KEMUNGKINAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI - JUDICIAL REVIEW – KAN

oleh Lita Arijati, et.al
LatarBelakang

Pemerintah RI dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusahamelakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentinan nasionalnyadiantaranya adalah dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negaralain, organisasi internasional dan subyek hukum lainnya. Dengan meningkatnyaintensitas hubungan dan interdependensi antarnegara, menyebabkan meningkatnyapula kerjasama internasional yang dituangkan dalam bentk berbagai macamperjanjian internasional.

Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuatperjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Pembuatan dan pengesahanperjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia denganpemerintahnegara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasionallain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting, karena mengikat negaradengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu salah satu carapembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkanUU.

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatuperjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihakterhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasionalmemerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akanmengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkanoleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjianinternasional dilakukanberdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelahterpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.
Dalam penelitian ini, akan dibahas pokokpermasalahan sbb :
  1. Bagaimana proses pengesahan perjanjian nternasional menjadi UU di Indonesia? 1.
  2. Apakah UU yang mengesahkan perjanjian internasional dapat diajukan ke depan MK?
  3. Bagaimana proses pengajuan UU yang mengesahkan perjanjian internasional dalam hal diajukan kehadapan MK?
  4. Bagaimana dampak secara nasionalmaupun internasional dari UU yang mensahkan perjanjian internasional jika dibatalkan ole MK?
Proses Pengesahan Perjanjian Internasional

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesiadengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukuminternasional lainnya adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karenamengikat negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu,pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkanUU.

Sebelum adanya UU No. 24 tahun 2000, kewenangan untuk membuat perjanjianinternasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwaPresiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional denganperstujuan DPR. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjutbagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum diIndonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencobamenjabarkanlebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[1]
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalambentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukankepada Ketua DPR, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjianinternasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasionalmenurut Surat Presiden dapat dilakukan melalui UU atau Keppres, tergantung darimateri yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prakteknyapelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perluuntuk diganti dengan UU yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional

Hal ini emudian yang menjadi alas an perlunyaperjanjian internasional diatur dalam UU No. 24 tahun 2000. Dalam UU tersebut,adapun isi yang diatur adalah[1]:
a. Ketentuan Umum
b. Pembuatan perjanjian internasional
c. Pengesahan perjanjian internasional
d. Pemberlakuan perjanjian internasional
e. Penyimpangan perjanjian internasional
f. Pengakhiran perjanjian internasional
g. Ketentuan peralihanKetentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasionalterbagi dalam empat kategori, yaitu:
  1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
  2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
  3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
  4. Selain itu juga ada perjanjian- perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjianinternasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapatdiartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut.Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untukdapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelumperjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatanganinaskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjianinternasional, memerlukan surat uasa (Full Powers).[1] Pejabat yang tidak memerlukansurat kuasa adalah presiden dan menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasamateknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinyaberada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah,baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjangdipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatuperjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati olehpara pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlakusetelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam UU.[2]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Keppres.[3]Pengesahan dengan UU memerlukan persetujuan DPR.[4]Pengesahan dengan Keppres hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[5] Pengesahan perjanjian internasional dilakukanmelalui UU apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
  3. kedaulatan atau hak berdaulat negara
  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
  5. pembentukan kaidah hukum barupinjaman dan/atau hibah luar negeri.[1]
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPRdapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan dari pemerintah mengenaiperjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikankepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan ataspermintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalamPasal 9 ayat (2) UU No. 24 tahun 2000, dinyataka bahwa, “Pengesahan perjanjianinternasional sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undangatau keputusan presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasionalke dalam hukum nasional Indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkanbahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum interasional sebagai duasitem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalambentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UUNo. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui UU dan Keppres. UU ratifikasi tersebuttidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasionalIndonesia, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikatterhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasionaltersebut berlaku perlu dibuat UU yang lebih spesifik mengenai perjanjianinternasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi ICCPR melaluiUU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang adadi covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalampemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatupelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional sepertiini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumenperjanjian/ nota diplomatic, atau melalui cara lain yang disepakati dalamperjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya adalah perjanjianyang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, social,budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasamaantar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikatpara pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjiantersebut.

