Dirjen HPI Dr. iur. Damos Dumoli Agusman hadir sebagai Narasumber pada Webinar Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya dengan topik "Sengketa LCS dan Perkembangannya" pada Sabtu, 31 Juli 2021. Video selengkapnya dapat dilihat di sini.
MARGOPOST.COM | Jakarta: “Dua tahun telah berlalu sejak Mahkamah Arbitrase yang dibentuk berdasarkan Annex VII Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) memutus sengketa pada 12 Juli 2016 antara Filipina dan Tiongkok mengenai Laut Tiongkok Selatan, namun kesalahpahaman mengenai arbitrase tersebut masih saja ditemui di berbagai kalangan,” demikian diungkapkan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, dalam diskusi publik bertajuk “Reviewing Two Years of PCA Tribunal Judgment on the South China Sea” yang diselenggarakan oleh The Habibie Center pada 31 Juli 2018 di Jakarta.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, dalam diskusi publik bertajuk “Reviewing Two Years of PCA Tribunal Judgment on the South China Sea” diselenggarakan The Habibie Center, Jakarta, (31/8/2018)
Salah satu contoh kesalahpahaman yang sering ditemui, antara lain, adalah menganggap Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai lembaga yang menjatuhkan putusan arbitrase. Pemahaman yang tepat mengenai putusan sengketa Laut Tiongkok Selatan tersebut adalah bahwa putusan dijatuhkan oleh sebuah mahkamah arbitrase yang dibentuk berdasarkan Annex VII UNCLOS. PCA dalam hal ini hanya bertindak sebagai registry.
Selain itu, Dirjen Damos menyampaikan bahwa adanya jurang antara ekspektasi publik dengan konteks riil dari putusan turut menjadi penyebab adanya kesalahpahaman ini.
Sebagian masyarakat internasional mengharapkan mahkamah arbitrase untuk mampu menyelesaikan inti dari konflik di Laut Tiongkok Selatan, yakni sengketa mengenai kedaulatan wilayah. Akan tetapi, mahkamah tersebut memang tidak ditujukan untuk memutus mengenai perkara kedaulatan maupun tentang delimitasi maritim.
Mahkamah arbitrase dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan semata-mata menimbang, antara lain:
Keabsahan klaim Sembilan Garis Putus-Putus yang diklaim oleh Tiongkok;
Apakah High Tide Feature yang berada di wilayah sengketa berhak atas 200 mil laut;
Apakah suatu fitur merupakan low tide elevation yang tidak berhak atas perairan sama sekali.
Menatap ke depan, permasalahan Laut Tiongkok Selatan diharapkan dapat diselesaikan dengan tiga cara. Menurut Dirjen Damos, tiga metode tersebut adalah conflict prevention, maritime delimitation, dan solving the issue of territorial sovereignty.
Selain Dirjen Damos, diskusi tersebut juga diisi oleh Rene Pattiradjawane, Senior Fellow The Habibie Center, yang menyoroti isu Laut Tiongkok Selatan dari segi geo-politik. Dr Hasjim Djalal, Duta Besar senior dan pakar Hukum Laut, turut memberikan pandangan penutup dalam diskusi ini. Diskusi dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk beberapa perwakilan asing yang berada di Jakarta. (Sumber: Ditjen HPI).Ratu.-
Arbitrase Tribunal UNCLOS (United Nation Convention on the Law of Sea) mengeluarkan putusan atas gugatan Filipina melawan Republik Rakyat Tiongkok soal Laut China Selatan.
Setelah melalui proses lebih dari tiga tahun yang diwarnai ‘perang pernyataan’ dan bahkan ‘perang media’ oleh para pihak bersengketa, termasuk oleh pihak lain yang merasa terkait, Tribunal akhirnya mengeluarkan vonis dengan suara bulat.
Tak selesaikan akar konflik
Putusan Tribunal, di luar dugaan publik meski dipahami secara baik oleh para pakar hukum internasional, tidak memenangkan atau mengalahkan pihak yang bertikai.
Sesuai permintaan sang penggugat (Filipina), putusan Tribunal menafsirkan atau lebih tepatnya mengklarifikasi persoalan yang selama ini dianggap rancu (jika tidak bisa disebut ‘sengaja dibuat rancu’) dalam pusaran konflik Laut China Selatan.
Putusan itu tidak menetapkan ‘siapa pemilik pulau apa’ di Laut China Selatan, dan tidak juga menetapkan batas-batas maritim negara claimants (yang terlibat sengketa). Artinya, akar konflik Laut China Selatan itu sendiri, yakni soal perebutan pulau/karang, tidak disentuh oleh Tribunal karena memang dilarang oleh UNCLOS.
