yang memperbolehkan hukuman mati. Tidak heran maka Australia menyoal soal  ”keabsahan hukuman mati” yang dianggap barbar. Sayangnya, jika masuk ke topik ini maka akan muncul dua kubu yang sama-sama valid dan saling menegasikan.
Topik tentang keabsahan hukum mati ini sangat klasik dan sering digunakan untuk acara simulasi debat mahasiswa karena secara berimbang akan melahirkan dua argumen yang saling berseteru dan tidak mungkin menghasilkan pemenang. Demikian halnya dengan kasus ini. Australia dan Indonesia memasuki dialog klasik ini. Dialognya sendiri sudah exhaustive dan tidak mungkin berujung. Penjelasan apa pun yang diberikan oleh masing-masing pihak dengan keyakinannya, tidak mungkin berujung pada pihak yang satu meyakinkan pihak yang lain. Sebagai pihak yang sedang dipersoalkan, Indonesia lebih diuntungkan. Menlu RI secara sistematis telah memaparkan posisi tegasnya. Pertama, karena hukum internasional sendiri masih membuka ruang untuk adanya hukuman mati (Pasal 6 ICCPR). Kedua, UU nasional yang dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi masih menjustifikasi hukuman ini. Ketiga, proses hukuman mati WN Australia ini sudah melalui proses hukum yang lengkap dalam arti, kedua WN ini menikmati semua jalur hukum yang disediakan oleh hukum Indonesia. Dan kempat, dan ini yang terpenting, Indonesia sedang dalam krisis narkoba. Survival-nya sedang terancama akibat narkoba. Debat lain, soal sifatnya yang barbar, moralitas, keberadaban, dll tentu juga sahih namun tidak menjadikan Indonesia salah di mata internasional (tidak internationally wrongful act).
Bagaimana sebaiknya memaknai reaksi Australia yang semakin progresif ini? Sejatinya Australia sedang melakukan kewajiban konstitusionalnya terhadap warga negaranya. Tampaknya, tujuannya semata-mata untuk memenuhi kewajiban domestik bukan soal internasional.  Bahwa “hukuman mati itu barbar” bukanlah concern utama  sebab Australia anteng-anteng saja pada waktu Amrozi cs dieksekusi mati pada tahun 2008. Artinya, ini soal nasib warga negaranya yang harus disuarakan ke dan terhadap Indonesia serta harus dipertontonkan ke konstituen domestiknya.
Sayangnya, reaksi berskala progresif  oleh Australia ini berada pada  waktu dan ruang yang kurang menguntungkan. Pertama, reaksi ini disuarakan manakala perhatian publik Indonesia khususnya Presiden sedang tersita pada urusan domestik yakni KPK versus Polri yang sedang seru-serunya. Akibatnya, perhatian publik Indonesia agak kurang peduli.
Kedua, reaksi ini menyentuh soal nasionalisme Indonesia. Publik Indonesia sejak dulu sangat alergi dengan “cawe-cawe” asing terhadap masalah domestiknya, tanpa harus  tahu duduk persoalannya. Maka dapat dibayangkan, publik mainstream tidak tertarik mendukungnya, bahkan beberapa pakar internasional merasa terganggu dengan reaksi ini.
Ketiga, reaksi Australia menggunakan logika Barat yang justru menimbulkan antitese terhadap logika yang dipahami oleh Indonesia. Ini terkait dengan pernyataan PM Abbott yang mengingatkan soal bantuan Tsunami-nya kepada Indonesia. Mengungkit-ungkit kebaikan apalagi dalam bentuk materi adalah hal yang wajar dalam logika Barat, namun menjadi “penghinaan” bagi logika ketimuran Indonesia. Saya pernah ingin berbaik hati tanpa pamrih menolong teman kuliah di Inggris mencari sepedanya yang hilang, namun saya menjadi kecewa manakala dia menjanjikan akan memberikan sejumlah uang jika saya mendapatkan sepedanya. Konflik antar logika yang berbeda ini justru counterproduktif bagi upaya Australia untuk menarik simpati publik Indonesia apalagi Presiden. Boikot turis Australia ke Bali juga terlihat retorik, dan keretorikan ini adalah khas negara Barat.  Australia adalah negara hukum modern, dimana peran negara semakin menipis jika sudah ke soal privasi warganya. Melarang warganya bergabung ke ISIS saja sudah sulit apalagi mengatur kemana warganya hendak berplesiran. Australia bukan negara diktator yang bisa mengatur kemana warganya berpergian.
Keempat, karakter Indonesia sebagai negara hukum justru tidak menguntungkan bagi Australia yang menghendaki pembebaskan hukuman mati ini. Coba bayangkan, bagaimana dilematisnya Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Komjen BG yang merupakan hak prerogatif-nya. Apalagi membatalkan eksekusi hukuman mati yang sudah jelas-jelas dimandatkan oleh hukum. Membayangkan bahwa Presiden memenuhi permintaan pembebasan hukuman mati adalah suatu keajaiban politik untuk konstelasi politik dan  hukum Indonesia sekarang. Proses hukum telah tuntas dan final serta tidak ada lagi upaya hukum lain. Tidak ada satu otoritas pun di Indonesia yang memiliki wewenang memenuhi tuntutan Australia ini,  Presiden pun tidak.
Apakah Australia menyadari “kemustahilan” dipenuhinya tuntutannya ini? Tentu saja. Kedubesnya di Jakarta pasti telah memberikan assessment yang akurat tentang kondisi politik dan hukum di Indonesia, yang pastinya meyakinkan Canberra bahwa bakal mustahil mengubah rencana eksekusi hukuman mati ini. Terus, apa manfaatnya Australia tetap berkoar-koar terus meminta pengehentian hukuman mati? Jawabnya kembali ke ilmu dasar. Australia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan sebaiknya Australia diberi ruang untuk itu. Selain itu, mungkin juga politik domestik Australia melahirkan dinamika tertentu sehingga butuh reaksi progesif ini. Ini tentu soal politik dan bukan soal hukum.
****
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kompasiana, 9 Feb 2015