Apakah MK Berwenang Menguji UU yangMengesahkan Perjanjian Internasional?

Menurut UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa MKberwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifatfinal untuk:

  1. menguji UU terhadap UUD 1945
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
  3. memutus pembubaran partai politik, dan
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum[1]
Dengan demikian salah satu kewenangan dari MKyang perlu digaris-bawahi adalah mengenai menguji UU terhadap UUD 1945. Hal inirelevan karena dalam melakukan ratifikasi terhadap suatu perjanjianinternasional adalah melalui UU.

Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, dalam Pasal 8, disebutkan bahwa materi muatan yang harusdiatur dalam UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945yang meliputi (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara;(3) pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;(4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan;dan (6) keuangan negara.[1] Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD1945 adalah diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.[2]

Hal ini sama dengan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2000 mengenai hal apa sajadari perjanjian internasional yang disahkan dalam UU. Beberapa hal yang samaadalah mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah negara dan masalahkeuangan negara. Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebihspesifik dari muatan UU secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaanantara UU ratifikasi perjanjian internasional dan UU pada umumnya dilihat darisudut muatan materi UU.

Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemprakarsa yangterdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupunnon-departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, RUU, ataurancangan Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud sertadokumen-dokumen lain yang diperlukan.[3]

Pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untukdisampaikan kepada Presiden.[4] Presiden mengajukan RUU tentang pengesahanperjanjian internasional yang telah disiapkan dengan surat presiden kepadapimpinan DPR. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan antara lain tentangmenteri yang ditugasi mewakili presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.[5]

DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak suratpresiden diterima. Untuk keperluan pembahsan RUU di DPR, menteri atau pimpinanlembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yangdiperlukan.[6]

Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yangditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan,Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alatkelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.Tata cara pembahasan RUU tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR.[7]

Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden,diampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU.[8]Setiap UU atau Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkandalam Lembaran Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undanganpengesahan suatu perjanjian internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkanagar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah danmengikat seluruh warga negara.[9]

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan pemerintah RI padasuatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara-negara pihakdalam perjanjian internasional atau disimpan oleh negara atau lembagapenyimpanan pada organisasi internasional.[10] Lembaga penyimpanan (depositary)merupakan negara atau organisasi internasional yang ditunjuk atau disebutsecara tegas dalam surat perjanjian untuk menyimpan piagam pengesahanperjanjian internasional.Praktek ini berlaku bagi perjanjian multilateral yangmemiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya memberitahukan semuapihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam pengesahan dari salahsatu pihak.[11]

Disamping perjanjian internasional yang disahkan melalui UU atau Keppres,pemerintah dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelahpenandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatic, ataumelalui cara lain sesuai kesepakatan para pihak yang dituangkan dalamperjanjian. Secara struktur, muatan dan isi serta proses pembentukan dari UUpengesahan perjanjian internasional tidak berbeda dengan UU lainnya. Olehkarena itu, UU ini dapat diajukan ke MK.

Tatacara Pengajuan Permohonan Pengujian UU yang Mengesahkan PerjanjianInternasional ke MK

Dalam perkara permohonan pengujian UU Pengesahan Perjanjian Internasional, makaprosedur pengajuan yang digunakan tidaklah berbeda dengan apa yang telahditetapkan dalam peraturan Mahkamah tentang pengajuan permohonan. 
Dimana bagian yangterpenting adalah legal standing dari pemohon dalam mengajukan permohonannya.Dalam hal ini adalah kepentingan pemohon dalam mengajukan permohonan termaksud.

Dalam berperkara di MK, sebenarnya tidak semua orang boleh mengajukan perkarapermohonan ke MK dan menjadi pemohon.[12] Adanya kepentingan hukum sajasebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[13] maupun hukum acara tata usahanegara tidak dapat dijadikan dasar.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut UU untukmengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarattersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukumuntuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian UU. Persyaratan legalstanding dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU,maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusionaldengan berlakunya UU yang dipersoalkan.

