by eka_aa
Hukum Perjanjian Internasional
Judul Buku : Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori dan Praktik Indonesia
Penulis : Damos Dumoli Agusman
Penerbit : Refika Aditama
Tahun : 2010
Di sela keringnya wacana dan penerbitan buku soal hukum internasional di Indonesia, buku karangan Damos Dumoli Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku tersebut patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan.
Relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur dengan jelas meskipun telah ada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya politik hukum yang dianut oleh Indonesia. Ada dua teori besar yang dikenal untuk mengatur hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme.
Teori monisme menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi melainkan inkorporasi sehingga tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum internasional dalam hukum nasional. Karena merupakan kesatuan sistem hukum maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih mengutamakan hukum internasional dibandingkan hukum nasional (primat hukum internasional) atau sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97)
Teori dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua sistem tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan-perundang-undangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97)
Berdasarkan kedua teori tersebut, apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme? Dualisme? atau campuran? Titik penting yang diangkat dalam buku ini adalah terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia.
Politik hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula dapat dilacak dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka diperlukan persetujuan DPR untuk membuat perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional lainnya. Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai perjanjian antara Indonesia dengan organisasi internasional. Meskipun telah mensyaratkan perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu :
1) Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan dalam suatu produk UU, namun UU dalam kaitan ini dimaknai sebagai UU yang bersifat mengesahkan persetujuan DPR.
2) Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak konsisten, UU yang mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU dalam arti formil dan bersifat penetapan
3) Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, UU yang mengesahkan bergeser menjadi UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti materil dan bersifat mengatur. (hlm.137)
Pergeseran makna “persetujuan DPR” dalam praktek tersebut terjadi karena memang belum jelas politik hukum yang diambil oleh Indonesia terkait perjanjian internasional.
UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. (ayat 2).”
Pengesahan sebagai definisi ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal) diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara dalam memberlakukan perjanjian internasional.
Pencampuradukan makna pengesahan (ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalaui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk mentransformasi perjanjian internasional Poin inilah yang coba dielaborasi dengan baik oleh Damos Dumoli Agusman dalam bukumnya.
Sebagai wacana pemikiran, Damos Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa usulan beliau yang berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu :
1) Monisme sebagai pilihan politik hukum karena mempercepat proses pembentukan hukum.
2) Monisme akan mempercepat karena hanya menginkorporasi perjanjian internasional melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih dualisme, maka akan membebani Indonesia dengan proses legislasi
3) Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi perjanjian internasional
4) Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter monisme.
Tentu saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana soal hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini, maka diharapkan akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik.
Judul Buku : Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori dan Praktik Indonesia
Penulis : Damos Dumoli Agusman
Penerbit : Refika Aditama
Tahun : 2010
Di sela keringnya wacana dan penerbitan buku soal hukum internasional di Indonesia, buku karangan Damos Dumoli Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku tersebut patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan.
Relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur dengan jelas meskipun telah ada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya politik hukum yang dianut oleh Indonesia. Ada dua teori besar yang dikenal untuk mengatur hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme.
Teori monisme menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi melainkan inkorporasi sehingga tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum internasional dalam hukum nasional. Karena merupakan kesatuan sistem hukum maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih mengutamakan hukum internasional dibandingkan hukum nasional (primat hukum internasional) atau sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97)
Teori dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua sistem tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan-perundang-undangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97)
Berdasarkan kedua teori tersebut, apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme? Dualisme? atau campuran? Titik penting yang diangkat dalam buku ini adalah terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia.
Politik hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula dapat dilacak dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka diperlukan persetujuan DPR untuk membuat perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional lainnya. Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai perjanjian antara Indonesia dengan organisasi internasional. Meskipun telah mensyaratkan perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu :
1) Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan dalam suatu produk UU, namun UU dalam kaitan ini dimaknai sebagai UU yang bersifat mengesahkan persetujuan DPR.
2) Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak konsisten, UU yang mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU dalam arti formil dan bersifat penetapan
3) Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, UU yang mengesahkan bergeser menjadi UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti materil dan bersifat mengatur. (hlm.137)
Pergeseran makna “persetujuan DPR” dalam praktek tersebut terjadi karena memang belum jelas politik hukum yang diambil oleh Indonesia terkait perjanjian internasional.
UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. (ayat 2).”
Pengesahan sebagai definisi ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal) diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara dalam memberlakukan perjanjian internasional.
Pencampuradukan makna pengesahan (ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalaui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk mentransformasi perjanjian internasional Poin inilah yang coba dielaborasi dengan baik oleh Damos Dumoli Agusman dalam bukumnya.
Sebagai wacana pemikiran, Damos Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa usulan beliau yang berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu :
1) Monisme sebagai pilihan politik hukum karena mempercepat proses pembentukan hukum.
2) Monisme akan mempercepat karena hanya menginkorporasi perjanjian internasional melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih dualisme, maka akan membebani Indonesia dengan proses legislasi
3) Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi perjanjian internasional
4) Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter monisme.
Tentu saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana soal hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini, maka diharapkan akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik.
[Antara News Senin, 25 Juli 2011]
Oleh Damos Dumoli Agusman*)
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM mempersoalkan Piagam ASEAN yang membentuk pasar bebas sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan meminta judicial review terhadap UU yang meratifikasinya, yakni UU Nomor 38 Tahun 2008.
Saat Pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN di Bali pekan lalu, MK mulai menggelar perkara ini dengan mendengarkan pandangan para pemohon dan pemerintah serta para saksi ahli.
Gugatan judicial review ini menggiring opini publik ke arah pertanyaan mendasar, yaitu "Benarkah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945" Tanpa mengurangi arti penting pertanyaan itu, penulis justru lebih tergelitik dengan pertanyaan proseduralnya, yaitu "Apakah MK dapat menguji perjanjian internasional terhadap UUD 194?
Dalam risalah sidang pemeriksaan pendahuluan MK terhadap perkara ini, terdapat beberapa permintaan hakim untuk dilengkapi oleh pemohon.
Di antaranya ada dua yang menarik perhatian. Pertama, permintaan agar pemohon menjelaskan bagaimana posisi perjanjian internasional yang disahkan oleh Undang-Undang. Apakah norma-normanya otomatis menjadi UU atau harus dimuat lagi dalam UU tersendiri. Hal ini tentu akan terkait dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian.
Kedua, agar pemohon menjelaskan apakah mungkin dilakukan pembatalan sepihak oleh Indonesia terhadap Piagam ASEAN. Pemohon meyakini bahwa UU ini dapat diuji oleh MK karena UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas mengatakan UU jenis ini adalah UU dan tidak membedakannya dengan UU lainnya.
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran dan dengan demikian identik dengan UU ini.