Saat ini publik Indonesia lagi galau. Kita sedang bingung. Kita mungkin bingung untuk mencari solusinya, yaitu bagaimana mengurai benang kusut dan carut marut perseteruan KPK dan Polri. Tapi ternyata lebih parah lagi, kita juga bingung menjelaskan apa sih yang sedang terjadi. Dari tampak luar, semuanya seolah-olah benar dan sekaligus salah. Semua mengklaim bahwa perbuatannya beralaskan normatif hukum. Berbagai jargon muncul, seperti “gunakan hati nurani, selamatkan KPK, lawan koruptor” dan seterusnya. Dari pihak sana muncul pula jargon “mari kita kembali ke UU, KPK/Polri memiliki wewenang, ada dua alat bukti” dan sederetan jargon lainnya. Semua jargon ini enak didengar tapi kok tidak bermanfaat dan malah benangnya tetap kusut.

Dari sisi hukum mungkin nggak sulit-sulit bangat menjelaskan kubu-kubu apa yang sedang bertarung, namun ini jarang dikuak ke publik karena para petarung sedang asyik dengan pertarungannya sehingga lupa bendera apa yang sedang diusungnya. Habitat hukum mengenal dua kubu yang secara historis terus bergelut. Pertama, aliran hukum alam (natural law), kedua yang menganut positivisme hukum. Keduanya saling menegasikan karena yang satu adalah anti-these terhadap yang lain. Dalam menyikapi setiap persoalan hukum, dua ‘agama” ini akan mengaliri pola pikir lawyer dan pengikutnya yang berpretensi berfikir seperti lawyer. Benturan kedua pola pikiran ini akan melahirkan pola pikir ketiga yang mencoba menyeimbangkan dan mencari jalan tengah terhadap dua pihak yang bergulat ini. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa dua pengacara berdiskusi selalu muncul tiga pendapat.

