DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945
DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945
Perjanjian internasional di
Indonesia telah melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda. Pertama periode
1945-1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 UUD yang berlaku
berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD
1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana sekalipun
berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada ketentuan seperti
yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak
tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 24
Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.
Secara
keseluruhan perjalanan sejarah Indonesia, dasar konstitusional untuk perjanjian
internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Sekalipun dasar konstitusional
untuk perjanjian internasional telah mengalami rangkaian phase rejim hukum yang
berbeda, rumusan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari perjanjian internasional
tidak pernah berubah. Untuk itu artikel ini bermaksud menggali sejarah dan
latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif yang
utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh
Indonesia sampai saat ini.
Pasal ini tidak secara
khusus mengatur tentang perjanjian internasional namun menempatkannya senafas
dengan kekuasaan Presiden lainnya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu
menyatakan perang dan membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan menurut penulis tidak dimaksudkan untuk
mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan hanya
mengidentifikasi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara[2] antara lain dalam membuat
perjanjian internasional. Para ahli mengalami kesulitan untuk menemukan latar
belakang dirumuskannya pasal yang singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat secara kilat oleh perancangnya
(BPUPKI) mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik maupun referensi yang
dapat membantu merumuskan Pasal 11. Ko Swan Sik[3] menyatakan bahwa kemungkinan besar para perumus
UUD 1945 lebih banyak menggunakan referensi dari Belanda dan mungkin sedikit
sekali menggunakan model Amerika Serikat mengingat pada waktu itu Konstitusi
Amerika Serikta tidak terlalu dikenal oleh elit Indonesia. Sedangkan ahli sejarah Indonesia
seperti A. Arthur[4] menduga model
Amerika Serikat merupakan inspirasi utama bagi perumus UUD 1945.
Dari
berbebagai perdebatan seperti yang terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata
beberapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai referensi, yaitu Konstitusi
Perancis, Belanda, Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang).[5] Dalam perdebatan terlihat
bahwa para perumus tidak terlalu menyukai semangat yang terkandung dalam konstitusi-kontitusi
Negara Barat karena dinilai terlalu liberal dan individualisme dan lebih
mengarah ke Timur yaitu pada semangat yang terkandung pada Konstitusi Meiji.[6] Sekalipun demikian, para perumus tidak secara
keseluruhan menolak konsep-konsep Barat karena pada kenyataannya juga
mengadopsi prinsip rechstaat seperti
yang terkandung pada Konstitusi Weimar.
Dari analisa komparatif terhadap konstitusi yang berlaku
pada periode kemerdekaan RI, terkait dengan kekuasaan presiden di bidang luar
negeri, para perumus tampaknya menggunakan Konstitusi Meiji 1989. Pasal 13
menyatakan:
The Emperor
declares war, makes peace, and concludes treaties[7].
Catatan
diskusi tentang pasal-pasal kekuasaan Presiden hampir seluruhnya mengambil
pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji. Bahkan pada tahun 1942, Supomo,
Subardjo dan Maramis sebelum mulainya persidangan BPUPKI pernah mengusulkan
suatu draft UUD yang pada umumnya adalah “copy paste” dari Konstitusi Meiji. [8]
Pasal 9 draft mereka bahkan mengusulkan rumusan “Kepala Negara menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dalam perdebatan
awal di BPUPKI rumusan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan istilah yang
berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan Negara. [9]
Teks ini kemudian berkembang dalam perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi
sehingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden.
Dalam
perdebatan selanjutnya, pasal ini tidak termasuk pasal yang kontroversi
sehingga dengan cepat dapat diterima dengan hanya penambahan kalimat “dengan
persetujuan DPR” agar selaras degan prinsip “check and balances” yang
mendominasi pola pikir para perumus UUD 1945 pada waktu itu.
Pasal-pasal
lain yang berkaitan dengan kekuasaan prerogative Presiden juga mengambil
rumusan yang sama dari Konstitusi Meiji, misalnya:
Pasal 5: The President exercises the legislative power with the consent of
the Parliament (Article 5 of the Meiji Constitution)
Pasal 10 : The President is the supreme commander of the Army, Navy
and the Air Force (Article 11 of the Meiji Constitution)
Pasal 12: The President may declare a state of emergency. The
conditions for such a declaration and its effects shall be determined by law
(Article 14 of the Meiji Constitution).
Pasal 14: The President grants pardon, amnesty, commutation of
punishment, rehabilitation (Article 16 of the Meiji Constitution).
Pasal 15: The President confers
ranks, orders and other marks of honour (Article 15 of the Meiji
Constitution).