Dalam hukum acara MK yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MKditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003, yang bunyinya sbb:

  1. Perorangan warganegara Indonesia;[1]
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI ynag diatur dalam UU;[2]
  3. Badan hukum public atau privat;[3]
  4. Lembaga Negara.[4]
Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harusmampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangankonstitusionalnya yang dirugikan. Seperti telah diuraikan di atas, kepentinganhukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukanpermohonan di MK, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas.Dua criteria dimaksud adalah:[1]
  1. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan WNI (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU; (iii) badan hukum public atau privat, atau (iv) lembaga negara;
  2. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Kemudian, berdasarkan pertimbangan hukumPutusan Perkara No. 006/PUU-III/2005, Mahkamah telah menentukan limapersyaratan mengenai kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunyasuatu UU sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu:
  1. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
  2. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu UU yang dimohonkan pengujian;
  3. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus dan actual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  4. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian;
  5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Dari penjelasan-penjelasan di atas, makadapat diketahui bahwa setiap pemohon haruslah:
  1. salah satu dari keempat kelompok subjek hukum tersebut di atas;
  2. bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
  3. bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya UU atau bagian dari UU yang dipersoalkannya itu;
  4. bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal dengan berlakunya UU yang dimaksud;
  5. bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya UU dimaksud. Jika kelima criteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang bersangkutan memang dapat dipastikan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan perkara ke MK.
Sudahtentu, dalam pelaksanaannya, kelima criteria tersebut masih bersifat abstrak.Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya dilapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukanpermohonan, kelima kriteria itu kadang-kadang tidak diterapkan secara kaku,atau bersifat kumulatif secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legalstanding ini baru mengantarkan pemohon kepada keabsahannya sebagai pemohon,belum memperhitungkan pokok permohonannya.

Untuk itu dalam kaitannya dengan permohonan yang diajukan ke mahkamah, dalampermohonannya pemohonharus menjelaskan kedudukan hukum pemohon dalam perkarayang diajuakan. Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UUpengesahan perjanjian internasional, maka pemohon harus menguraikan denganjelas mengenai anggapan tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohonyang dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Uraian ini harus secara jelas dantegas yang pada pokoknya akan menunjukkan hubungan hukum antara pemohon denganmateri permohonan yang hendak diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjianinternasional, Mahkamah perlu lebih berhati-hati dalam memutuskan legal standingini. Untuk itu secara khusus perihal legal standing harus menjadi perhatianMahkamah, mengingat dampak kekuatan mengikatnya tidak saja terhadap keberlakuanUU tersebut akan tetapi juga dalam pergaulan internasional.

Materi pengajuan yang hendak dimohonkan ke mahkamah juga harus menyebutkandengan jelas perihal permohonan pengujian formil atau pengujian materiil. Dalamhal ini pemohon harus menguraikan dengan jelas yang berisi uraian perihalpermohonan yang hendak diajukan, apakah itu materiil atau formil. Uraian iniakan menjadi gambaran yang jelas bagi hakim dalam menilai materi permohonanyang diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan pengujian formil, dalam perkara pengujian UUpengesahan perjanjian internasional, kiranya menjadi perhatian khusus Mahkamahdalam memeriksa dan memutus perkara ini adalah terkait dengan pengujian ataspembentukan UU a quo. Hal ini terkait dengan proses keikutsertaan Indonesiasebagai pihak dalam perjanjian internasional, masalah proses perundingan ataunegosiasi, keterwakilan pemerintah dalam perjanjian internasional tersebut danproses pengesahan perjanjian internasional menjadi UU.

Dalam pengujian formalitas UU pengesahan perjanjian internasional, pemeriksaantidak hanya terkait dengan proses pembentukan di DPR akan tetapi harus jugadijadikan perhatian perihal proses keikutsertaan Indonesia dalam perjanjianinternasional. Dalam hal ini harus diperhatikan bagaimana keikutsertaanIndonesia dalam perjanjian internasional tersebut. Terkait dengan keterwakilanpemerintah Indonesia dalam perjanjian tersebut, dimana harus dilihat siapa yangmewakili pemerintah Indonesia? Apa dasar keterweakilan pemerintah Indonesia?Hal ini terkait dengan surat kuasa yang diemban oleh wakil Indonesia dalamproses perjanjian internasional tersebut. Hal ini akan terkait dengan sejauhmana wewenang wakil pemerintah tersebut dalam kaitannya dengan proseskeikutsertaan dalam perjanjian internasional.