Pertama, kubu hukum alam meyakini bahwa alam itu melahirkan norma yang adil. Alam menyediakan apa itu benar dan salah, patut dan tidak pantas, baik dan jahat. Pembuat norma (Parlemen) menggali norma yang adil ini kedalam hukum positif. Bagi kubu ini, norma hukum positif adalah kristalisasi dari keadilan alam. Dengan pola pikir ini maka selain norma positif ada pedoman lain yang lebih tinggi yang bersumber dari alam yaitu etika, moral, agama, kepatutan, hati nurani, dan seterusnya. Bagi kubu ini, pendusta tidak pantas jadi Presiden, sekalipun UUD tidak pernah melarangnya. Apalagi jika seorang tersangka jadi Kapolri, maka bakal terganggu nurani hukum alamnya. Orientasi dari kubu ini adalah keadilan ketimbang kepastian hukum. Gampang ditebak, para pengamat yang mengedapkan nurani, etika, moral, dan kepatutan pasti menganut “agama” ini. Jurus-jurus aliran ini umumnya dipakai dalam argumen para pendukung KPK. Sentimen publik biasanya ke arah kubu ini karena kepentingannya ada di soal keadilan, dan jangan lupa, kultur kita masih kental dengan soal-soal hukum yang alamiah.

Kedua, aliran positivisme hukum. Kubu ini tidak suka jika suatu norma dicampur aduk dengan anasir lain yang bukan hukum. Apa kata norma, ya seharusnya begitulah yang diterapkan. Loh bagaimana kalau norma itu jelek dan tidak adil? Kubu ini akan mengatakan EGP (“emang gue pikirin”), dalam arti itu bukan soal hukum tapi urusan politis si pembuat norma. Ubah dulu normanya. Kalau pun mau diperbincangkan ya silahkan debat dalam rangka sosiologi hukum, filsafat hukum, yang jelas bukan soal hukum. Menurut aliran ini, hukum harus dimurnikan dari anasir-anasir lain yang bukan hukum, karena jika tidak akan timbul ketidakpastian hukum. Makanya kubu ini lebih menekankan kepastian hukum ketimbang keadilannya. Kubu ini sangat suka dengan kalimat “hormati praduga tidak bersalah”, karena memang “agamanya” adalah soal kepastian hukum. Pastikan secara hukum bahwa dia bersalah barulah  dia benar-benar bersalah. Tersangka menjadi Kapolri? Kenapa tidak, kan tidak ada norma yang melarangnya. Dia belum pasti bersalah. Dari aliran inilah muncul penekanan asas legalitas. Semuanya harus seperti apa kata Undang-undang, diluar itu menjadi tidak relevan. Jurus-jurus aliran ini umumnya dipakai dalam argumen para pendukung Polri.

Tapi jangan pula lupa, pada momen-momen tertentu dan untuk taktik (“kepentingan”) tertentu, kedua pendukung bisa berubah “agama”. Untuk proses pra pradilan Komjen BG, kubu yang semula posisitivisme ini tiba-tiba zig zag ke arah hukum alam. Kubu ini mencoba meyakinkan hakim agar jangan terpaku pada asas legalitas, tapi berfikir “out of the box” dan lihat perasaan keadilannya. Dalam praperadilan ini, KPK pasti akan ber legalistis-formal memakai jurus positivisme. Demikian sebaliknya, pendukung KPK yang selama ini menekankan kepatutan hukum alam tiba-tiba zig zag dan menilai bahwa hiruk pikuk dan gosip politik tentang pimpinan KPK sepertinya tidak perlu menjadi soal besar.

Maka jangan heran, jika tiba-tiba kita menemukan pakar hukum yang pada waktu hiruk pikuk Pilpres yang lalu beraliran naturalis di TV berita nasional yang satu, tiba-tiba dalam kasus KPK vs Polri beralih menjadi berfikir positivisme di TV yang satu lagi. Para pakar yang dulu ngotot meminta MK “out of the box” dan agar tidak berfikir legalistis tiba-tiba pada kasus sekarang meminta publik berfikir normatif formal. Mereka yang semula meminta Pilpres juga harus berlegitimasi moral dan kejujuran tiba-tiba berbalik pikiran bahwa tersangka boleh-boleh saja jadi Kapolri. Pakar yang murni biasanya konsisten pada “agama”-nya, namun pakar yang memiliki kepentingan akan bermain pada dua aras ini dan memilih mana yang menguntungkan agendanya. Tidak susah-susah amat mengenali sosok-sosok yang berpindah “agama” ini.

