JALUR HUKUM MULAI SENTUH KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN
Dr. iur.
Damos Dumoli Agusman*
Konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS) memasuki babak
baru. Jalur hukum mulai menjamah konflik ini dengan gugatan Filipina terhadap
Tiongkok ke Arbitral Tribunal berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982. Mekanisme
UNCLOS ini memungkinan negara pihak Konvensi menyeret negara pihak lainnya
dengan atau tanpa persetujuannya. Namun ruang lingkupnya terbatas dan hanya
sepanjang sengketa yang menyangkut aplikasi dan interpretasi UNCLOS karena
kedua negara ini pada waktu meratifikasi Konvensi ini melakukan reservasi
terhadap sengketa yang menyangkut kedaulatan dan delimitasi batas maritim.
Artinya, Filipina tidak bisa menggugat soal akar konflik yaitu soal siapa
pemilik pulau/karang di LTS.
Sekalipun hanya terbatas pada soal aplikasi dan tafsir
UNCLOS, Filipina tidak kehilangan akal untuk mengekplorasi mekanisme ini, dan
yang penting adalah mampu menyeret Tiongkok tanpa persetujuannya ke pihak
ketiga, suatu hal yang langka terjadi dalam penyelesaian sengketa antar negara.
Gugatan ini tidak diperkirakan sebelumnya oleh Tiongkok karena selama ini sudah
merasa aman dengan reservasi UNCLOS. Akibatnya, Tiongkok sangat berang dan
menuduh Filipina melanggar Declaration of
Conduct 2002 (DoC) karena jalur hukum ini menurut Tiongkok sudah diharamkan
oleh dokumen ini, jalur yang tersedia adalah dialog dan konsultasi langsung
antara para pihak yang bertikai.
Suka atau tidak suka, Tiongkok akhirnya harus menelan
‘pil pahit’ dengan gugatan ini dan berupaya sekuat tenaga untuk membatalkannya.
Sebagai negara besar yang masih mensakralkan ‘kedaulatan negara” sangat
terpukul dengan gugatan ini. Reaksi pertama adalah menolak mekanisme Tribunal
ini dan secara tegas mengatakan tidak akan hadir dalam perkara ini apalagi
mentaati putusannya. Reaksi kedua,
menggembar-gemborkan ke publik bahwa Filipina melanggar kesepakatan DoC dan
menyuarakan posisinya bahwa Tribunal tidak berwenang mengadili perkara ini.
Tapi guliran proses hukum ini terus berjalan dan pasal 9
Annex VII UNCLOS menyatakan bahwa ketidakhadiran salah satu pihak tidak
menghalangi proses persidangan. Bak “anjing menggonggong kafilah berlalu”
Tribunal tetap meneruskan perkara ini dan bahkan menggelar Hearing pada tgl. 7-13 Juli
2015 yang tidak dihadiri oleh Tiongkok. Akibatnya, Tiongkok terus menggeliat di
luar sidang.
Karena gugatan ini adalah gugatan hukum maka Tiongkok terpaksa harus
melayaninya dengan persilatan hukum pula. Suka atau tidak, Tiongkok harus
meninggalkan jargon-jargon dan retorik politik yang selama ini disuarakannya
dalam mempertahankan LTS. Selama ini Tiongkok hanya berulang-ulang menyuarakan
bahwa Tiongkok memiliki hak historis yang tidak terbantahkan atas LTS dan
titik. Kali ini Tiongkok harus keluar dari retorik ini dan harus membangun
logika hukum menjelaskan apa yang diklaimnya di LTS. Dan benar, sejak gugatan
ini digulirkan, Tiongkok baik resmi maupun melalui para pakar-pakar hukumnya
mulai membangun konstruksi hukum atas klaimnya di LTS. Dunia hukum selama ini
menyaksikan ‘kebisuan” Tiongkok soal-soal juridis LTS. Soal status nine-dashed
lines, misalnya, Tiongkok tidak pernah menjelaskan maknanya dan membiarkan
semua pihak menafsirkannya sendiri. Namun kali ini Tiongkok harus
‘membahasakannya’ kedalam bahasa hukum.
Proses persidangan masih pada tahap penentuan apakah Tribunal memiliki
jurisdiksi mengadili perkara ini. Posisi hukum kedua pihak telah disuarakan ke
publik melalui berbagai media dan bahkan dalam beberapa seminar akademis. Pada
tahap ini, Filipina sangat berhati-hati merumuskan gugatannya. Pertama, gugatan
yang diajukan adalah soal penerapan dan penafsiran UNCLOS terkait dengan entitlement (yaitu lebar zona maritim
yang diperkankan oleh UNCLOS dan bukan tentang aspek kedaulatan dan delimitasi
maritim. Hal ini untuk menepis serangan balik Tiongkok yang disuarakan diluar
sidang bahwa dengan gugatan ini Tribunal terpaksa harus menyentuh soal
kedaulatan dan delimitasi maritim, sesuatu yang diharamkan oleh UNCLOS.
Materi gugatan Tiongkok berpusar pada soal status nine-dashed lines. Menurut Filipina, ada “legal dispute” antara
kedua negara terkait perbedaan penerapan dan penafsiran UNCLOS sehingga menjustifikasi
kewenangan Tribunal. “Dispute” ini berkaitan dengan nine
dashed line yang diklaim oleh Tiongkok sehingga Filipina meminta Tribunal
untuk menafsirkan pasal-pasal terkait dalam UNCLOS yaitu apakah negara pantai
dapat menerapkan kedaulatan dan jurisdiksinya diluar batas-batas zona maritim
yang ditetapkan oleh UNCLOS, dengan menggunakan dalih nine-dashed lines dan “historical
rights” yang tidak dikenal oleh UNCLOS?