Hal lain yang harus juga diperhatikan dalam kaitannya dengan permohonanpengujian formil UU pengesahan perjanjian internasional adalah apa bentuk UUpengesahan tersebut. 
Halini akan terkait dengan bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjianinternasional. Hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan perihal bentukpengesahannya apakah UU ratifikasi atau aksesi atau penerimaan, sebagaimanayang disebutkan dalam UU Perjanjian Internasional.

Dalam petitumnya pemohon dalam permohonan pengujian formil UU pengesahanperjanjian internasional, menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatanhukum mengikat. Permohonan putusan Mahkamah dalam petitum penting untukdinyatakan dalam permohonan yang diajukan, hal ini sebagai dasar bagi hakimdalam menjatuhkan putusan atas perkara a quo. Apabila dalam permohonan tidakdinyatakan petitumnya, maka hal ini harus menjadi perhatian dalam pemeriksaanpendahuluan dan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaikipermohonannya.

Dalam hal permohonan yang diajukan adalah pengujian materiil UU pengesahanperjanjian internasional, maka pengujian dilakukan berkaitan dengan materimuatan dalam ayat, pasl dan/ atau bagian yang bertentangan dengan UUD 1945.Dalam hal ini harus diperhatikan dengan baik terkait dengan materi muatan yangmenjadi dasar pengujian materiil yang diajukan, dimana apakah pernyataan tidakmemiliki kekuatan hukum mengikat atas materi muatan yang diperiksa dan diputusmahkamah akan dapat dikategorisasi sebagai pembatalan sepihak atau tidak. Dalamhal ini harus diperhatikan, perjanjian internasional tersebut secarakeseluruhan. Kerena pengujian UU pengesahan perjanjian internasional memilikidimensi yang tidak saja bersifat nasional namun juga internasional.

Kesemua aspek tersebut akan menjadi bagian yang penting dalam pertimbangan yangakan dibuat oleh Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dalam hal pengujianUU pengesahan perjanjian internasional dapat menimbulkan penafsiran sebagaibentuk pembatalan sepihak (denunciation) dari keikutsertaan Indonesia, hal inijuga harus diperhatikan oleh Mahkamah, yaitu apakah dalam perjanjianinternasional tersebut dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sepihak ataupenangguhan.

Hal ini penting bagi Indonesia, karena Indonesia tidak dapat menarik diri dariperjanjian tersebut jika tidak ada pasal yang mengatur mengenai pe,batalansepihak atau penangguhan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut. Dalammemberikan keputusan yang terkait dengan permohonan pengujian UU pengesahanperjanjian internasional, juga harus dipertimbangkan dampak yang akan timbuldari dikabulkannya permohonan tersebut. Meskipun dengan pembatalan UUpengesahan perjanjian internasional tidak secara serta merta menghilangkankeikutsertaan Indonesia dalam pergaulan internasional.

Dampak Pembatalan UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional

Dampak dari pembatalan UU tersebut tidak hanya akan bersifat nasional tetapijuga bersifat internasional. Walaupun dalam Konvensi Wina Article 46 dinyatakanbahwa negara peserta dari suatu perjanjian internasional dapat membatalkankeikutsertaannya dalam perjanjian jika pelanggaran terhadap perjanjian tersebutmerupakan suatu tindakan yang memang sesuai dengan internal law of fundamentalimportance. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah jika perjanjianinternasional yang disahkan oleh UU dianggap bertentangan atau tidak sesuaidengan UUD 1945, hal ini dapat dimasukkan dalam kategori tersebut.

Konvensi Wina menyatakan hal di atas karena dalam prosedur ratifikasi, negarapeserta diberikan kesempatan untuk memutuskan apakah akan menjadi pihak dalamperjanjian internasional atau tidak, dengan menyesuaikan perjanjianinternasional tersebut dengan konstitusi negaranya. Maka pernyataan untukterikat dalam perjanjian internasional tersebut merupakan suatu itikad baik,yang harus dihormati oleh negara-negara lainnya.