Namun anehnya, kedua “agama” yang bersiteru ini bisa dianut oleh orang yang sama . Sidang pra peradilan Komjen BG ini juga menyajikan bagaimana kedua aliran ini dipakai secara bersamaan, sehingga terlihat inkonsistensi-nya. Dengan memakai “agama” positivisme, pengacara BG menolak model pemanggilan tersangka oleh KPK yang tidak sesuai dengan syarat legalitas, alias tidak sesuai dengan yang tersurat. Namun, manakala masuk ke soal apakah pra peradilan berwenang memutuskan sah tidaknya penetapan tersangka (yang nota bene tidak tercakup dalam KUHAP) para pengacara meminta hakim untuk “out of the box” alias jangan terpaku pada yang tersurat. Artinya, asas legalitas itu dipuja sekaligus dibenci. Dipakai jika menguntungkannya namun disingkirkan jika merugiakknya.

Namun, terlepas dari pergulatan kedua kubu itu, kelihatannya ada satu yang hilang dari penegakan hukum kita. Mau positivisme atau pun hukum alam, penegakan hukum kita kehilangan sesuatu asas hukum yang disebut good faith, yang secara sederhana diteterjemahkan dengan “itikad baik”. Asas ini susah-susah gampang didefinisikan namun gampang dikenalin. Tapi yang jelas adalah asas ini telah bersifat asas hukum universal yang sudah diterapkan dalam sistem hukum modern. Asas ini sangat berakar dalam hukum adat Indonesia namun sayangnya telah tertanggalkan dalam modernisasi hukum Indonesia. Pakar hukum mengenal asas ini dalam hukum kontrak, yaitu kesepakatan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penjual yang menjual barangnya yang palsu tanpa sepengetahuan si pembeli, adalah perbuatan yang tidak dilandasi asas ini.

Namun asas hukum ini tidak hanya dikenal dalam hukum kontrak tapi juga pada hukum administrasi dan saat ini mutlak harus melekat pada penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia selalu menekankan adanya kewenangan dan diskresi penyidik namun kadang kala lupa menyisipkan bahwa penyidik dalam melakukan kewenangan maupun diskresi ini harus beritikad baik (acting in good faith). Asas good faith ini sudah menjadi elemen mutlak dalam setiap hukum acara pidana. Polisi memiliki kewenangan dan diskresi untuk menilang pelanggar lalu lintas. Namun mana kala Polisi membiarkan pengendara masuk ke jalur buswasydan tiba-tiba di ujung jalan menyetop dan menilangnya, maka Polisi ini sedang berakting not in good faith. Penyidik berhak menangkap tersangka namun jika dia menangkap pada jam 2 subuh denga maksud membuat kapok si tersangka karena dendam, maka polisi sudah tidak beritikad baik. Kata para pakar, seorang penegak hukum beritikad baik jika tindakan dan keputusannya patut dalam situasi tertentu. Artinya, asas good faith ini membatasi kewenangan dan diskresi penyidik. (del Carmen, Criminal Procedure: Law and Practice, 2013).

Tapi lagi-lagi, asas ini tidak mendarah-daging dalam penegakan hukum kita. Alasannya, asas ini tidak tereksplisit dalam KUHAP dan KUHP. Menangkap Pimpinan KPK pakai borgol adalah sesuai dengan kewenangan dan diskresi penyidik. Tidak ada yang membantah itu. Tapi apakah tindakan itu didasarkan oleh asas hukum itikad baik, sayangnya tidak ada pula yang mempersoalkannya dari sisi ini. Menjadikan semua pimpinan KPK sebagai tersangka adalah wewenang dan diskresi penyidik. Sayangnya, publik lebih mempersoalkannya dalam kacamata “kriminalisasi”, yang justru bukan persoalan hukum. Padahal kewenangan penyidik ini sekalipun dibenarkan oleh UU sudah kehilangan good faith-nya. Sekali lagi, ini asas hukum, bukan semata-mata kepantasan.

Asas ini juga berlaku dalam perilaku politik. Apakah DPR waktu menyetujui calon Kapolri yang sudah jadi tersangka disandarkan pada asas good faith? Tentunya tidak terlalu susah menjawabnya.
***
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates