BALADA KPK, NOVEL BASWEDAN DAN DONGENG 'ICARUS"

by - May 01, 2015


Pimpinan dan tokoh kunci KPK berguguran. Masih ingat Antasari Azhar, pimpinan KPK yang dulu berani memenjarakan besan Presiden SBY? Sudah lama dia di penjara. Abraham Samad dan Bambang Wijayanto yang nekat menyeret menteri aktif dan ketua partai serta sederet penguasa politik, juga kayaknya bakal menyusul. Pimpinan KPK lainnya sempat bakal tersentuh, namun kayaknya berhenti di tengah jalan. Nah.. pada Hari Buruh 1 Mei ini, Novel Baswedan, maestro penyidik KPK, tiba-tiba ditangkap. Lengkaplah sudah balada KPK yang semuanya berujung pada penjara.

Semua terjerat kasus dan kasusnya, konon kata kebanyakan orang, “remeh temeh,” “usang”, dan “lebay”. Semua perkara yang menjerat mereka tampak “imperfect”, alias tidak sempurna sebagai suatu perkara pidana. Kata banyak kalangan, semua sepertinya terbalut selendang “politik”. Kalau selama ini kita sering disuguhi cerita Agatha Christy tentang “tidak ada tindak pidana yang sempurna” (“there is no such thing as a perfect crime.”), namun kali ini kita menyimak suatu tontonan tentang ketidaksempurnaan “memidanakan” seseorang. Ketidaksempurnaan ini semakin menyolok karena yang “dipidanakan” adalah penegak hukum, dan kebetulan semuanya adalah yang nekat memberangus korupsi. Para penegak hukum ini harus masuk bui, tempat di mana mereka selama ini telah mengirimkan para koruptor.

Namun bukan itu yang menarik perhatian saya saat ini. Saya tertarik untuk menjawab pertanyaan “mengapa para penegak hukum yang ekstrem melawan korupsi ini akhirnya berujung pada penjara juga?” Saya sedang malas membahas teori “konspirasi”, atau “corruptor fight back”, atau teori balas dendam. Bahkan saya juga sedang alergi bicara soal hukum adalah panglima, soal itikad baik penegakan hukum, soal “Polri bukan milik pribadi”, atau soal lainnya yang kelihatannya masih membebani negara tercinta ini. Pembahasan soal-soal ini mungkin masih sia-sia untuk tahap sekarang ini, kalaupun dipaksakan, siapa juga yang bakal peduli. Semua kan lagi sibuk dengan euforia politik.

Tiba-tiba saya teringat dongeng Yunani kuno “ICARUS”. Cerita ini mungkin agak menghibur hati saya, dan mungkin menghibur hati para pembaca sekalian di tengah kegalauan penegakan hukum saat ini. Konon ceritanya begini:

Alkisah, seorang yang bernama Daedalus di jaman Yunani Kuno, sangat cerdas dan sering melahirkan penemuan-penemuan ilmiah yang menakjubkan. Pada suatu hari, Raja Minos memerintahkan Daedalus untuk membangun sebuah gua berkelok dan membingungkan untuk mengurung anak tirinya, Minotaur. Setelah Daedalus selesai membangun gua ini, dia menjadi orang yang sangat berbahaya bagi Raja, karena mengetahui rahasia negara. Akhirnya Raja memenjarakan Daedalus bersama putranya Icarus ke pulau terpencil.

Daedalus dan Icarus ingin keluar dari penjara pulau ini, tapi bagaimana caranya? Mereka mencermati burung-burung yang terbang bebas dan mulai berpikir bahwa dengan cara terbang seperti burung-burung ini mereka dapat keluar dari tempat pembuangannya. Singkat cerita mereka berhasil membuat sayap-sayap dan menumpukkannya ke tubuhnya dengan berpenopang sebatang lilin. Akhirnya mereka berhasil terbang bebas dan sangat menikmati terbang tingginya. Daedalus melihat Icarus sangat bersemangat dan cenderung ingin terbang setinggi-tingginya. Daedalus mengingatkan Icarus, “Anakku jangan terbang terlalu tinggi karena akan berbahaya.” Peringatan ini terus-menerus didengungkan kepada Icarus.

Namun, Icarus terlalu asyik dengan terbang tingginya, semakin tinggi semakin menyenangkan. Dia semakin semangat untuk mencapai ketinggian yang sempurna. Icarus melihat matahari dan bertekad untuk mendekatinya karena impiannya selama ini melihat matahari adalah destinasi kebenaran yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Sebagai pemuda yang idealis dan cerdas dia tentu ingin melihat kebenaran yang sempurna. Namun tanpa tahu penyebabnya Icarus merasa semakin lemah dan tanpa sadar ternyata sayap-sayapnya sudah copot satu demi satu dari batang lilin semakin meleleh karena terik matahari. Akhirnya Icarus jatuh dan mati.

Cerita “sad ending” ini kelihatannya sarat menyiratkan sesuatu. Terlalu sempurnakah destinasi yang ingin dicapai oleh penegak hukum KPK sehingga akhirnya sayap-sayap mereka harus berguguran satu per satu dan menjatuhkan mereka ke tempat yang sangat rendah? Terlalu bermimpikah mereka, dan tentunya juga kita yang mengingingkan Indonesian bebas korupsi, tentang ide pemberantasan korupsi di Indonesia ini? Atau terlalu tinggikah “arogansi” mereka memberantas koruspi sehingga harus berguguran?

Ide negara yang bebas korupsi mungkin masih merupakan “matahari” yang teriknya sangat membahayakan bagi mereka yang mencoba menggapainya. Saya takut, tidak ada lagi Icarus-Icarus yang berani terbang menggapai matahari. Negara akan lebih banyak melahirkan Icarus-Icarus yang bermimpi, tanpa berani menggapai mimpi itu. Jika demikian, matahari akan semakin jauh dari keseharian kita, dan akan menjadi dongeng bagi negara tercinta ini. Sampai di sini saya tidak tahu harus berkata apa. Untuk menjadi Icarus yang bermimpi pun, saya sudah merasa malu.

You May Also Like

0 comments