Putusan tersebut menepis kekeliruan beberapa pihak yang sebelumnya berprasangka (atau untuk kepentingan tertentu sengaja melahirkan sangkaan ini) bahwa Tribunal akan berurusan dengan soal kedaulatan negara, suatu hal yang pasti tabu untuk disentuh oleh peradilan internasional, kecuali negara yang bertikai sepakat untuk itu, seperti kasus Sipadan dan Ligitan.
Lantas, apa manfaat putusan jika tidak menyelesaikan konflik Laut China Selatan itu sendiri?
Seperti yang diharapkan, putusan ini mengklarifikasi, bukan mengakhiri konflik. Namun klarifikasi ini ternyata menuntaskan beberapa bagian konflik.
Sementara akar konflik itu sendiri, sesuai dengan desakan Tiongkok yang juga diamini ASEAN, hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati oleh para pihak yang mengklaim, termasuk mekanisme melalui pihak ketiga seperti Mahkamah Internasional.
Interpretasi Tribunal terhadap UNCLOS ini sebenarnya memudahkan para pihak yang bersengketa merundingkan klaim mereka masing-masing.
Sebagaimana lazimnya, putusan Tribunal ini hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Namun, karena sifatnya menafsirkan, putusan akan berevolusi menjadi sumber hukum yang berlaku umum (erga omnes) alias mengikat semua negara. Artinya, Filipina bukan penikmat tunggal atas putusan ini.
Tuntaskan sejumlah konflik
Interpretasi Tribunal menjawab beberapa teka-teki yang mewarnai konflik ini, yang pada akhirnya menuntaskan sebagian konflik.
Pertama, soal nine-dash lines (9DL) yang tertera pada peta Republik Rakyat Tiongkok. Menurut Tribunal, negara tidak boleh mengklaim zona maritim di luar dari apa yang sudah ditetapkan oleh UNCLOS.
Dengan tafsir tersebut, maka 9DL dinyatakan batal. Dengan amar putusan ini, selesailah perdebatan tentang apakah negara masih bisa mengklaim zona maritim baru atau mengungkit zona maritim historis selain yang diatur oleh UNCLOS. Jawabannya tidak bisa.
Kedua, soal status pulau/karang yang dikuasai Tiongkok di Laut China Selatan, apakah berhak atas 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif/landas kontinen, atau hanya 12 mil laut wilayah, atau tidak berhak sama sekali. Tribunal memutuskan bahwa ternyata tidak ada satupun fitur yang diperebutkan berstatus ‘pulau’ yang berhak atas 200 mil. Sebagian adalah rocks atau karang yang hanya berhak 12 mil, dan selebihnya adalah non-high tide features yang merupakan bagian dari laut itu sendiri.
Putusan ini telah memformat ulang peta Laut China Selatan yang menyelesaikan beberapa bagian sengketa. Sengketa pertama, beberapa fitur yang jadi rebutan ternyata secara hukum bukan objek kedaulatan karena fitur ini dinyatakan sebagai bagian dari laut itu sendiri. Misalnya Mischief Reef, Second Thomas Shoals adalah hanya beting/elevasi surut sehingga secara otomatis menjadi bagian dari ZEE/landas kontinen Filipina. Fitur yang boleh jadi objek rebutan antara lain Scarborough Shoals, Itu Aba, Cuarteron Reef.
Sengketa kedua, negara-negara claimants hanya bisa menarik ZEE/landas kontinen dari pantai daratan saja dan tidak boleh dari fitur-fitur di tengah laut, sebab semua fitur ini tidak berhak atas kedua zona itu. Artinya, sebagian segmen di antara fitur-fitur ini hanya berhak 12 mil sehingga garis-garis batas maritim setiap negara claimants menjadi semakin jelas. Misalnya, Scarborough Shoal telah dinyatakan sebagai rock dan hanya berhak 12 mil. Dengan demikian kalaupun rock ini nantinya milik Tiongkok, maka ZEE Filipina akan berbatasan dengan batas terluar 12 mil dari rock ini.
Dampak terhadap Indonesia
Putusan Tribunal sangat penting bagi Indonesia, terlebih saat Tiongkok telah ‘menguak kartunya’ tentang klaimnya di ZEE Indonesia dalam nine-dash lines-nya. Dari 15 butir materi gugatan Filipina yang ditafsirkan oleh Tribunal, setidak-tidaknya terdapat dua butir yang bersentuhan langsung dengan Indonesia. Butir pertama soal 9DL yang dinyatakan batal. Dengan demikian, keberadaan garis ini di perairan Natuna adalah tidak sah.
