PENGARUH HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PROSES LEGISLASI


OlehRomli Atmasasmita

Pendahuluan

Betapa pentingnya mempersoalkan dan mengkaji serta memahami bagaimana pengaruhhukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum danhukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selaludikaitkan dengan prinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukumsuatu (bangsa) Negara didalam memasuki terutama abad globalisasi ini.Globalisasi sering diartikan secara kurang tepat, “dunia tanpa batas”,sedangkan justru dalam abad 21 globalisasi masalah batas wilayah Negara danyurisdiksi Negara merupakan isu yang sangat penting terutama bagi Negaraberkembang. Kedua, secara geografis, ethnografis dan secara cultural telahdiakui eksistensi keragaman antara bangsa tersebut sehingga hambatanimplementasi hukum internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia(melalui ratifikasi) sering erbentur kepada masalah penerimaan pengaruh asing(hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata yang berkembang di Indonesia.Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut berkaitan denan pengakuan atashak ekonomi, hak social dan hak politik yang berkembang dalam masyarakat.

Pengertian istilah “pengaruh” dalam konteks penyusunan program legislasinasional dan implementasinya kurang tepat, lebih baik digunakan istilah “aspek”sehingga yang dipersoalkan adalah melakukan formulasi aspek internasional kedalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan nasional. Jikaformulasi tersebut dapat dilaksaakan secara lengkap dan memadai maka prasangkaburuk terhadap masuknya pengaruh asing melalui proses pembentukan peraturanperundang-undangan dapat dicegah dan diatasi. Formulasi dimaksud sampai saatini beum dituangkan ke dalam suatu kebijakan legislasi nasional. Selain itupengertian istilah “pengaruh” menempatkan hukum nasional selalu dalam posisi“underdog” atau objek yang selalu dapat dipengaruhi sedangkan dari prinsipkebijakan uar negeri bebas dan aktif serta prinsip ”kedaulatan Negara” (Statesovereignty), posisi sedemikian adalah mustahil dan terdengar sangat naïf bagisuatu bangsa dan Negara yang meredeka dan berdaulat.

Judul makalah ini seharusnya menjadi, “Aspek (hukum) internasional didalamproses penyusunan program legislasi nasional dan implementasinya.”

Prinsip Kedaulatan Negara (State Sovereignty)

Prisip kedaulatan Negara atau “state sovereignty” merupakan prinsip umum hukuminternasional yang bersifat internasional. Prinsip ini telah menjadi perdebatanpara ahli hukum internasional sejak lama yang kemudian dijlaskan melalui teoridualisme dan monisme. Perkembangan kedua teori tersebut oleh setiap Negaraditanggapi berbeda-beda sesuai dengan kepentingan nasional Negaramasing-masing. Ada Negara ang mengutamakan teorimonisme primat hukum nasionaldan ada Negara yang mengutamakan monisme primat huku internasional.

Di dalam Mukadimah UUD 1945 dan batang tubuhnya menegaskan bahwa NKRI merupakanNegara Kesatuan –territorial integrity-, yang mengutamakan prinsipteritorialitas sebagai acuan utama. Prinsip kedaulatan dalam bentuk asli adalahmenjagakeutuhan wilayah territorial dan mencegah terjadinya investasi dariNegara lain. Sedangkan “Montevideo Convention on The Rights and DutiesnofStates” tahun 1933 menegaskan bahwa, Negara selaku subjek hukum internasionalmemiliki 4 (emapat) kualifikasi, yaitu : (a). penduduk yang tetap; (b). bataswilayah tertentu; (c). pemerintahan; (d). kapasitas dan kemampuan untukmengadakan hubungan dengan Negara lain. Singkatnya Konvensi tersebut menentukansyarat Negara untuk diakui sebagai subjek hukum internasional.

Dalam konteks kemampuan melakukan hubungan internasional, diperlukan agendiplomatic Indonesia di dalam proses negosiasi satu draft konvensi. Kemampuanitu sendiri tidak dilahirkan melainkan dipelajari dan dilaksanakan secarabenar. Untuk memahami dengan benar tentang perjanjian internasional dan sejauhmanakah peranan Negara di dalam menyikapisuatu treaty perlu dijelaskan beberapahal dibawah ini.

Treaty adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri kedalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu. Hukum PerjanjianInternasional yang bersumber dari The Law of the Treaties – United Conventionon the Law of the Treaty – UNCLT (1969) menegaskan harus dipenuhi syarat “pactasunt servanda” = suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukumbagi para pihak dengan itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yangbersangkutan.

Cara mengikatkan diri kedalam suatu perjanjian internasional berbeda-bedasesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara – “Civil Law system” atau“Common Law System”. Di dalam sistem hukum “Civil Law”, penandatanganan suatuperjanjian tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukanratifikasi oleh parlemen. Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum “CommonLaw”, penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukumnasional.

Bagi Indonesia yang masih menganut sistem hukum “Civil Law”, pemberlakuanperjanjian nternasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan prosesratifikasi oleh DPR RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentangsahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang RI No.37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000tentang Perjanjian Internasional.

Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang telah ditandatanganipemerintah Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif)sebagai dasar penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proseslegislasi di Indonesia, peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu“undang-undang pengesahan”. Implementasi undang-undang ratifikasi tersebutmasih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalamhal objek perjanjian internasional teah dimuat sebagian atau seluruhnya didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasitersebut akan melahirkan suatu UU tentang Perubahan. Jika objek perjanjian yangtelah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum nasional,maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru. Bagaimana kedua proseslegislasi tersebut di atas seharusnya diterapkan di dalam sistem hukumIndonesia, berikut akan dibahas mengenai sejauh mana ketentuan dalam suatuperjanjian internasional dapat dirumuskan menjadi suatu hukum (nasional) baru?


Proses dan pengaruh ratifikasi perjanjian internasional ke dalam proseslegislasi

Yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam judul di atas adalahperjanjian internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi olehpemerintah dalam bentuk suatu undang-undang tentang pengesahan perjanjianinternasional.

Di dalam menyikapi suatu perjanjian intrnasional pemerintah memerlukanpenelitian yang bersifat komprehensif selama melakukan proses negosiasi atasdraft konvensi dan harus mengetahui dan memahami karakteristik Negara pengambilinisiatif pengajuan draft konvensi (like minded countries) serta latar belakangpolitik dari pengajuan suatu draft konvensi tersebut dihubungkan dengankepentingan nasional Indonesia.

Departemen Luar Negeri adalah pelaksana utama dari seluruh proses tersebutsejak negosiasi, adopsi, penandatanganan, dan ratifikasi, dibantu olehKementrian Politik, Hukum, dan Keamanan atau Kementrian coordinator lain dankementrian terkait. Kata kunci dari keberhasilan seluruh proses tersebutterletak pada kesatuan visi dan misi serta pemahaman mengenai kedaulatan Negaradan kepentingan nasional di bidang pertahanan, keamanan, social, ekonomi,budaya, hukum dan kepentingan politik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukanprasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, yaitu mengutamakan kepentinganbangsa dan Negara di atas kepentingan sektoral, perorangan, kelompok denganberbagai alas an latar belakang dan kepentingan partai politik.

Selain prasyarat tersebut diatas, di dalam proses negosiasi dan ratifikasisuatu perjanjian internasional harus telah dipertimbangkan, apakah perjanjianinternasional dimaksud termasuk “non-reserved convention” atau “konvensi denganklausul reservasi” atau konvensi yang memberikan kesempatan untuk di-reservasi.Mengapa hal tersebut di atas menjadi penting? Hal ini disebabkan UNCLTmenegaskan bahwa Negara pihak (yang telah meratifikasi) dalam suatu perjanjiantidak boleh mengemukakan alas an untuk tidak melaksanakan isi suatu perjanjiandengan pertimbangan bahwa isi perjanjian tersebut bertentangan dengan sistemhukum nasional Negara yang bersangkutan.

Pertimbangan lain dalam menyusun suatu undang-undang pasca ratifikasi adalahharus secara teliti mempertimbangkan sifat dari suatu ketentuan konvensi :bersifat “mandatory” (mandatory obligation) atau bersifat non-mandatoryobligation.

