DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945

DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL

MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945

Damos Dumoli Agusman[1]
[Opino Juris, Vol. 4 (2012)]


Perjanjian internasional di Indonesia telah melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda. Pertama periode 1945-1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 UUD yang berlaku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.
Secara keseluruhan perjalanan sejarah Indonesia, dasar konstitusional untuk perjanjian internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:

Sekalipun dasar konstitusional untuk perjanjian internasional telah mengalami rangkaian phase rejim hukum yang berbeda, rumusan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari perjanjian internasional tidak pernah berubah. Untuk itu artikel ini bermaksud menggali sejarah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif yang utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia sampai saat ini.
Pasal ini tidak secara khusus mengatur tentang perjanjian internasional namun menempatkannya senafas dengan kekuasaan Presiden lainnya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu menyatakan perang dan membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan  menurut penulis tidak dimaksudkan untuk mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan hanya mengidentifikasi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara[2] antara lain dalam membuat perjanjian internasional. Para ahli mengalami kesulitan untuk menemukan latar belakang dirumuskannya pasal yang singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat secara kilat oleh perancangnya (BPUPKI) mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik maupun referensi yang dapat membantu merumuskan Pasal 11. Ko Swan Sik[3] menyatakan bahwa kemungkinan besar para perumus UUD 1945 lebih banyak menggunakan referensi dari Belanda dan mungkin sedikit sekali menggunakan model Amerika Serikat mengingat pada waktu itu Konstitusi Amerika Serikta tidak terlalu dikenal oleh elit Indonesia.  Sedangkan ahli sejarah Indonesia seperti A. Arthur[4] menduga model Amerika Serikat merupakan inspirasi utama bagi perumus UUD 1945.
Dari berbebagai perdebatan seperti yang terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata beberapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai referensi, yaitu Konstitusi Perancis, Belanda, Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang).[5]  Dalam perdebatan terlihat bahwa para perumus tidak terlalu menyukai semangat yang terkandung dalam konstitusi-kontitusi Negara Barat karena dinilai terlalu liberal dan individualisme dan lebih mengarah ke Timur yaitu pada semangat yang terkandung pada Konstitusi Meiji.[6]  Sekalipun demikian, para perumus tidak secara keseluruhan menolak konsep-konsep Barat karena pada kenyataannya juga mengadopsi prinsip rechstaat seperti yang terkandung pada Konstitusi Weimar.

Dari analisa komparatif terhadap konstitusi yang berlaku pada periode kemerdekaan RI, terkait dengan kekuasaan presiden di bidang luar negeri, para perumus tampaknya menggunakan Konstitusi Meiji 1989. Pasal 13 menyatakan:

The Emperor declares war, makes peace, and concludes treaties[7].
Catatan diskusi tentang pasal-pasal kekuasaan Presiden hampir seluruhnya mengambil pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji. Bahkan pada tahun 1942, Supomo, Subardjo dan Maramis sebelum mulainya persidangan BPUPKI pernah mengusulkan suatu draft UUD yang pada umumnya adalah “copy paste” dari Konstitusi Meiji. [8] Pasal 9 draft mereka bahkan mengusulkan rumusan “Kepala Negara menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dalam perdebatan awal di BPUPKI rumusan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan istilah yang berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan Negara. [9] Teks ini kemudian berkembang dalam perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi sehingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden.

Dalam perdebatan selanjutnya, pasal ini tidak termasuk pasal yang kontroversi sehingga dengan cepat dapat diterima dengan hanya penambahan kalimat “dengan persetujuan DPR” agar selaras degan prinsip “check and balances” yang mendominasi pola pikir para perumus UUD 1945 pada waktu itu.

Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kekuasaan prerogative Presiden juga mengambil rumusan yang sama dari Konstitusi Meiji, misalnya:
Pasal 5: The President exercises the legislative power with the consent of the Parliament (Article 5 of the Meiji Constitution)
Pasal 10 : The President is the supreme commander of the Army, Navy and the Air Force (Article 11 of the Meiji Constitution)
Pasal 12: The President may declare a state of emergency. The conditions for such a declaration and its effects shall be determined by law (Article 14 of the Meiji Constitution).
Pasal 14: The President grants pardon, amnesty, commutation of punishment, rehabilitation (Article 16 of the Meiji Constitution).
Pasal 15: The President confers  ranks, orders and other marks of honour (Article 15 of the Meiji Constitution).
Penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi untuk kewenangan prerogratif Presiden dapat dipahami dengan beberapa pertimbangan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan gagasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia sehingga dapat dipahami jika referensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi pedoman utama. Para perumus tidak melirik konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya karena tingginya sentimen anti penjajahan Belanda dan imperialisme, [10]  serta tidak melirik Konstitusi dari Negara-negara Asia karena ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat dipahami. Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI adalah tentara Jepang[11] dan sangat mungkin dalam memberikan kontribusinya mereka merujuk pada Konstitusi yang mereka pahami. Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus telah mengindikasikan orientasinya terhadap Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon Teikoku (Japan) sehingga model Jepang menjadi sangat relevan dan menjanjikan. 
Pasal 11 ini memang bukan pasal yang menarik perhatian pada masa pembahasan.[12] Di tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa perang mulainya perang kemerdekaan, para perumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya perdebatan yang berlarut-larut tentang pasal ini dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan di BPUPKI lebih banyak diwarnai oleh pertentangan padangan ideology antara kelompok Islam yang mendesak terbentuknya Negara Islam dengan kelompok nasionalis yang menentangnya.[13]
Namun demikian, patut pula dicatat bahwa penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam literatur sejarah Indonesia. Berbagai catatan dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para mantan perumus UUD 1945 juga tidak pernah secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di bidang hak prerogratif Presiden. Beberapa pertimbangan politik mungkin mendasari adanya kecenderungan untuk tidak menguak fakta sejarah ini. Pertama, sejak kemerdeaan RI terdapat semangat nasionalisme yang sangat tinggi yang memotret bahwa Indonesia memperoleh kemerdekaan melalui usahanya sendiri dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah ciptaan local yang berakar pada nila filosofis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD 1945 mengambil rujukan dari konstitusi asing merupakan pandangan yang tabu pada waktu itu dan di tengah-tengah nasionalisme yang tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akademis tentang UUD 1945 lebih banyak didominasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, yang memang secara original  merupakan produk pemikiran asli para pendiri bangsa Indonesia.
Kedua, sejak masuknya Jepang, para pendiri Negara telah telah terpecah dengan adanya tawaran Jepang untuk memerdekakan Indonesia dengan terbentuknya BPUPKI. Beberapa tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain bersikap kooperatif. Persoalan menjadi sensitif jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “hadiah” dari Jepang sehingga terdapat sentimen trauma jika ada indikasi yang mengarah pada referensi Jepang. Tuduhan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah restu Jepang memang akhirnya telah menjadi perdebatan dalam literature hokum internasional. [14] Selain itu, Orde Baru juga menempatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang sakral sehingga tidak dibuka ruang untuk adanya pandangan lain tentang Konstitusi ini apalagi mengaitkannya dengan konstitusi asing.
Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian internasional itu sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-negara terhadap hukum internasional[15], apa lagi Negara-negara yang baru merdeka.[16]
Seperti halnya Konstitusi Meiji 1889[17], pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terhadap hukum internasional karena memang masih sangat asing bagi pendiri Negera. Selain itu, konstitusi-konstitusi negara yang mengatur tentang hukum internasional pada masa itu masih terbatas dan hanya didominasi oleh konstitusi negara-negara Barat seperti Weimar Constitution 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bahkan Belanda sendiri sebagai Negara kolonial yang seyogianya mempengaruhi para perumus UUD 1945  baru pada pada tahun 1938 mengatur perjanjian internasional secara rinci[18].
Dengan demikian pasal 11 UUD 1945 tidak mungkin dapat menjelaskan tentang berbagai permasalahan yang mengemuka dewasa ini, seperti apa yang dimaksud dengan perjanjian, membuat perjanjian serta apa bentuk formal dari persetujuan DPR. Pasal ini jauh dari mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian dalam sistem hukum nasional Indonesia.
         Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada periode sebelum reformasi sehingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluarkan kebijakan yang tertuang dalam produk legislasi di luar UUD 1945. Pertama adalah Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Surat Presiden tersebut maka perjanjian internasional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi sebagai berikut:
1.    Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
2.    Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri negara.
3.    Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti masalah kewarganegaraan dan masalah-masalah kehakiman.