Peta nine-dash lines, garis imajiner yang digunakan Tiongkok untuk mengklaim wilayahnya di Laut China Selatan. Nine-dash lines inilah yang digugat Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. (CNN Indonesia/Fajrian) Butir kedua adalah soal status fitur yang ternyata, tidak ada pihak yang berhak melebarkan zona maritim sampai 200 mil. Salah satunya adalah Cuarteron Reef, yang jaraknya kurang dari 400 Nm dari gugusan Natuna. Menurut Tribunal, karang ini hanya berhak atas 12 Nm laut teritorial dan tidak berhak atas ZEE/landas kontinen. Dengan demikian, siapapun pemilik karang ini, tidak akan bertetangga dengan Indonesia karena zona maritimnya sangat jauh dari batas terluar ZEE Indonesia.
Amar putusan ini bukan hal yang mengejutkan. Namun bagi Indonesia, putusan ini mengonfirmasi posisinya selama ini seperti yang dicetuskan oleh Menteri Luar Negari RI pada Pernyataan Pers Tahunan 2016, bahwa Indonesia bertetangga, atau berbatasan laut, hanya dengan Malaysia dan Vietnam.
Soal bahwa fitur-fitur ini tidak berhak atas 200 mil zona maritim juga sudah pernah diungkapkan oleh Indonesia dalam nota protesnya terhadap 9DL Tiongkok.
Dengan klarifikasi ini, maka tidak ada keraguan lagi tentang siapa tetangga Indonesia yang sebenarnya berdasarkan UNCLOS.
Tafsir Tribunal terkait kriteria karang/pulau yang berhak atas ZEE/landas kontinen juga akan membantu banyak negara, termasuk Indonesia, dalam merundingkan batas-batas maritimnya.
Selama ini banyak negara tetangga yang memperlakukan semua karangnya berhak atas ZEE/landas kontinen, sehingga mempersulit perundingan dan bahkan membuatnya menjadi berlarut-larut.
Klarifikasi soal status karang itu menepis rekaan penulis Tiongkok, Xue Manyi, yang dalam ulasannya di Majalah berbahasa Tiongkok, Phoenix, pada tanggal 22 Maret 2016, yang mencoba membangun dalil bahwa Tiongkok berhak atas perairan Natuna jika ditarik dari Vanquard Bank/Beting Wan An (yang diklaim oleh Tiongkok namun dikuasai oleh Vietnam), karena jaraknya hanya sekitar 72 Nm dari Natuna.
Dalil itu menjadi absurd oleh putusan Tribunal, karena jangankan suatu beting (karang yang tertelan laut pada saat pasang), karang yang muncul di atas laut saja seperti Cuarteron hanya berhak 12 Nm.
Penafsiran Tribunal telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal UNCLOS yang ditafsirkannya. Oleh sebab itu tafsir ini berlaku untuk semua negara, sehingga juga mengikat antara Tiongkok dengan Indonesia.
Insiden pengusiran 10-12 kapal pencuri ikan asing yang sedang mencari ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau, pada Jumat (17/6) telah menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan Tiongkok.
Beijing secara resmi mengajukan surat protes kepada pemerintah Indonesia atas insiden tersebut, dimana satu kapal pencari ikan dengan nomor 19038 berhasil ditahan oleh pemerintah Indonesia.
Langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia sudah sesuai hukum. Ketegangan di wilayah perairan bukan hanya terjadi antara Tiongkok dengan Indonesia, tetapi dengan beberapa negara lainnya.
Hanya saja, Indonesia bersikap lebih tegas. Untuk mengupas masalah ini, Koran Jakarta mewawancarai Sektretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI Damos Dumoli Agusman, Selasa (21/6), beikut petikannya.
Protes resmi sudah dilakukan oleh pemerintah Tiongkok, seperti protes yang mereka sampaikan?
Kalau kami melihat pernyataan dari pemerintah Tiongkok, mereka memprotes tindakan Indonesia yang menggunakan kekuatan angkatan bersenjata saat menghadapi kapal-kapal nelayan yang sedang mencari ikan di pulau Natuna.
Dalam protesnya, pemerintah Tiongkok juga menyatakan para nelayan tersebut mencari ikan di wilayah traditional fishing ground, yang mereka klaim.
Lalu, bagaimana sikap Kementerian Luar Negeri RI atas protes tersebut?