Tiongkok sekalipun tidak hadir dalam persidangan, telah mengeluarkan
jurus-jurus hukumnya diluar persidangan baik melalui Official Paper 2014 yang
diunduh dalam Website-nya, maupun melalui para pakar-pakar hukumnya. Tiongkok membangun argumen bahwa klaim RRT di
LTS mendasarkan pada “historical rights” yang diakui oleh hukum internasional
di luar UNCLOS. Artinya, Tiongkok yakin bahwa norma diluar UNCLOS memberikan
hak historis ini atas LTS. Konstruksi ini jelas ditolak oleh Filipina, yang
bersikukuh bahwa tidak ada “historial rights” diluar batas-batas kedaulatan dan
hak berdaulat negara berdasarkan UNCLOS.
Tiongkok selanjutnya berargumen bahwa nine
dashed line itu ditarik dari maritim fitur di dalamnya, dan untuk membahas
garis ini maka Tribunal harus menentukan siapa yang berdaulat atas fitur ini.
Urusan ini diluar kewenangan Tribunal. Filipina menolak dalil ini karena fitur-fitur
geografis yang terdapat di LTS (Scarborough
Soal, Mischief Reef, Second Thomas Shoal, Subi Reef, Gaven Reef, McKennan Reef,
Johnston Reef, Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef) adalah karang yang menurut
UNCLOS tidak berhak atas ZEE dan Landas Kontinen, dan bahkan sebagian fitur (low tide elevations) tidak berhak atas
zona maritim sama sekali. Sekalipun fitur ini berhak atas zona maritim, maka
garisnya tidak akan sejauh nine-dashed
lines itu.
Saling adu argumen juga menyentuh soal DoC. Menurut Tiongkok Filipina
melanggar DoC karena Pasal 4
mewajibkan para pihak terkait melakukan konsultasi dan negosiasi langsung.
Filipina menyanggahnya karena DoC hanya dokumen politik yang tidak memiliki
kekuatan mengikat dan tidak menghapus hak Filipina untuk memanfaatkan prosedur
dalam UNCLOS.
Pada tahap jurisdiksi ini Tribunal akan memutuskan apakah memiliki
kewenangan mengadili perkara ini. Jika Tribunal menerima perkara ini maka
persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan materi gugatan. Dengan demikian
perseteruan kedua pihak akan terus berlanjut ke tahap materi gugatan dan diperkirakan
keduanya akan terus mengeluarkan jurus-jurus hukumnya baik dari dalam maupun
dari luar sidang.
Reaksi para pakar hukum tentang perkara ini sangat beragam, mulai dari yang
optimis sampai ke sikap yang pesimis. Mereka pesimis karena Tiongkok bakal
tidak mematuhi putusan Tribunal ini sehingga persidangan ini akan menjadi
sia-sia. Ditengah kepesimisan ini justru banyak pakar yang optimisi denga
berbagai pertimbangan. Pertama, tidak selamanya negara besar mampu bertahan
terhadap tekanan internasional yang beralaskan pada putusan peradilan resmi
PBB. Pada perkara “Artic Sunrise” antara Belanda v. Russia, 2013, Russia
digugat oleh Belanda ke Tribunal tanpa persetujuan (dengan penolakan) Russia.
Dalam perkara ini, Belanda menuntut Russia melepaskan kapal Greenpeace “Artic Sunrise” berbendera
Belanda yang ditangkap di ZEE Russia. Tribunal mengabulkan gugatan Belanda
namun Russia menolak menghadiri bahkan bersikeras tidak mematuhi putusan
Tribunal. Namun pada akhirnya Russia melepaskan kapal ini setelah bertubi-tubi
mendapat kecaman internasional.
Kedua, sekalipun Tribunal tidak memutuskan soal akar konflik, yaitu soal
kepemilikan, namun putusannya akan menyelesaikan beberapa persoalan juridis
yang selama ini mewarnai konflik LTS. Pertama adalah soal keabsahan nine dashed line, kedua adalah soal keabsahan klaim historis,
dan yang ketiga adalah soal apakah fitur maritim di LTS berhak atas 200 mil
zona maritim. Persoalan juridis ini akan berdampak langsung pada kepentingan Indonesia.
Jika Tribunal memutuskan bahwa nine
dashed line tidak sesuai dengan pengaturan UNCLOS maka Indonesia tidak lagi memiliki persoalan
batas maritim dengan Tiongkok.
Ketiga, mengingat perkara ini menyangkut penerapan dan penafsiran
pasal-pasal terkait UNCLOS, maka keputusan Tribunal nantinya akan menjadi
referensi hukum (tafsir resmi) tidak hanya terhadap kedua pihak yang
bersengketa melainkan juga negara-negara pihak UNCLOS lainnya, sepanjang
menyangkut pasal-pasal yang ditafsirkan oleh Tribunal.
Namun yang jelas, konflik LTS yang selama ini melulu diteropong dari sisi
geopolitik telah mulai mendapat sentuhan hukum internasional. Guliran perkara
ini merupakan awal baik bagi dunia hukum internasional yang mulai meyakinkan
bahwa norma ini mulai memainkan perannya dalam sengketa internasional, se
sensitif apa pun konflik itu.
* Penulis adalah pengamat
dan pengajar hukum internasional.
1 comments
I think the point is:
ReplyDeleteIs it UNCLOS is the law made on the basis of public sea area? for regulating a way to decide each party's interests in a public sea?
With China's standing point is that this area has been China's territory since ancient dynasties; which means it is not public area.
So how come China would go to this court under UNCLOS being accused of breached?