Menurut pengamatan penulis, surat ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya pembuatan perjanjian sampai tahun 1960[19] sehingga dinilai tidak praktis dan membatasi keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional jika semua perjanjian internasional harus melalui proses persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit akibat norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat mensyaratkan persetujuan DPR karena secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh disahkan kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Penulis membayangkan bahwa ketatnya aturan ini serta pesatnya pembuatan perjanjian pada periode tersebut[20] telah menyulitkan Presiden dalam proses pembuatan perjanjian internasional dan inilah antara lain yang memicu keluarnya Surat Presiden tersebut.
Dengan kriteria ini maka tidak semua perjanjian harus mendapat perstujuan DPR dan oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive yang terselubung terhadap pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini tegas mengartikan bahwa semua perjanjian harus mendapat persetujuan DPR namun oleh Surat tersebut telah diubah menjadi hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang dipedomani oleh Surat Presiden 2826 tersebut.
         Penetapan kriteria untuk menentukan perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda telah menerapkan kriteria ini dan bahkan telah diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD 1950. Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh Konstitusi dan Praktik Belanda pada periode itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hukum para birokrat di lingkungan Kabinet dan khususnya Kementerian Luar Negeri.
Persoalannya adalah, UUD 1945 tidak mengenal pembedaan ini karena memang konstitusi rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlukan kriteria ini. Kaisar Jepang berdasarkan Konstitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat perjanjian tanpa persetujuan Diet, sehingga tidak perlu membedakan jenis perjanjian. Sisipan kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini menjadi berbeda dengan Konstitusi Meiji. Akibatnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia melirik pada Konstitusi Belanda yang memang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen. Dalam hal ini, telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan praktik Indonesia, yaitu menggunakan dasar konstitusional Jepang (Meiji) namun mengembangkannya dengan menggunakan model Konstitusi Belanda.
Keruwetan dasar konstitusional ini seharusnya dapat diselesaikan melalui amandemen UUD 1945 yang intensif dilakukan sejak reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul pada perubahan (amandemen) ketiga UUD 1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun sayangnya perubahan yang dilakukan tidak menyentuh akar masalah melainkan kembali berkutat pada masalah kewenangan Presdien vis a vis DPR. Pada perubahan ketiga, Pasal 11 mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga Pasal ini secara lengkap berbunyi:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang
         Amandemen ini tentunya tidak mengubah apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian internasional karena hanya menambah pasal yang menekankan adanya kewenangan DPR untuk memberi persetujuan terhadap perjanjian lainnya yang dibuat dengan organisasi internasional. Penambahan pasal ini juga tidak berdampak dalam praktik karena belum satu pun perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah dibuat dan mendapat persetujuan DPR. Akibatnya, amandemen ini tidak menyelesaikan permasalahan klasik yang lahir akibat keterbatasan pengaturan pasal 11 UUD 1945.

         Penulis menyarankan agar amandemen UUD 1945 berikutnya, pasal 11 mendapat giliran yang signifikan dan diamandemen secara proporsional sehingga memberi dasar konstitusional yang kuat bagi perjanjian yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus mengatur tentang kewenangan membuat perjanjian, kriteria perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR, serta kedudukan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia. Pengujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi sejak 2011 merupakan contoh pahit dari keterbatasan pasal UUD 1945.


[1] Pengamat Hukum Internasional, Mahasiswa PhD pada Universitas Franfkurt dan sedang menjabat sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Tulisan ini murni padangan akademis penulis dan tidah harus merefleksikan posisi resmi Pemerintah RI.
[2] Menurut penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.
[3] Lihat misalnya Ko Swan Sik, The Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3.
[4] A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, the Hague, 1955, at 19.
[5] Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (“Preparatory Documents to the Constitution of 1945”), Vol. I, at 291.
[6] Soekarno dalam pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah berdasarkan falsafah yang hidup (volkgeist) dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis yang telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 287-298.
[7] English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02.html. Konstitusi Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan pasal 48 Konstitusi Prussian: “the king shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties with foreign governments. The latter require for their validity the assent of the chambers in so far as they are commercial treaties, or impose burdens on the State, or obligations on the individual subjects”. English text dapat diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia. Menurut sejarah, ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan Konstitusi Meiji,  Kaisar jepang harus diberikan kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah sebabnya berbeda dengan Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan persetujuan Diet untuk pembuatan perjanjian internasional,  Beckmann, George M, The Making of the Meiji Constitution, University Kansas Press, 1957, 71.
[8] Yamin, op.cit, Vol. I, 784-793.
[9] Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15.
[10] Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 505.
[11] Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of Indonesia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122.
[12] Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang hukum namun tidak hukum internasional, Ko Swan Sik, opcit, 4.
[13] Yamin, Muhammad, Vol I,  376-396.
[14] Sastroamidjojo, Ali and Robert Delson, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten von Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433.
[15] Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL 1923, at 234.
[16] Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 526.
[17] Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional sejak 1850. Japan and International Law: Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International, 2001,  350.
[18] Verzijl, J.H.W. International Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106.
[19] Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia telah membuat sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indonesia telah membuat 36 perjanjian, angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
[20] Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56 perjanjian internasional dan hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk mendapatkan persetujuan DPR.

Share
Tweet
Pin
Share