Yang dilakukan Indonesia adalah bagian dari penegangan hukum laut. Dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) setiap negara punya hak untuk menegakkan kedaulatannya di wilayah ZEE-nya.
Tiongkok mengklaim wilayah perairan Natuna merupakan wilayah traditional fishing ground mereka. Bagaimana menurut Anda?
Kami menolak gagasan bahwa ini adalah traditional fishing ground, yang disebut pula nine-dash-line mereka. UNCLOS menutup ruang terhadap zona-zona lain, yang tidak diatur dalam UNCLOS dan ini yang kami lakukan. Namun sekarang ini muncul kesalahfahaman.
Bagaimana sebetulnya komunikasi Indonesia dan Tiongkok?
Komunikasi kedua belah pihak terjalin baik. Konsep ini (ninedash- line) dihadapkan bukan hanya kepada Indonesia, tetapi juga pada negaranegara lain di ASEAN.
Konsep ini, sekarang sedang diuji di tribunal UNCLOS, dimana pemerintah Filipina menggungat Beijing, yang tujuannya bukan untuk Filipina sendiri melainkan untuk negara lain pula, yang bersengketa wilayah perairan dengan Tiongkok.
Insiden yang terjadi di perairan Natuna bukan hanya terjadi dengan Indonesia saja, tetapi juga dengan Malaysia, Filipina dan negara lainnya.
Dengan begitu, nine-dash-line ini problematik sekali dan telah menjadi masalah antara Tiongkok dengan banyak pihak.
Apakah ada rencana duduk bersama dengan Beijing untuk menyelesaikan masalah ini?
Yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan hukum. Saat ini, pemerintah Tiongkok masih ngotot dan kami pun sangat menantikan keputusan pengadilan tribunal, yang bakal keluar dalam waktu dekat.
Pengadilan ini akan menjadi hal yang ditakutkan pemerintah Tiongkok karena kemungkinan akan memutuskan hal yang tidak mereka inginkan.
Supaya hal ini tidak terulang lagi, apa ada langkah antisipasi?
Kami akan tetap lakukan penegakan hukum. Jika upaya penegakan hukum dihalangi oleh Beijing, maka kami akan protes.
Sebaliknya kalau tidak dihalang-halangi, kami tidak akan protes. Pada Maret 2016 lalu, kami melakukan protes ketika upaya penangkapan kapal nelayan pencari ikan asing dihalanghalangi.
Namun pernah pula dua kali mereka (pemerintah Tiongkok) tidak menghalangi upaya kita dalam penegakan hukum.
Kami ingin tegaskan, yang kami tangkap ini adalah kapal nelayan pencari ikan asing yang masuk wilayah perairan Indonesia.
Kami tidak memandang bendera negaranya dan tindakan tegas yang diambil pemerintah Indonesia karena mereka telah melakukan pelanggaran. suci sekarwati/AR-3
China Berhalusinasi Tentang Nine-Dashed Line yang membentang di Laut Natuna!
Jakarta – Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan pemerintah Republik Rakyat China tak pernah menjelaskan apapun soal nine-dashed line, yakni garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“Nine-dashed line Tiongkok tiba-tiba masuk merusuk ke wilayah ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia. Di sini mulai muncul persoalan antara Indonesia dengan China,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman, kepada CNNIndonesia.com, Rabu malam (22/6).
Damos berkata, Indonesia pertama kali tahu soal nine-dashed line 23 tahun lalu, yakni 1993, pada Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea. Kala itu delegasi China mendistribusikan satu peta yang di dalamnya tercantum nine-dashed line menjorok hingga perairan Natuna.
“Indonesia waktu itu bereaksi, apa maksud peta ini? Tiongkok membisu. Dia bilang, terserahlah Anda menafsirkannya,” ujar Damos.
“Tiba-tiba garis itu seperti muncul begitu saja dari langit. Cara menarik garisnya pun kami tidak tahu,” kata Damos yang ditugasi Kemlu RI menangani persoalan teknis terkait Laut China Selatan.
Menurut Damos, dampak dari nine-dashed line bukan soal kepemilikan pulau, melainkan batas maritim.
Nine-dashed line China mulai menjadi persoalan serius bagi Indonesia tahun ini, tepatnya 19 Maret 2016, kala terjadi insiden antara Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Kapal Kway Fey yang berbendera China. Konflik terbuka pertama antara Indonesia-China meletup di perairan Natuna.
Saat Kapal Pengawas Hiu 11 hendak menangkap Kapal Kway Fey yang diduga mencuri ikan, muncul kapal pengawas China yang mengintervensi dengan menabrak Kway Fey.