UU No. 38 Tahun 2008 ini sebenarnya hanya memuat dua pasal; pasal (1) menyatakan mengesahkan Piagam ASEAN, pasal (2) tentang mulai berlakunya UU ini, sedangkan Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran.
Persoalan mendasar dalam perkara ini sebetulnya bukanlah tentang apakah UU No. 38 Tahun 2008 yang meratifikasi Piagam ASEAN dapat menjadi objek pengujian materi oleh MK melainkan lebih ke pertanyaan apakah UU No. 38 Tahun 2008 adalah identik dengan Piagam ASEAN sebagai traktat (perjanjian internasional), atau apakah materi normatif Piagam ASEAN telah menjelma menjadi UU No. 38 Tahun 2008 (terminologi juridis yang sering dipakai adalah "transformasi").
Jika secara konstitusional Piagam ASEAN telah berubah menjadi UU maka MK memiliki wewenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai UU, namun jika tidak maka MK hanya menguji kedua Pasal UU tersebut.
Syarat konstitusional
UU No. 38 Tahun 2008 sebenarnya hanya merupakan syarat konstitusional seperti yang diminta oleh Pasal 11 UUD 45: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain".
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960). Dari konstruksi ini maka UU No. 38 Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk "persetujuan DPR" dan bukan Piagam ASEAN itu sendiri.
Persoalan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional RI memang masih belum jelas. Kedudukannya dalam rumah hukum nasional belum diperjelas. Banyak kalangan terjebak untuk menempatkan perjanjian internasional berada dalam rumah undang-undang, dalam hal ini UU yang meratifikasinya. Artinya karena diratifikasi dengan UU maka perjanjian internasional telah berubah wujud menjadi UU.
Pandangan ini agak anomali karena mata kuliah hukum tatanegara yang dipelajari oleh seluruh pakar hukum Indonesia selalu mengajarkan bahwa perjanjian internasional (traktat) duduk bersebelahan dengan, dan tidak berada dalam, suatu UU.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat, dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr. Harjono SH yang dalam bukunya (Transformasi Demokrasi, 2010) secara tepat mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".
Praktik Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasioal dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formal undang-undang, padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan sumber hukum.
Senada dengan itu, mantan Ketua MA Prof. Bagir Manan membuat pernyataan yang sangat menarik yaitu `Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, perjanjian internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain perjanjian internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan".
Lebih tinggi
Sejak awal abad ini, Belanda telah memutuskan bahwa traktat berkedudukan lebih tinggi dari UU termasuk UUD dengan kata lain menganut monisme primat hukum internasional. Sebelum traktat diratifikasi oleh seorang raja maka perlu mendapat persetujuan parlemen.
Persetujuan Parlemen ini dituangkan dalam bentuk UU (wet) namun digarisbawahi pula bahwa Wet ini hanya format persetujuan Parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai wet dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja berkewajiban untuk meratifikasinya.
Praktik Belanda ini ternyata diikuti oleh para ahli hukum Indonesia seperti Prof Utrecht, pakar hukum pada awal kemerdekaan, yang menjelaskan mekanisme Pasal 11 UUD 1945 yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat undang-undang formil saja. Kemudian, setelah mendapat persetujuan DPR, presiden melakukan pengesahan yang disebut dengan "ratifikasi".
Berbeda dengan Belanda, maka Jerman menggunakan doktrin bahwa UU yang meratifikasi perjanjian memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai format persetujuan DPR dan sekaligus sebagai mentransformasikan materi normatif perjanjian menjadi kaidah UU nasional.
Doktrin ini sangat dipengaruhi oleh ahli hukum Jerman H. Triepel pada awal abad ke-20 yang terkenal sebagai penganut dualisme dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.
Jika dilihat dari akar hukumnya maka seharusnya doktrin Belanda yang harus jadi pedoman bagi Indonesia. Artinya, MK hanya dapat menguji UU No. 38 Tahun 2008 namun bukan Piagam ASEAN, karena UU No. 38 Tahun 2008 hanya bentuk persetujuan DPR dan tidak dimaksudkan untuk menjadikan Piagam ASEAN sebagai UU nasional.
Dengan pemikiran ini maka wewenang MK hanya menguji 2 (dua) pasal prosedural UU ini dan tidak berwenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN. Bukti kuat bahwa UU No. 38 Tahun 2008 tidak identik dengan Piagam ASEAN adalah bahwa mulai berlakunya kedua instrumen ini berbeda.
UU No. 38 Tahun 2008 mulai berlaku pada saat diundangkan yakin tanggal 6 November 2008 sedangkan untuk pemberlakuan Piagam ASEAN ditentukan setelah dipenuhinya syarat yang ditetapkan oleh Piagam ASEAN itu sendiri yaitu 30 hari sejak diterimanya ratifikasi ke 10 negara anggota ASEAN, yakni 15 Desember 2008.
Jika MK mengabulkan gugatan pemohon, maka apakah Indonesia dapat menarik diri secara sepihak dari Piagam ASEAN ?
Jawaban pertanyaan ini tentunya terletak pada hukum internasional dan bukannya pada hukum tatanegara Indonesia karena Piagam ASEAN adalah kontrak antarnegara yang tunduk pada hukum internasional bukan pada hukum Indonesia.
Sayangnya, menurut hukum internasional (Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional) Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Namun, terdapat pula pertanyaan ketatanegaraan yang sama rumitnya, yaitu apakah pembatalan UU No. 38 Tahun 2008 serta merta akan mewajibkan presiden melakukan penarikan diri terhadap Piagam ASEAN? Atau dengan perkataan lain, apakah MK memiliki wewenang untuk meminta presiden menarik diri dari Piagam ASEAN?.
Pertanyaan ini mirip dengan ilustrasi sebagai berikut: jika seorang suami telah menikah dengan istri kedua atas dasar ijin istri pertama, dapatkan suami tersebut membatalkan perkawinan tersebut semata-mata karena istri pertama mencabut kembali ijin yang telah diberikan?
Dalam situasi inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan Pemerintah RI/DPR, namun juga bagi dunia akademisi hukum.
(***)
* Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI, saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini pandangan pribadi dan akademis penulis.
Oleh Damos Dumoli Agusman*)
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM mempersoalkan Piagam ASEAN yang membentuk pasar bebas sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan meminta judicial review terhadap UU yang meratifikasinya, yakni UU Nomor 38 Tahun 2008.
Saat Pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN di Bali pekan lalu, MK mulai menggelar perkara ini dengan mendengarkan pandangan para pemohon dan pemerintah serta para saksi ahli.
Gugatan judicial review ini menggiring opini publik ke arah pertanyaan mendasar, yaitu "Benarkah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945" Tanpa mengurangi arti penting pertanyaan itu, penulis justru lebih tergelitik dengan pertanyaan proseduralnya, yaitu "Apakah MK dapat menguji perjanjian internasional terhadap UUD 194?