Penutup
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses negosiasi draft konvensi internasional merupakan proses yang bersifatkrusial dalam perubahan hukum nasional untuk dapat menentukan perlu tidaknyapemerintah Indonesia ikut serta menandatangani konvensi setelah diadopsimenjadi bagian dari ketentuan hukum internasional.
2. Adopsi yang akan disusul dengan penandatnganan suatu konvensi internasionalmemerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar lembaga serta perlumempertimbangkan masukkan DPR RI terutama sepanjang berkaitan dengan pertahanandan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber daya manusia, ekonomi nasionaldan hak asasi manusia.
3. Proses ratifikasi suatu konvensi internasional bukan hanya prosespersetujuan semata-mata melainkan seharusnya merupakan forum pertanggungjawabanpolitis pemerintah dihadapan DPR RI.
4. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU PengesahanKonvensi melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses:harmonisasi substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaankonvensi dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai sumber hukum nasional yangdiakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.
5. Keseluruhan proses menuju kepada ratifikasi suatu konvensi internasionalmencerminkan politik nasional di dalam meningkatkan hubungan internasional.Atas dasar pertimbangan tersebut proses dimaksud harus direncanakan secaraserius, konsisten dan berkesinambungan oleh instansi terkait di bawahkoordinasi Departeman Luar Negeri, dan berkonsultasi dengan DPR-RI

------------------------
Prinsip “state sovereignty” memiliki 3 (tiga) pengertian, yaitu: “Equality ofStates”;”Territorial Integrity”; dan “Non-intervention” (Article 4 UnitedNations Convention Against Transnational Organized Crime – “Protection ofSovereignty” – 2000; Article 4 United Nations Convention Against Corruption –2003).
Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional” Bagian Kesatu;BinaCipta, tahun ..............
Ketentuan Pasal 9 KUHP menegaskan bahwa ketentuan dalam Buku Kesatu Bab I Pasal2 – Pasal 8 dibatasi berlakunya oleh hukum internasional yang telah diakui(telah ratifikasi,sic!). Ketentuan hukum pidana tersebut merupakan pengakuanatas diterimanya teori monisme primat hukum internasional, dan mengenyampingkanteori monisme primat hukum nasional.
Dikutip dari Lung-Chu Chen, “An Introduction to Contemporary InternationalLaw”: A Policy Oriented Perspective; Yale University Press, 2nd ad; p. 25-26.
Contoh UU RI No. 11 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Covenant andEconomic, Social, and Cultural Rights (Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya); UU RI No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Sipil dan Politik; dan UU RI No. 7 tahun 2006 tentangPengesahan UN Convention Against Corruption.
Statuta ICC atau StatutaRoma 1998 efektif berlaku tanggal 17 Juli 2002 termasukkonvensi yang tidak dapat direservasi . Sedangkan UN Transnational OrganizedCrime (UNTOC) tahun 2000 dan UN Conv. Against Corruption tahun 2003 merupakankonvensi yang tidak dianjurkan untuk diresrvasi oleh negara pihak. Ketentuantentang boleh tidak diresrvasi dicantumkan pada bagian akhir dari suatuperjanjian. Begitu juga dalam hal ketentuan mengenai Penyelesaian Sengketa.
Article 27 UNCLT menegaskan, “A Party may not invoke the provisions of itsinternal as justification for its failure to perform a treaty, this rule iswithout prejudice to Article 46”. Article 46 menegaskan sebagai berikut: “Astate may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has beenexpressed in violation of a provision of its internal law regarding competenceto conclude treaties as invalidating its consent unless that violation wasmanidest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance.”
Mandatory Obligation diterjemahkan dalam kalimat “shall” atau “shall consideradopting”; sedangkan non-madatory obligation diterjemahkan dalam kalimat “may”atau “may consider”. Contoh: di dalam UNCAC 2003 atau Konvensi PBB Anti Korupsimenyebutkan: “Each State Party shall, in accordance with the fundamental principlesof its legal system, develop and implement or maintain effective, coordinatedanti-corruption policies that promote the participation of society and reflectthe principles of the rule of law... (Pasal 5). Pasal 31 para 8: “Each StateParties may consider the ossibility of requiring that an offender demonstratethe lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable toconfiscation...”

Share
Tweet
Pin
Share