Pemerintah Indonesia langsung melayangkan nota protes ke China, menuduh Negeri Tirai Bambu melanggar kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia, serta melanggar upaya penegakan hukum oleh aparat Indonesia di ZEE Indonesia.
Pada ZEE yang berjarak 200 mil laut dari garis pangkal suatu negara, negara itu berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam. ZEE Indonesia itulah yang dimasuki Kway Fey.
Insiden pertama Indonesia-China di Natuna itu disambut China dengan penjelasan bahwa dalam zona nine-dashed line, nelayan-nelayannya menangkap ikan di situ.
Indonesia bergeming dan melakukan razia terhadap kapal-kapal asing yang menangkap ikan di Natuna. “Begitu dirazia, dia (China) protes, dan mulailah muncul istilah ‘This is our traditional fishing ground.’ Indonesia jelas protes,” kata Damos.
“Apa itu traditional fishing ground? Tidak ada dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Indonesia menolak itu. We don’t recognize traditional fishing ground,” tegas Damos.
Ketika insiden kedua terjadi antara Indonesia dan China, 27 Mei 2016, menurut Damos China mulai berani mengeluarkan kartunya.
“Mereka bilang, ‘Yes, we have different opinion and yes, we have overlapping maritime rights and interest.’ Itu istilah dia,” ujar Damos menirukan ucapan perwakilan China.
Namun, imbuh Damos, saat ditanya apa yang dimaksud China sesungguhnya, China tak bisa menjelaskan dengan gamblang. China berkata, berhak menangkap ikan di perairan Natuna atas dasar historis, dan alasan itu ditolak oleh Indonesia.
Damos menegaskan, tak ada wilayah tumpang-tindih (overlapping) antara Indonesia dan China. “Overlapping itu harus berdasarkan basis yang valid. Tidak mungkin mengklaim sesuatu tanpa basis.”
Ia mengibaratkan ulah China seperti orang bertamu yang kemudian mengklaim rumah tamunya. “Tiba-tiba rumahmu didatangi orang, lalu orang itu bicara, ‘Ini rumahku, dari nenek moyangku.’ Bingung kan. Baru bisa dibilang overlapping jika dia bilang, ‘Ini rumahku, ini sertifikatnya.’ Tapi ini kan tidak,” kata Damos.
China disebut Damos tak pernah menafsirkan nine-dashed line secara klir hingga saat ini. Akibatnya muncul berbagai intrepetasi dari sejumlah negara.
Pemerintah China, dalam nota protesnya kepada Indonesia atas insiden ketiga di Natuna saat kapal ikan Han Tan Cou terkena tembakan kapal perang RI, kembali menyatakan kapal mereka berada pada perairan dengan klaim “tumpang-tindih”. Alasan ini pun kembali tak diterima Indonesia.
“Indonesia mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional. Hukum laut membenarkan Indonesia membuat zona ekonomi eksklusif. Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Tidak pernah ada kesepakatan soal traditional fishing ground dengan China,” kata pakar hukum laut internasional RI, Hasyim Djalal.
Hasyim, mantan diplomat yang pernah mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, kini ditunjuk pemerintah RI menjadi ketua tim untuk menangani persoalan Laut China Selatan, termasuk Natuna.
Dalam waktu dekat Arbitrase Tribunal United Nation Convention on Law of the Sea(UNCLOS) akan mengeluarkan keputusan tentang gugatan Filipina melawan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) soal Laut Tiongkok Selatan (LTS). Dalam perkara ini Filipina meminta Arbitrase memberikan tafsir terhadap 15 butir materi gugatan yang jika diperas akan terdiri dari tiga pokok gugatan. Pertama, apakah 9 dash lines yang tertera pada peta RRT bertentangan dengan UNCLOS. Kedua, apakah pulau/karang yang dikuasai RRT di LTS berhak atas 200 mil ZEE/landas kontinen. Ketiga, apakah aktivitas RRT yang mereklamasi pulau/karang di LTS melanggar ketentuan UNCLOS yang terkait dengan perlindungan lingkungan laut.
Tidak seperti dugaan publik, putusan Arbitrase ini tidak akan memenangkan atau mengalahkan penggugat atau tergugat. Sebab karakter putusannya hanya bersifat menafsirkan pasal-pasal UNCLOS terhadap fakta hukum yang dipersoalkan. Selain itu, mandat Arbitrase ini juga sangat terbatas, dan tidak akan menetapkan siapa bakal memiliki pulau apa. Apa pun putusannya, soal rebutan pulau/karang LTS tidak akan terusik. Arbitrase juga tidak diminta untuk menetapkan batas-batas maritim negara yang bersengketa, bahkan kalau pun diminta, Arbitrase tidak mungkin melakukannya karena UNCLOS melarangnya.