Mengenai pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh dibatalkannya suatu UUyang mensahkan suatu perjanjian internasional oleh MK tidak termasuk dalamfaktor-faktor yang menjadikan perjanjian menjadi batal atau ditangguhkan.

Namun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam pembatalan atau penangguhan secarasepihak ini tidak akan menjadi masalah jika pengunduran diri diatur dalam suatuperjanjian internasional, seperti halnya dalam Konvensi Jenewa 1949 tentangPerlindungan Korban Perang, dalam Pasl 63 mengenai Perbaikan Keadaan Luka danSakit di Medan Perang di darat, menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataantidak terikat terhadap perjanjian ini berlaku satu tahun sejak pemberitahuanmengenai pernyataan tersebut diterima oleh Dewan Federasi Swiss.
Berlainanjika pengunduran diri atau pembatalan tidak diatur dalam perjanjianinternasional. Seperti halnya di dalam Piagam PBB. Sebagai contoh adalah ketikaIndonesia mundur dari keanggotaan PBB pad Desmber 1964. Halini berlainan dengan LBB yang mengatur mengenai pengunduran diri dari LBB. PBBtidak ingin mengulangi pengalaman LBB yang dilemahkan oleh pengunduran diribeberapa anggotanya pada tahun 1938.

Pada saat Indonesia ingin kembali menjadi anggota PBB, pengunduran diriIndonesia di PBB dihitung sejak pernyataan mundur Indonesia di PBB. Dengandemikian Indonesia sebenarnya tidak pernah keluar dari PBB. Indonesiadiwajibkan membayar segala kewajiban selama ketidak aktifannya di PBB.

Dengan demikian pembatalan suatu UU yang mensahkan suatu perjanjianinternasional yang dilakukan oleh MK tidak selalu menjadikan Indonesia lepasdari keterikatannya yang telah dinyatakan oleh Indonesia terhadap perjanjiantersebut, jika pengunduran diri atau penangguhan untuk terikat terhadapperjanjian tidak diatur. Hal berbeda jika hal ini diatur dalam perjanjianinternasional.

------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Konstitusi Press: Jakarta, 2005, hal. 81-82
[1]Yang termasuk sebagai ini adalah kelompok orang warga negara Indonesia yangmempunyai kepentingan yang sama dapat tampil sebagai pemohon, asalkan dapatmembuktikan dirinya memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU untuk menjadipemohon.
[2]Rumusan ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
[3]Dengan berkembangnya ilmu hukum di masa modern ini, besar kemungkinan badanhukum tidak hanya mencakup pengertian public/privat saja, melainkan jugamencakup pengertian lainnya secara luas.
[4]Maksudnya adalah lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembagamasyarakat.
[1]Indonesia (c), UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, Lembaran Negara RI tahun 2004 NO. 53, Pasal 8
[2]Ibid, Pasal 8 ayat (2)
[3]Ibid, Pasal 12
[4]Ibid, Pasal 12 ayat (3)
[5]Indonesia (c), Pasal 20
[6]Ibid.
[7]Ibid, Pasal 32, ayat 1,5,6, dan 7
[8]Ibid, Pasal 37
[9]Indonesia (a), Pasal 14
[10]Ibid, Pasal 14
[11]Ibid.
[12]Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukangugatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di MK tidak bersifatadversaria atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang salingbertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata maupuntata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara pengujianundang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orangdalam kehidupan bersama. UU yang digugat adalah UU yang mengkat umum terhadapsegenap warga negara. Oleh sebab itu perkara yang diajukan tidak dalam bentukgugatan, melainkan permohonan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukandisebut sebagai pemohon.
[13]Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet poiny d’action, yaituapabila ada kepentingan hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.
[1]Indonesia (b), UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, Lembaran Negara RI tahun2003 No. 98, Pasal 10.
[1]Ibid, Pasal 10
[1]Ibid, Pasal 7
[2]Ibid, Pasal 8
[3]Ibid, Pasal 9
[4]Ibid, Pasal 10
[5]Ibid, Pasal 11
[1]Indonesia (a), UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional,Lembaran

Share
Tweet
Pin
Share