Dalam risalah sidang pemeriksaan pendahuluan MK terhadap perkara ini, terdapat beberapa permintaan hakim untuk dilengkapi oleh pemohon.
Di antaranya ada dua yang menarik perhatian. Pertama, permintaan agar pemohon menjelaskan bagaimana posisi perjanjian internasional yang disahkan oleh Undang-Undang. Apakah norma-normanya otomatis menjadi UU atau harus dimuat lagi dalam UU tersendiri. Hal ini tentu akan terkait dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian.
Kedua, agar pemohon menjelaskan apakah mungkin dilakukan pembatalan sepihak oleh Indonesia terhadap Piagam ASEAN. Pemohon meyakini bahwa UU ini dapat diuji oleh MK karena UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas mengatakan UU jenis ini adalah UU dan tidak membedakannya dengan UU lainnya.
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran dan dengan demikian identik dengan UU ini.
UU No. 38 Tahun 2008 ini sebenarnya hanya memuat dua pasal; pasal (1) menyatakan mengesahkan Piagam ASEAN, pasal (2) tentang mulai berlakunya UU ini, sedangkan Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran.
Persoalan mendasar dalam perkara ini sebetulnya bukanlah tentang apakah UU No. 38 Tahun 2008 yang meratifikasi Piagam ASEAN dapat menjadi objek pengujian materi oleh MK melainkan lebih ke pertanyaan apakah UU No. 38 Tahun 2008 adalah identik dengan Piagam ASEAN sebagai traktat (perjanjian internasional), atau apakah materi normatif Piagam ASEAN telah menjelma menjadi UU No. 38 Tahun 2008 (terminologi juridis yang sering dipakai adalah "transformasi").
Jika secara konstitusional Piagam ASEAN telah berubah menjadi UU maka MK memiliki wewenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai UU, namun jika tidak maka MK hanya menguji kedua Pasal UU tersebut.
Syarat konstitusional
UU No. 38 Tahun 2008 sebenarnya hanya merupakan syarat konstitusional seperti yang diminta oleh Pasal 11 UUD 45: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain".
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960). Dari konstruksi ini maka UU No. 38 Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk "persetujuan DPR" dan bukan Piagam ASEAN itu sendiri.
Persoalan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional RI memang masih belum jelas. Kedudukannya dalam rumah hukum nasional belum diperjelas. Banyak kalangan terjebak untuk menempatkan perjanjian internasional berada dalam rumah undang-undang, dalam hal ini UU yang meratifikasinya. Artinya karena diratifikasi dengan UU maka perjanjian internasional telah berubah wujud menjadi UU.
Pandangan ini agak anomali karena mata kuliah hukum tatanegara yang dipelajari oleh seluruh pakar hukum Indonesia selalu mengajarkan bahwa perjanjian internasional (traktat) duduk bersebelahan dengan, dan tidak berada dalam, suatu UU.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat, dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr. Harjono SH yang dalam bukunya (Transformasi Demokrasi, 2010) secara tepat mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".
Praktik Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasioal dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formal undang-undang, padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan sumber hukum.
Senada dengan itu, mantan Ketua MA Prof. Bagir Manan membuat pernyataan yang sangat menarik yaitu `Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, perjanjian internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain perjanjian internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan".
Lebih tinggi
Sejak awal abad ini, Belanda telah memutuskan bahwa traktat berkedudukan lebih tinggi dari UU termasuk UUD dengan kata lain menganut monisme primat hukum internasional. Sebelum traktat diratifikasi oleh seorang raja maka perlu mendapat persetujuan parlemen.
Persetujuan Parlemen ini dituangkan dalam bentuk UU (wet) namun digarisbawahi pula bahwa Wet ini hanya format persetujuan Parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai wet dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja berkewajiban untuk meratifikasinya.
Praktik Belanda ini ternyata diikuti oleh para ahli hukum Indonesia seperti Prof Utrecht, pakar hukum pada awal kemerdekaan, yang menjelaskan mekanisme Pasal 11 UUD 1945 yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat undang-undang formil saja. Kemudian, setelah mendapat persetujuan DPR, presiden melakukan pengesahan yang disebut dengan "ratifikasi".
Berbeda dengan Belanda, maka Jerman menggunakan doktrin bahwa UU yang meratifikasi perjanjian memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai format persetujuan DPR dan sekaligus sebagai mentransformasikan materi normatif perjanjian menjadi kaidah UU nasional.
Doktrin ini sangat dipengaruhi oleh ahli hukum Jerman H. Triepel pada awal abad ke-20 yang terkenal sebagai penganut dualisme dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.
Jika dilihat dari akar hukumnya maka seharusnya doktrin Belanda yang harus jadi pedoman bagi Indonesia. Artinya, MK hanya dapat menguji UU No. 38 Tahun 2008 namun bukan Piagam ASEAN, karena UU No. 38 Tahun 2008 hanya bentuk persetujuan DPR dan tidak dimaksudkan untuk menjadikan Piagam ASEAN sebagai UU nasional.
Dengan pemikiran ini maka wewenang MK hanya menguji 2 (dua) pasal prosedural UU ini dan tidak berwenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN. Bukti kuat bahwa UU No. 38 Tahun 2008 tidak identik dengan Piagam ASEAN adalah bahwa mulai berlakunya kedua instrumen ini berbeda.
UU No. 38 Tahun 2008 mulai berlaku pada saat diundangkan yakin tanggal 6 November 2008 sedangkan untuk pemberlakuan Piagam ASEAN ditentukan setelah dipenuhinya syarat yang ditetapkan oleh Piagam ASEAN itu sendiri yaitu 30 hari sejak diterimanya ratifikasi ke 10 negara anggota ASEAN, yakni 15 Desember 2008.
Jika MK mengabulkan gugatan pemohon, maka apakah Indonesia dapat menarik diri secara sepihak dari Piagam ASEAN ?
Jawaban pertanyaan ini tentunya terletak pada hukum internasional dan bukannya pada hukum tatanegara Indonesia karena Piagam ASEAN adalah kontrak antarnegara yang tunduk pada hukum internasional bukan pada hukum Indonesia.
Sayangnya, menurut hukum internasional (Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional) Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Namun, terdapat pula pertanyaan ketatanegaraan yang sama rumitnya, yaitu apakah pembatalan UU No. 38 Tahun 2008 serta merta akan mewajibkan presiden melakukan penarikan diri terhadap Piagam ASEAN? Atau dengan perkataan lain, apakah MK memiliki wewenang untuk meminta presiden menarik diri dari Piagam ASEAN?.
Pertanyaan ini mirip dengan ilustrasi sebagai berikut: jika seorang suami telah menikah dengan istri kedua atas dasar ijin istri pertama, dapatkan suami tersebut membatalkan perkawinan tersebut semata-mata karena istri pertama mencabut kembali ijin yang telah diberikan?