Namun demikian, sekalipun bersifat tafsir, rencana putusan Arbitrase ini telah membuat RRT gusar. Sejak awal, posisinya sudah bulat menolak sidang ini dan bahkan menganggapnya sebagai peradilan ‘sesat’. Bagi RRT, gugatan ini adalah manuver yang tak pernah dibayangkan sehingga sangat tidak rela dengan proses ini. Makanya sejak awal gugatan bergulir, RRT langsung bereaksi keras dan menolak untuk hadir. Menolak hadir bukan berarti berdiam diri. Menyadari bahwa guliran ini akan menjadi ‘mimpi buruk’ maka RRT berteriak keras, bukan di ruang sidang melainkan di luarnya.
Menjelang putusan Arbitrase, kegundahan RRT semakin menjadi-jadi. Akibatnya, menjelang vonis ini RRT melakukan upaya diplomasi total, bukan untuk meyakinkan para hakim melainkan untuk mempengaruhi publik, bahwa Arbitrase ini sesat. Kampanye ini dilakukan secara sistematis di berbagai ajang. Pada wilayah diplomasi, RRT telah menggalang dukungan beberapa negara yang menegaskan bahwa sengketa LTS harus dilakukan melalui negosiasi langsung oleh pihak yang bersengketa, dan suatu negara tidak boleh dipaksa untuk menempuh mekanisme ‘di luar persetujuannya’. Sayangnya, RRT tidak terbuka pada fakta hukum bahwa mekanisme Arbitrase UNCLOS ini sudah disetujui oleh semua negara pihak UNCLOS, termasuk RRT, pada saat meratifikasinya. Walaupun demikian, dukungan politik semacam ini mungkin bisa agak meredakan kegusaran RRT walau signifikansi hukumnya nihil.
Kampanye ini mungkin efektif untuk mempengaruhi opini publik awam. Namun bagi pakar hukum, kampanye ini terkesan bernuansa politik. Substansi yang disajikan tidak menggambarkan perdebatan hukum yang sebenarnya. Apa yang di-‘curhat’-kan oleh RRT justru bukan pokok perkara yang dibahas oleh Arbitrase itu sendiri.
Pertama, RRT berulang kali mengeluhkan bahwa gugatan Filipina adalah soal kedaulatan teritori dan batas maritim, dan dengan demikian, kata RRT, Arbitrase tidak berwenang. Padahal, keluhan ini sudah dibahas dengan sederet argumen hukum yang lengkap oleh para hakim dan bahkan sudah diputuskan dalam putusan tentang yurisdiksi pada tgl 29 Oktober 2015. Dalam putusan halaman 159 disebutkan bahwa semua keberatan RRT secara hati-hati diulas dan bahkan satu per satu dari 15 gugatan Filipina dibedah guna memastikan bahwa semua gugatan ini bukan soal kedaulatan dan batas maritim seperti yang dituding RRT. Arbitrase kemudian memutuskan bahwa ini bukan soal sengketa pulau atau batas maritim, tapi ini soal penafsiran atas pasal-pasal UNCLOS.
Misalnya, Filipina meminta Arbitrase mendeklarasikan bahwa Mischief Reef bukan berstatus karang yang berhak 12 mil laut teritorial melainkan elevasi surut yang tidak berhak sama sekali atas zona maritim. Menurut Arbitrase, siapa pun bakal pemilikMischief Reef, Arbitrase tidak menemukan halangan untuk mendeklarasikan apakah sebagai karang atau bukan. Demikian sebaliknya, penentuan apakah ini karang atau bukan, tidak ada sangkut pautnya terhadap soal siapa bakal pemiliknya. Artinya, gugatan ini bukan soal kedaulatan dan bukan pula dimaksudkan untuk menetapkan batas maritim, melainkan soal penafsiran atau penerapan pasal UNCLOS yang terkait.
Bahkan, sedemikian hati-hatinya para hakim sehingga dari 15 gugatan itu hanya delapan gugatan yang dinyatakan hakul-yakin berada dalam kewenangannya, sedangkan sisanya yang tujuh akan diputuskan bersamaan dengan pokok perkara. Misalnya, soal gugatan apakah 9 dash line adalah ‘halal’ atau ‘haram’, Arbitrase tidak serta merta yakin bahwa pihaknya berwenang. Arbitrase harus menyentuh materinya untuk memperoleh keyakinan apakah garis putus ini berkaitan dengan soal ‘teluk historis’ yang oleh UNCLOS dinyatakan sebagai perkara yang berada di luar kewenangannya.
Kedua, RRT secara panjang lebar bercerita bahwa pulau/karang di LTS adalah milik mereka. Argumen ini tidak bermanfaat sebab gugatan Filipina bukan sedang mempersoalkan soal kepemilikan ini. Soal inti yang sedang digugat justru tidak dijelaskan oleh RRT. Misalnya, apa status zona maritim yang diklaimnya di LTS kalaupun dia memiliki semua pulau/karang itu. RRT selama ini memperkenalkan istilah ‘hak historis’ atau, dalam kaitannya dengan Indonesia, mengeluarkan istilah ‘traditional fishing ground’. Apa, dimana dan sejauh apa ruang lingkupnya, justru (sengaja) tidak dijelaskan oleh RRT.
Pakar hukum RRT, Fu Ying dan Wu Sichun, justru cenderung ‘menakut-nakuti’ tentang misteri garis ini. Menurutnya, jika 9 dash line ini diklarifikasi saat ini maka akan meningkatkan eskalasi konflik, sehingga menjadikan garis ini tetap misteri adalah pilihan yang terbaik saat ini. Argumen ini tentu tidak akademis. Pakar hukum lain tentu tidak akan terkesima dengan dalih ini malah sebaliknya semakin menguatkan asumsi bahwa ada keraguan di kalangan mereka sendiri tentang makna garis ini.
Ketiga, RRT selalu menuduh bahwa Filipina melanggar Pasal 4 Declaration of Code of Conduct (DoC) 2002, yakni tentang kewajiban agar para pihak menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi langsung. Artinya tidak boleh melalui Arbitrase. Tuduhan ini sudah dikupas habis oleh Arbitrase. DoC menurut Arbitrase tidak bersifat mengikat dan mustahil menghalangi para pihak UNCLOS untuk menggunakan mekanisme UNCLOS. RRT sendiri dalam berbagai kesempatan selalu mendengungkan bahwa DoC ini bukan dokumen hukum. Selain itu, sekali lagi bahwa Arbitrase tidak bermaksud menyelesaikan sengketa, namun mengklarifikasi pasal-pasal UNCLOS. Penyelesaian sengketa-nya sendiri tetap harus melalui negosiasi langsung. Dengan demikian, tudingan RRT ini menjadi tidak relevan.
Keempat, pada detik-detik terakhir, RRT justru mengeluarkan jurus yang tidak lazim dalam konteks rule of law. RRT bertekad tidak akan menaati bahkan akan melawan putusan Arbitrase. Alasannya, Arbitrase telah sesat dan dipolitisasi serta melampaui kewenangannya. Perlawanan terhadap Arbitrase, kata RRT, justru harus dilihat sebagai sikap RRT untuk menyelamatkan UNCLOS. Argumen ini tentu ekstra-yudisial dan susah disikapi secara logika hukum. Di semua sistem hukum, pengadilan-lah yang mengadili pihak yang bersengketa, bukan sebaliknya. Tentunya sikap pembangkangan terhadap peradilan ini justru akan semakin mempurukkan citra RRT ketimbang mendongkraknya. Lazimnya, negara membangkang terhadap hukum internasional namun menyangkalnya di publik. Jurus RRT ini mengakui blak-blakan bahwa pihaknya menentang hukum internasional, sesuatu hal yang belum ada preseden-nya dalam praktik negara.
Terlepas dari sikap RRT yang agak ‘galau’ menjelang keluarnya putusan Arbitrase, banyaknya penjelasan para pakar dan pejabat RRT ini patut disambut baik. Turun gunung-nya para pejabat Tiongkok, baik dalam kapasitas resmi maupun akademis, telah memperkaya spektrum wacana publik yang selama ini kering dari sisi perspektif RRT. Walaupun tetap menyembunyikan misteri 9 dash line, setidak-tidaknya ada argumen hukum yang terlontar, yakni, bahwa hak historis di dalam garis ini tidak diatur oleh UNCLOS melainkan diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Serpihan argumen ini lebih nyambung untuk suatu diskursus hukum, walau perlu usaha ekstra untuk mengebolariskannya.