Dalam situasi inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan Pemerintah RI/DPR, namun juga bagi dunia akademisi hukum.
(***)
* Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI, saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini pandangan pribadi dan akademis penulis.
Editor: Bambang
COPYRIGHT © 2011
SINAR HARAPAN, 09.06.2011
Penulis : Damos Dumoli Agusman*
Diskusi tentang uji materi (judicial review) terhadap Piagam ASEAN ke Mahkamah Konstitusi di harian ini melalui artikel Achmad Suryono (Menggugat Arogansi Negara) dan Kristanto Hartadi (Menggugat Masyarakat Asean 2015) sangat menarik.
Tanpa mengurangi inti persoalan tentang konstitusionalitas Piagam ASEAN yang memang cukup penting, namun terdapat pertanyaan mendasar yang mengitarinya yang mungkin tidak kalah penting, yaitu apakah mekanisme konstitusi kita memungkinkan suatu perjanjian internasional di-judicial review?Persoalan status hukum perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum jelas (Damos Agusman; Hukum Perjanjian Internasional, Teori dan Praktek Indonesia, 2010). Apakah perjanjian internasional merupakan bagian dari hukum nasional RI?
Pandangan publik selama ini selalu akan serta merta mengartikan bahwa Piagam ASEAN adalah identik dengan UU No. 38 Tahun 2008 yang meratifikasinya. Karena Piagam ASEAN adalah (telah menjadi) UU maka akan menjadi logis pula untuk berpandangan bahwa UU ini dapat di-uji materi-kan ke MK.
Tetapi apakah benar bahwa UU No 38/2008 identik dengan Piagam ASEAN itu sendiri? Perdebatan yang sebenarnya justru pada aspek prosedural ini. Bagi ahli hukum tata negara kemungkinan besar akan melihat ini identik karena memang UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan UU secara implisit tidak membedakan UU dengan UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Namun bagi pengamat hukum internasional, persoalannya agak lain. Kalangan ini cenderung melihat Piagam ASEAN sebagai produk hukum yang berdiri sendiri terlepas dari legislasi nasional yang meratifikasinya.
Menurut teori yang dikenal dalam Hukum Tata Negara RI, perjanjian internasional (traktat) sudah dikenal sebagai sumber hukum dan kedudukannya adalah berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Namun, seperti yang disinyalir oleh Prof. Bagir Manan (2008), dituangkannya perjanjian internasional ke dalam bentuk UU pengesahan, terlepas dari arti kedudukan UU ini, merupakan suatu “kontradiksi keilmuan”.
Sejak mulai berlakunya UUD 1945, tidak terdapat praktik bahkan wacana sekalipun untuk mengkonstruksikan perjanjian internasional ke dalam sistem perundang-undangan.
Dalam hukum dan praktik Indonesia sampai akhir Orde Baru, status perjanjian internasional tidak dipersoalkan dalam perpektif perundang-undangan karena memang belum ada ketertarikan hukum tata negara Indonesia tentang kedudukan dan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Tidak Menjelaskan
UU No. 24 tentang Perjanjian Internasional tidak secara tegas menjelaskan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem perundang-undangan namun hanya menyatakan bahwa perjanjian internasional disahkan dengan undang-undang/Peraturan Presiden tanpa lebih lanjut menjelaskan apa arti dan konsekuensinya bagi perundang-undangan Indonesia.
Apakah dengan pengesahan dengan UU maka perjanjian internasional menjadi setara dengan UU merupakan pertanyaan yang masih belum terjawab sampai saat ini.
Namun ada baiknya untuk menelusuri prosedur hukum Indonesia tentang pemberlakuan suatu perjanjian internasional sampai dia mengikat Indonesia. Pasal 11 UUD 45 hanya menyebutkan “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain”.
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960)". Dari konstruksi ini maka UU No. 38 Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk ”persetujuan DPR” dan bukan Piagam ASEAN itu sendiri.
Hal ini terlihat karena UU No 38/2008, sebagaimana layaknya UU yang meratifikasi lainnya, hanya memuat 2 pasal, yang pertama hanya menyebut "mengesahkan Piagam ASEAN", yang kedua hanya mengatakan tanggal mulai berlakunya UU ini.
Ini semakin dibuktikan dengan prosedur berikutnya. Setelah diterbitkannya UU ini maka Menteri Luar Negeri mengeluarkan suatu dokumen formal yang disebut instrumen ratifikasi untuk disampaikan kepada Sekjen ASEAN.
Dengan diterimanya instrumen ratifikasi ini maka sejak itulah Piagam ASEAN mulai berlaku terhadap Indonesia. Tanggal berlakunya UU No 38/2008 dengan tanggal berlakunya Piagam ASEAN berbeda. Hal ini sudah memperlihatkan bahwa kedua dokumen ini tidak pernah identik. Kalau keduanya tidak identik, yang mana yang akan di-judicial review oleh MK?
Jika dua pasal pada UU No 38/2008 yang akan di-judicial review maka tidak akan ditemukan masalah konsitutionalitas. Namun jika Piagam ASEAN yang akan di-judicial review, pertanyaannya adalah dapatkah MK menguji perjanjian internasional sebagai produk hukum internasional?
Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam UUD yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya.
Sistem hukum Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini sehingga jangankan pada tataran konstitusi, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.
Setidaknya dua faktor yang mengakibatkan politik hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional tidak pernah berkembang. Pertama, perjanjian internasional masih merupakan kajian primadona dari para pakar hukum internasional ketimbang pakar hukum tata negara.
Sekalipun para pakar hukum tata negara Indonesia secara tegas mengakui bahwa traktat adalah salah satu sumber hukum tata negara, namun kajian tentang traktat tersebut dalam perspektif hukum tata negara masih sangat terbatas.
Di lain pihak, kajian hukum perjanjian internasional, sekalipun sudah menjadi kurikulum baku di Indonesia, masih berhenti pada aspek hukum internasional tentang perjanjian internasional dan belum memasuki wilayah hukum tata negara Indonesia.
Kedua, pada masa Orde Baru, di tengah-tengah kekuasaan eksekutif yang sangat dominan, nyaris tidak ada persoalan atau perdebatan tentang status serta perjanjian internasional di Indonesia. Kalaupun persoalan ini muncul, maka penyelesaian politik ketimbang hukum lebih diutamakan.
Dalam situasi ketiadaan dasar konstitusi yang jelas inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan Pemerintah RI/DPR, namum juga bagi dunia akademisi hukum.
Namun yang patut dicatat adalah jika MK memutuskan bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945, maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai Negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Sebab, menurut hukum internasional, Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional.
*Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
Add caption |
BEBERAPA PERKEMBANGAN TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIOAL
(dimuat pada buku , “Refleksi Dinamika Hukum” (2008) dalam rangka mengenang Prof. Dr. Komar Kantaadmaja, S.H., LL.M)
”Apa perbedaan antara perjanjian internasional dengan perjanjian biasa atau kontrak?”, demikian pertanyaan Almarhum Prof. DR. Komar Kantaatmadja S.H., LL.M, kepada penulis pada saat sidang ujian skripsi penulis tentang hukum perjanjian internasional pada tahun 1986. Penulis menjawab secara normatif bahwa yang pertama subjeknya adalah negara, sedangkan yang kedua subjeknya adalah orang/badan hukum. ”Tapi negara dengan negara juga bisa membuat kontrak?”, lanjut beliau dengan tersenyum. Penulis merenung dan saat usainya ujian skripsi, penulis masih belum dapat menemukan jawabannya.
Penulis semakin menyadari betapa pentingnya memahami definisi perjanjian internasional guna membedakannya dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas negara/transnasional. Dalam publik opini, dengan serta merta MOU Helsinki antara Pemerintah RI-GAM 2005 akan dimengerti sebagai Perjanjian Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RI-Microsoft 2007 juga akan pahami sebagai suatu perjanjian internasional. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional.
Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah:
“An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”
Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu:
3
· an International Agreement;
· by Subject of International Law;
· in Written Form;
· “Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
· Whatever Form.
Parameter yang paling menentukan dan acapkali sulita dipahami oleh publik adalah “Governed by International Law” dan format (judul/momenklatur).
“Governed by International Law”
Parameter tentang ”Governed by International Law” merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional tidak hanya di kalangan praktisi namun juga akademisi. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, suatu dokumen disebut sebagai ”Governed by International Law” jika memenuhi dua elemen, yaitu “intended to create obligations and legal relations under international law:
a. Intended to create obligations and legal relations.
There may be agreements whilst concluded between States but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a “Joint Statement”, or “MOU”, depends on the subject-matter and the intention of the parties.[2]
b. …Under International Law.
There may be agreements between States but subject to the local law of one of the parties or by a private law system/conflict of law such as “agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions i.e. loan agreements”.[3]
Permasalahan teoritis tentang bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah ”Governed by International Law” juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah hal ini dapat ditarik dari the intention of the Parties? the Subject-Matter of the agreement?, atau should there be a presumption that an inter-state agreement which is intended to create legal relations is governed by international law? Pakar hukum D.J. Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai ”unanswered questions”.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerinth Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty Room” Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktek di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan agreements”.
Keputusan MK terhadap judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), dimana penulis juga terlibat untuk mewakili pemerintah, merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia. Dalam kasus ini, beberapa anggota DPR mempermasalahkan bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi ”Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI” dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR”.
Mahkamah Konstitusi dalam judical review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini public tentang apa itu perjanjian internasional. Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan”.
Status loan agreements juga menjadi kontroversi dalam perspektif definisi perjanjian internasional. Hal ini disebabkan adanya pergeseran tentang governing law yang mendasari perjanjian-perjanjian pinjaman. Secara konvensional, perjanjian pinjaman dikenal sebagai perjanjian perdata internasional dan tunduk pada hukum nasional tertentu sehingga status perjanjian ini bukanlah perjanjian internasional ”Governed by International Law”, dan dengan demikian bukan perjanjian internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata.[4] Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang mengindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti yang disyaraatkan oleh General Conditions for Loans IBRD 2005. Namun di lain pihak, banyak perjanjian pinjaman seperti halnya perjanjian komersial lainnya yang tidak secara tegas menyebutkan governing law, sehingga penetapan status perjanjian diserahkan pada intepretasi di kemudian hari manakala terjadi sengketa.
Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu:
a. perjanjian internasional publik ”Governed by International Law” seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan;
b. perjanjian perdata internasional biasa yang ”Governed by other than International Law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.[5]
Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.[6] Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri yang saat ini sedang berlangsung, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.
Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks Undang-Undang APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang APBN bukanlah Undang-Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan Undang-Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU lainnya.
Dalam prakteknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah harus mendapat persetujuan DPR.
Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis serta untuk mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap perjanjian pinjaman kategori ini selalu mengupayakan klausula tentang dipenuhinya terlebih dahulu prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktek, Departemen Luar Negeri akan menyampaikan notifikasi “telah terpenuhinya prosedur konstitusional/internal” setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal itu.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 (bahkan dalam Rancangan Undang-Undang Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by International Law”. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi, dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada Menteri Keuangan”.
Seperti telah diuraikan diatas, dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman dapat merupakan perjanjian internasional dan juga dapat berupa perjanjian perdata internasional. Loan Agreements yang dibuat oleh Indonesia selama ini adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional. Namun di pihak lain, beberapa negara seperti Jerman dan lembaga donor seperti International Fund for Agriculture Development[7] menginginkan agar perjanjian pinjaman ini mengambil format perjanjian internasional yang tunduk pada Konvensi Wina 1969, sehingga prosedur Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 harus diterapkan, termasuk prosedur ratifikasi berdasarkan pasal 10.
Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri pada Rancangan Undang-Undang ini, diindikasikan bahwa Pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembaga-lembaga ini jelas bukan Subjek Hukum Internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Nomenklatur/Judul Perjanjian
Pada sisi lain terdapat pula kecenderungan pada publik opini untuk menggunakan parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk menetapkan dokumen itu sebagai perjanjian internasional. Dengan demikian maka setiap dokumen yang berjudul treaty, convention, agreement, adalah perjanjian internasional sedangkan agreed minutes, MOU, record of discussion bukan perjanjian internasional.
ICJ Qatar/Bahrain Case, 1994, memberikan petunjuk bahwa untuk menetapkan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional tidak harus dilihat dari judul perjanjian. Dalam tanggapannya terhadap “Minutes signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar and Saudi Arabia, 1990”, ICJ menyatakan bahwa Minutes ini adalah perjanjian internasional. ICJ merujuk pada The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978:
a. In order to ascertain whether an agreement of that kind has been concluded, the Court must have regard above all to its actual terms and to the particular circumstances in which it was drawn up.
b. The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an account of discussions and summarize points of agreement and disagreement. They enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus create rights and obligations in international law for the Parties. They constitute an international agreement.
c. Having signed such a text, the Foreign Minister of Bahrain is not in a position subsequently to say that he intended to subscribe only to a "statement recording a political understanding” and not to an international agreement”.
d. The Court concludes that the Minutes of 25 December 1990, like the exchanges of letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and obligations for the Parties.
Sekalipun Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa praktek negara tentang judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Dewasa ini banyak negara yang menggunakan berbagai variasi judul seperti Joint Statement, Protocol, Charter, Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side Letter, Reciprocal Agreement (dalam format Nota Diplomatik), Letter of Intent, Minutes of Meeting, Aide Memoire, Demarche, Letter of Agreement, Memorandum of Agreement, Letter of Understanding, Memorandum of Cooperation, Record of Understandings, atau nama lain yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Selain itu terdapat kecenderungan dalam praktek negara-negara, sekalipun tidak konsisten, bahwa nomenklatur tertentu menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian tersebut dengan perjanjian internasional lainnya. Praktek di Indonesia misalnya, sekalipun tidak mengikat secara hukum cenderung menempatkan Agreement lebih tinggi dari MOU yang kemudian diikuti dengan Arrangements, Exchange of Notes.
Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun praktek Indonesia pada umumnya tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu, misalnya lebih cenderung menggunakan “Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak menyepakatinya. Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat teknis antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan conveniences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian payung.
Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical. Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law system, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral.
Pada tataran praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara common law, pengertian non-legally binding memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional. Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern yang berarti bagi Indonesia.
Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi perdebatan.
Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat mengikat.
Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional masih belum konsisten. Hal ini terlihat dari pola sistem penyimpanan perjanjian (depository system) yang ternyata menyimpan pada Treaty Room Departemen Luar Negeri semua dokumen sepanjang ditandatangani oleh Pemerintah RI tanpa melihat apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan pada Treaty Room berdasarkan materi perjanjian (the merits of the documents), maka pada hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sbb:
a. Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Multilateral Convention, Border Treaties, Extradition, Agreement, MOU’s, Exchange of Notes, etc);
b. Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk pada hukum internasional publik (loan agreements, procurement contracts, etc);
c. Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (joint statements, declarations, agreed minutes, etc).
Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globlalisasi, mengakibatkan hukum perjanjian internasional juga mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri. Sekalipun literatur hukum internasional telah menyediakan banyak teori dan praktek tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif. Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata tidak luput dari dinamika tersebut.
***
BIBLIOGRAPHY
BIBLIOGRAPHY
ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, AJIL, Vol. 61, 1967
John H Jackson, “Status of Treaties in Domestic Legal System: A Policy Analysis”, AJIL, Vol, 86, No. 2 (Apr. 1992), pp. 310-340.
Anthony Aust, “Modern Treaty Law and Practice”, Cambridge University Press, 2000.
Charlotte Ku & Paul F. Diehl, “International Law: Classic and Contemporary Readings”, London: Lynne Rienner Publishers, Inc, 2003.
D. J. Harris, “Cases and Materials on International Law”, London: Sweet & Maxwell, Ltd, 1998.
Delano Verwey. “The European Union and the International Law of Treaties”, Cambridge University Press, 2004.
Jan Klabbers. “The Concept of Treaty in International Law”, Martinus Nijhoff Publishers, 1996.
Malcolm N. Shaw. “International Law”, Cambridge University Press, 1997.
Marvin A. Chirelstein. "Concepts and Case Analysis in the Law of Contracts”, New York: Foundation Press, 2001.
M.N. Shaw, “International Law”, Grotius Publication, 1991.
Rebecca Wallace, “International Law”, Sweet & Maxwell, London, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, Bina Cipta, 1975.
Syahmin AK, “Hukum Kontrak Internasional”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Clifford J. Hynning, “Treaty Law for the Private Practitioner”, The University of Chicago Law Review, Vol. 23.
Antonio Cassese, “International Law”, Oxford, 2005.
Damos Dumoli Agusman, “Pedoman Teknis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian Internasional”, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU, 2006.
Delaume, Georges R, The Proper Law of Loans concluded by International Persons: A Restatement and Forecast, American Journal of International Law, Vol. 56, 1962
[1] Penulis adalah lulusan FH Unpad (1987) dan University of Hull, Inggris (1990) yang saat ini menjabat Direktur Perjanjian Ekososbud, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan bukan merupakan pandangan resmi DEPLU.
[2] ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, AJIL, VOl 61, 1967
[3] Report of the ILC Special Rapporteur, 1962.
[4] Delaume, Georges R, The Proper Law of Loans concluded by International Persons: A Restatement and Forecast, American Journal of International Law, Vol. 56, 1962
[5] Prosedur dimaksud a.l. penerapan lembaga full powers dan ratification, serta penerapan ketentuan tentang penafsiran berdasarkan hukum perjanjian internasional.
[6] Politik hukum Indonesia seperti yang tercermin dari UU No. 24 Tahun 2000 menetapkan Perjanjian Pinjaman sebagai perjanjian internasional (“treaty”) sehingga pada hakekatnya menutup ruang bagi pembuatan perjanjian pinjaman sebagai perjanjian perdata. Masih perlu dikaji lebih lanjut apakah kebijakan ini didasarkan pada pemahaman yang tepat tentang definisi perjanjian internasional.
[7] Jerman secara tegas meminta agar loan agreements berstatus treaty. Dengan lembaga donor ini misalnya Loan Agreement dengan International Fund for Agriculture Development tahun 2000
Damos Dumoli Agusman MA[*]
(dimuat pada Majalah Padjadjaran, Universitas Padjajaran 2004)
International law and relations are very dynamic studies. They have been and continue to be developing in accordance with, and are sometimes left behind by, the dynamic evolution of the international system, and to survive they must remain in harmony with the realities of the age. But never in the past, at least from the Westphalian era, have these studies faced a shaking change as extreme as that affected by the so-called globalization process. The tragedy of 11 September 2001 followed by the “US liberating Iraq” in 2003 has culminated the ongoing international systemic change, to some extent shocking the study of international law and relations. People are now asking where are these studies are now headed?
Many writers have already foreseen the effects of globalization that continue to affect the fundamental elements of international law and relations, inter alia, its traditional Westhphalian inter-states system. However the two recent events have reminded the world that the international systemic change has moved in an unpredictable direction and has fundamentally eroded, if not destroyed, the sacred concept of state sovereignty and its related issues that international law and relations have so far counted on.
What kind of world system is now challenging the study of international law and relations? Many have spoken about this. Most scholars hold a view, and a relatively incontestable one, that globalization presents a fundamental challenge to the Westphalian states-system and its central principle of state sovereignty. Although it has brought the demise of sovereignty, most also agree that it is by no means dissolving the state. Much has been said about the emergence of non-state actors that significantly affect the primary role of states in the international system. But the most shocking character of the present world system is that centres of power are scattered among many actors. It is no longer bipolar where a balance of power and containment policy could be sustained. Neither is it unilateral with one state superior to the rest of the world. What is now experienced on the world scene is a complex multi-polar situation in which non-state actors – legitimate or not – are also involved. Terrorists, despite their controversy, by definition of international actors are perhaps one of them.
On the other hand, the international system is still in anarchy, in the sense that it has no central government that guarantees the security of its members. Unfortunately, today’s post cold war world also witnesses the fact that the UN Security Council is becoming ineffective – perhaps its members intend to have it this way – in dealing with the new mode of threat to international peace and security. Together with these characteristics, the notion of a so-called cultural dichotomy between “the West and the World” as inspired by Huntington`s clash of civilizations is believed to have formed the present international system replacing the bipolar East-West model. So the system remains anarchic, with new hostile actors such as terrorism which threaten the people, and the ineffectiveness of the Security Council have already constituted a dilemmatic problem for international law and relations.