Keputusan Arbitrase ini nantinya tidak bakal menyelesaikan sengketa, namun bukan berarti tidak bermanfaat. Putusannya bahkan akan mengubah konstelasi sengketa itu sendiri karena akan memecahkan setidak-tidaknya dua teka-teki yang selama ini tak terjawab. Pertama soal klaim historis 9 dash line, kedua soal kontroversi status pulau/karang. Jika kedua teka-teki ini sudah terjawab, maka semakin memperjelas basis-basis perundingan bagi negara yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik LTS itu sendiri. Sayangnya, kejelasan basis ini justru dimaknai oleh RRT sebagai potensi ‘kerugian’. Rugi, karena klaim sejarah-nya ini mungkin benar-benar menjadi sejarah. Keputusan Arbitrase ini bagi Indonesia tidak mengubah apa pun, namun hanya mengkonfirmasi tidak ada tumpang tindih maritim dengan RRT seperti yang berkali-kali ditekankan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
* Penulis adalah pengamat dan pengajar hukum internasional. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
Regardless of the underlying legal disputes in the South China Sea (SCS), recent developments have apparently demonstrated the spiral model termed “security dilemma”, a condition where “in the absence of a supranational authority that can enforce binding agreements, many of the steps pursued by states to bolster their security have the effect — often unintended and unforeseen — of making other states less secure” (Robert Jervis, 2001).
This Cold War-like situation is currently happening in the South China Sea. We can see that China’s deployment of missiles in Woody, one of the disputed maritime features that has been reclaimed by China, as a triggering factor that intensifies this security dilemma.
Clearly, this factor is an escalation from existing conditions that already involves some degree of military activity by claimants concerning maritime features of the South China Sea.
This increasing activity in occupying the maritime features has occurred since 2013 when China started to conduct reclamation projects and build airstrips capable of accommodating various types of wide airplanes.
The deployment of missiles then indeed puts the icing on top of this recipe for regional tension.
From another perspective, China sees the US Freedom of Navigation and Operation (Fonop) in the South China Sea as a triggering factor that has prompted it to raise its defense system. As a “defensive measure”, China moved surface-to-air missiles and sent fighter jets to the Paracel Islands. Consequently, this has been interpreted as an offensive measure by various countries, such as Australia, which will increase Fonop in the concerning waters.
If we go back further back in time to trace which factor was actually the trigger, both by claimants and other states, it reveals an endless cycle that only proves that such a security dilemma is at work. Defensive and offensive measures are hardly distinguishable.
Can a security dilemma be avoided then? Frankly, it cannot. The international community is an anarchic system. This security dilemma is rooted on the basic assumption that every state can only obtain security if its power is relatively higher than other states. As a logical consequence, an arms race is inevitable.
The situation can be aggravated if there is a particularly conflicting interest that places states in an opposite position. To the point, even a normal rise in military spending due to inflation can be interpreted as a threat and motivate others to increase their military budgets higher than previously expected.
The anarchic system has been well acknowledged by states, in particular in the Southeast Asian region. In fact, Southeast Asian nations have created a mechanism to mitigate security dilemmas, which is through ASEAN.
For years ASEAN has endeavored to maintain peace and stability in the region, foster good relations and confidence building. The establishment of the ASEAN Political-Security Community (APSC) has marked another milestone for the process to manage, among other things, security dilemmas.
Efforts to make Southeast Asia a stable region began a long time ago. We can recall the 1971 Zone of Peace, Freedom and Neutrality Declaration and the 1976 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), and even the 2002 Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) as examples of the attempts to prevent security dilemmas. The US is a party to the TAC while China is party to both the TAC and DOC.
Utmost respect for peace, peaceful settlement of dispute and self-restraint are the basic elements of the aforementioned documents that so far have kept Southeast Asia free of open conflicts.
To emphasize the context more, it is the self- restraint that ultimately addresses the security dilemma, a principle that is well expressed in Paragraph 5 of the DOC.
In a disputed area such as the South China Sea, ideally the status quo is maintained when all parties exercise self-restraint. Again, ideally, the security dilemma will be under control.
Any kind of construction and military deployment on the disputed features or in the area will be easily perceived as failure to exercise self-restraint, which can stimulate other parties to react in a manner of protecting their interests.
States have to acknowledge the importance of not falling into the vicious circle of a security dilemma, while waiting for the core of the dispute to be resolved.
Various efforts may be taken to overcome this security dilemma and manage the tension. The conclusion of the Code of Conduct of Parties in the South China Sea is one good example. But in the end, overcoming this issue and maintaining stability in the region is up to the goodwill and self-restraint of states. ___________________________________
Damos Dumoli Agusman and Haryo Budi Nugroho are lecturers of international law. The views expressed are their own.