The world system has departed from its original set of Westphalian inter-states in the direction of a multipolar system now including terrorism. In this regard international relations have been characterized by a new phenomenon i.e. the emergence of an asymmetric international system in which the logic of threat is beyond rational thinking. As the US National Intelligent Council has put rightly in its assessment in global trends 2015, IT-driven globalization will significantly increase interaction among terrorists, narco traffickers, weapons proliferators, and organized criminals, who in a networked world will have greater access to information, to technology, to finance, to sophisticated deception-and-denial techniques and to each other. The Council is convinced that Asymmetric challenges can arise across the spectrum of conflict that will confront US forces in a theater of operations or on US soil. The logic of state affairs asymmetrically encounters the logic of terrorism. The former relies on military strength and the latter relies on individual lives. Military forces versus suicide. The New York terrorist attack using the irrational means of suicide has disturbed the logic of state power, in which the world cannot identify who the enemy really is nor how to counter attack the enemy in the sense of the inter-states system of international law and relations. In 2000 the US National Intelligent Council has already foreseen the future Conflict and threats facing the United States inter alia that of asymmetric threats in which state and non state adversaries avoid direct engagements with the US military but devise strategies, tactics, and weapons—some improved by "sidewise" technology—to minimize US strengths and exploit perceived weaknesses.
Counter measures by recourse to the use of force is perhaps, in the prevailing view of the world, the only available one. But the counter attack by recourse to the use of force directed at Afghanistan in 2001 following the terrorist attack raised many fundamental problems on the basis of which traditional international law and relations have come under scrutiny. Who was really the enemy that they targeted? Is it Afghanistan as a state? The Taliban as a government? Or Osama bin Laden as a non-state actor who (coincidently?) resided in Afghanistan? In this case, the world is confused not only over the question of the legality of the use of force in response to such a terrorist attack but also how the target is defined in terms of the law of armed conflict. These novel legal issues are beyond the scope of the present inter-state system. The law of war such as the Geneva Convention of 1949 and the established laws governing the use of force could hardly deal properly with this kind of asymmetric and illogical conflict. Although the UN has attempted to provide quick counter measures to terrorist issues before the New York tragedy, such as by adopting the International Convention for the Suppression of Financing of Terrorism in 1999, the legal problem arising from the terrorist attack thereafter remains unsettled. President Bush acknowledged this dilemma his Address to the Nation on Iraq on 17 March 2003 by saying that Terrorists and terror states do not reveal these threats with fair notice, in formal declarations -- and responding to such enemies only after they have struck first is not self-defence, it is suicide.
The approach pursued by the international community in dealing with terrorism through a global coalition also poses a problem. Fighting terrorism solely by recourse to the offensive use of forces, instead of winning the hearts and minds of radicals, temporarily seems to be effective. However it could also adversely bring another security dilemma to the world system. Offensive use of force against terrorism inadvertently provokes radicalism and consequently rising radicalism would further threaten the international community, and as a result the threatened community will again increase its offensive force, and so on. A spiral is created and the world grows increasingly insecure. The situation is intensely exacerbated by the wounded President Bush’s strong exclusive policy of “either you are with us, or you are with the terrorists”. Another unexpected acute dilemma is also coming into the fore in the terms of Huntington’s the “West and the World”. The terrorist threat makes the West insecure and they accordingly pursue measures that exclude the rest of the world. The rest will inadvertently react suspiciously. This interaction will create distrust in international relations and will give impetus to radicalism and terrorism. It must be said that asymmetric international relations in which hostile non-state actors join the system has outmoded the existing approaches.
The case of the “US liberating Iraq” has also demonstrated shortcomings in traditional notions of sovereignty. Furthermore, to some extent, the case has also frustrated many international lawyers and even made many people have more doubt about the existence of so called international law. Whether or not state sovereignty is still relevant in the present world system has been highly debated by many scholars. It is also worth noting that in the progressive development of international law, many scholars put state sovereignty in an awkward position. On one hand, state sovereignty is accused of preventing the embryonic rules of international law to take effect. The applicability of laws of human rights and protection of the environment for example is, as many scholars claim, countered with the so-called sovereignty. Cases of genocide, ethnic cleansing, civil war and failed states are among others in which sovereignty is claimed to be a barrier. On the other hand, state sovereignty is always the core issue with regard to the law of the use of force and the breach of it is usually a paramount parameter in determining the illegality of the use of force. In this regard, the world system is neither ready to leave it totally aside nor to keep it in its original meaning. It must be said that international law loves and at the same time hates the concept of sovereignty.
Traditionally sovereignty is an inherent concept of international law. Through the UN Charter in 1945, the concept has since become sacred. The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the UN embodied in its resolution No. 2625 in 1970 is mainly about protecting the sovereignty concept, inter alia, non-prohibition of threat or use of force, non-intervention, equal rights and self determination, and sovereign equality. However the idea of diminishing the concept of state sovereignty in the law of the use of force has existed since the post cold war era. The concept is being reduced not by bluntly denying its existence but by improving it with a number of permissible concepts such as “broadened interpretation of self defence” and “humanitarian intervention”. Contentious debate on this issue has already taken place in international law and continues. It is about a dispute between minimizing versus broadening the resort to force.
However, the “US liberating Iraq” case has posed a serious problem to this sacred concept. Although the US justifies its action in Iraq on the basis of a newly introduced concept of pre-emptive use of force, the “outlaw regime” and the need for regime change in Iraq seems to be the only feasible argument for the US. Without the former concept, the newly embryonic concepts such as “changing an outlaw regime” or “installing democracy in ‘undemocratic’ foreign states” as justifying the use of force without a UN mandate in a particular state is a little bit too far from being relevant. International lawyers seem to be reluctant to start discussion about this and none of them has ever raised and explored this controversial concept. Nevertheless, the nature of the present confusing international system might give impetus to the discussion of this idea. In dealing with terrorism, it seems to be the interest of the US to have the world free from “outlaw and undemocratic regimes”. In this scenario, the fundamental principle of international law, especially states sovereignty will not only be reduced but even be destroyed. It is of course a problem that the study of international law and relations should deal with.
Traditionally, the question whether or not international law is really a law in view of its nature has already been an established rubric in the study of international law. However, states practice in the present system has made the discussion more complicated. It is of course a big challenge to the disciplines of international law to redefine, if necessary, its existence. The fact that states in practice nowadays ignore the principle of sovereignty does not necessary bring about the idea that international law ceases to exist. From the optimistic point of view, especially analysing the recent case of Iraq, no state that participated in the conflict claimed to ignore international law. On the contrary, they sought a legal basis to justify their actions no matter how good their argument. It is interesting to note that in seeking a legal basis for use of force against Iraq, while the US introduced a newly permissible legal concept, the UK attempted to construct more legal logic by arguing that the authority to use force under resolution 678 endorsed in response to the Iraqi invasion of Kuwait had been revived. In this regard, many scholars have expressed correctly that states violate international law in term of it. It could also happen in the national legal system, but what is lacking here is that in international law there is no superior organ available (such as a court with a compulsory jurisdiction) that could determine whether or their legal arguments are accepted. It is to say that states are both actors as well as judges for themselves. Again it shows that international law has never ceased to exist although states frequently violate it.
Is states’ practice of recourse to the use of force without a UN mandate becoming a customary rule of international law in the present system? Gladly the discipline of international law has a good answer to this question. Although states frequently act contrary to the established rule of prohibition of the use of force (such as without the UN mandate), such a state practice does not automatically constitute a precedent that could amount to a customary rule. First, such a practice lacks the essential requirement of a custom, i.e. opino juris sive necessitates, a feeling of legal obligation. There must be a manifestation of assent to this practice. The facts show that the use of force without the UN mandate has not been supported by states simply because they are convinced such a practice is not binding upon them. The fact that at the beginning process the US initially asked for the UN Security Council to authorize the use of force against Iraq shows that the US is bound to the rules prohibiting use of force without the UN mandate. Second, the creation of a customary international law could be prevented through a persistent objection. International community through its negative reactions to the US action has succeeded in preventing this practice from establishing a customary rule.
On the other hand, the world has also witnessed the progressive development of international law in accommodating the needs of the international community. To mention a few examples, international law has developed in regulating sea, air and space, human rights, protection of environment, and treaties. Its approach is also going beyond the traditional one, such as the emergence of the concept common heritage of mankind for resources and the concept of erga omnes in human rights. Both concepts have left aside, if not diminished, the principle of state sovereignty, as their applicability is not on the basis of state consent.
Having analysed the present complex system, it shows that international law developed continuously in accordance with the notions of international relations. But the time is now ripe, following the nature of globalization, for its development to touch not only its norms but also its traditional principles. Strict or even absolute approach to the principle of international law as previously upheld by states is now becoming obsolete. As the Westphalian inter states are fading away, it should be the task of international law and international relations to provide new principles or to redefine them so that they fit to the new system.
How the international community acquires new principles governing their relations in the present system is also a complex issue. International law has an established mode for dealing with how the rules of international law should be sought, created and developed. It could be through Custom, Treaties, General Principles of Law, Judicial Decisions, Writers, and the UN Resolution. But again this mode is on the basis of the Westphalian System in which consent of states is a paramount. Whether or not it still fits the new dynamic of present system is also worth discussing.
To conclude, having seen the complexity of the new system, the discipline of international law and relations should play a key role in helping the international community to rebuild its peaceful relations in the present unpredictable system. Since the Westphalian system is becoming obsolete, it is the interest of the international community to embrace all international actors in the process of rebuilding the world system. In this sense, the foreign policy of super powers together with others states must be that of mutual engagement rather that containment or alienation termed as “either you are with us, or you are with the terrorists”.
In the present system terrorism cannot be dealt solely by resort to force. The root of the problem should be adequately addressed. President Soekarno in his statement to the UN GA in 1960 has strongly convinced the Assembly about how peace should be achieved, in his own wordings: “remove the causes of war and we shall be at peace, remove the causes of tenses and we shall be at rest” and he blamed inequalities among states was the cause of conflict. Many people believe that the cause of terrorism is deeply rooted in injustice, poverty, underdevelopment, and the exclusive nature of the world system. These issues are already slowly fading away in the agenda of the North-South relations. Are these issues becoming relevant to reintroduce to the world agenda? Again it is the task of the disciplines of international law and relations to deal with. But if it is so, they must be revived in a new format i.e. for the interest of human security rather than that of state security and in the framework of a new globalize system rather than that of Westphalian inter-state system. All of these complicated and interconnected issues lead to a question: Is there a need to redefine fundamental principles of international law?
***
Selected Bibliography:
- The Globalization of World Politics, Edited by John Baylis and Steve Smith, Oxford University, 1997
- D.J. Harriy, Cases and Materials on International Law, Sweet and Maxwell, 1988
- Starke, J. G. Starke's International Law (11th ed., 1994 / I.A. Shearer)
- BUZAN, B., People, States and Fear , 1991
- Global Trends 2015: A Dialogue About the Future With Nongovernment Experts, National Intelligent Council, December 2000.
- Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press Oxford, 1992.
- Malcolm N. Shaw, Internatonal Law, Grotious, 1991
- J.J. G. Syatauw, Some Newly Established Asian States and the Development of International Law, Martinus Nijhoff, 1961
- “To Build a World New”, Statement of President Soekarno before the UN GA, September 30, 1960,
- John Ikenberry, the Miyth of Post-Cold War Chaos, Foreign Affairs, May/June 1996
- S.P. Huntington, The West and the World, Foreign Affairs November/December 1996
- Jeffrey Carlyle, Dr. Grez-Escandon, Sovereignty and International Law, Political Science, 1998
- Peter Rowe, Responses to Terror: The New `War´, Melbourne Journal of International Law, Vol 3, 2002.
- Jordan J. Paust, ASIL Insights, The US as Occupying Power Over Portion of Iraq and Relevant Responsibilities Under the Laws of War, April 2003, , http://www.asil.org/insigh102.htm
- Frederic L.Kirgis, ASIL Insights, Terrorist Attacks on the World Trade Center and the Pentagon, September 2001, http://www.asil.org/insigh77.htm
- Legal Basis for the US for Use of Force against Iraq as stated by President Bush in Address to Nation, March 17, 2993, http://www.state.gov/p/nea/rls/rm/18789.htm and -- International Law and the Pre-emptive Use of Force Against Iraq, updated September 23, 2002, by David M. Ackerman, Legislative Attorney, American Law Division, http://www.radanovich.house.gov/documents/CRSReportIraqInternationallaw.htm
- Legal Basis for Use of Force against Iraq as set out by the Attorney General, Lord Goldsmith, of the UK, http://www.pmo.gov.uk/output/Page3287.asp
- Benedict Kingsbury, Sovereignty and Inequality, EJIL, Vol. 9, 1998
- Bruno Simma, NATO, the UN and the Use of Force: Legal, EJIL, Vol. 10, 1998
- Symposium: The Changing Structure of International Law Revisited (Part4), EJIL Vol. 9, 1998
- Philip Allot, the Concept of International Law, EJIL, Vol. 10, 1998.
****
[*] Graduated from Faculty of Law, UNPAD, Master Degree in International Law and Politics, University of Hull, England, and now doing Phd Program at the University of Vienna.