Penggunaan
Konstitusi Meiji sebagai referensi untuk kewenangan prerogratif Presiden dapat
dipahami dengan beberapa pertimbangan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan
gagasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia sehingga dapat dipahami
jika referensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi pedoman utama. Para perumus
tidak melirik konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya karena tingginya
sentimen anti penjajahan Belanda dan imperialisme, [10] serta tidak melirik Konstitusi dari
Negara-negara Asia karena ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat dipahami.
Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI adalah tentara Jepang[11]
dan sangat mungkin dalam memberikan kontribusinya mereka merujuk pada
Konstitusi yang mereka pahami. Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus telah
mengindikasikan orientasinya terhadap Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon Teikoku (Japan) sehingga
model Jepang menjadi sangat relevan dan menjanjikan.
Pasal 11
ini memang bukan pasal yang menarik perhatian pada masa pembahasan.[12]
Di tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa perang mulainya perang
kemerdekaan, para perumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya perdebatan yang
berlarut-larut tentang pasal ini dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih
kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan di BPUPKI lebih banyak diwarnai
oleh pertentangan padangan ideology antara kelompok Islam yang mendesak
terbentuknya Negara Islam dengan kelompok nasionalis yang menentangnya.[13]
Namun
demikian, patut pula dicatat bahwa penggunaan Konstitusi Meiji sebagai
referensi UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam literatur sejarah
Indonesia. Berbagai catatan dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para mantan
perumus UUD 1945 juga tidak pernah secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji
sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di bidang hak prerogratif Presiden.
Beberapa pertimbangan politik mungkin mendasari adanya kecenderungan untuk
tidak menguak fakta sejarah ini. Pertama, sejak kemerdeaan RI terdapat semangat
nasionalisme yang sangat tinggi yang memotret bahwa Indonesia memperoleh
kemerdekaan melalui usahanya sendiri dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah
ciptaan local yang berakar pada nila filosofis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD 1945 mengambil rujukan
dari konstitusi asing merupakan pandangan yang tabu pada waktu itu dan di
tengah-tengah nasionalisme yang tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akademis
tentang UUD 1945 lebih banyak didominasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945 yang
memuat Pancasila, yang memang secara original
merupakan produk pemikiran asli para pendiri bangsa Indonesia.
Kedua,
sejak masuknya Jepang, para pendiri Negara telah telah terpecah dengan adanya
tawaran Jepang untuk memerdekakan Indonesia dengan terbentuknya BPUPKI.
Beberapa tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain bersikap kooperatif.
Persoalan menjadi sensitif jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia
adalah merupakan “hadiah” dari Jepang sehingga terdapat sentimen trauma jika
ada indikasi yang mengarah pada referensi Jepang. Tuduhan bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah restu Jepang memang akhirnya telah menjadi perdebatan dalam
literature hokum internasional. [14]
Selain itu, Orde Baru juga menempatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang sakral
sehingga tidak dibuka ruang untuk adanya pandangan lain tentang Konstitusi ini
apalagi mengaitkannya dengan konstitusi asing.
Pasal 11
UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini
tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian internasional itu
sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-negara terhadap hukum
internasional[15],
apa lagi Negara-negara yang baru merdeka.[16]
Seperti
halnya Konstitusi Meiji 1889[17],
pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terhadap hukum internasional karena memang masih sangat
asing bagi pendiri Negera. Selain itu, konstitusi-konstitusi negara yang
mengatur tentang hukum internasional pada masa itu masih terbatas dan hanya
didominasi oleh konstitusi negara-negara Barat seperti Weimar
Constitution 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bahkan Belanda sendiri sebagai
Negara kolonial yang seyogianya mempengaruhi para perumus UUD 1945 baru pada pada tahun 1938 mengatur perjanjian
internasional secara rinci[18].
Dengan
demikian pasal 11 UUD 1945 tidak mungkin dapat menjelaskan tentang berbagai
permasalahan yang mengemuka dewasa ini, seperti apa yang dimaksud dengan
perjanjian, membuat perjanjian serta apa bentuk formal dari persetujuan DPR.
Pasal ini jauh dari mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum
perjanjian dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya melahirkan kesulitan
dalam praktik Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada
periode sebelum reformasi sehingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluarkan
kebijakan yang tertuang dalam produk legislasi di luar UUD 1945. Pertama adalah
Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang perjanjian
yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Surat Presiden tersebut maka perjanjian
internasional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
adalah yang mengandung materi sebagai berikut:
1. Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat
mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian
persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan
perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
2. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa
sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri negara.
3. Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan
sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti
masalah kewarganegaraan dan masalah-masalah kehakiman.
Menurut pengamatan penulis, surat ini
dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya pembuatan perjanjian sampai tahun
1960[19] sehingga dinilai tidak praktis dan
membatasi keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional jika
semua perjanjian internasional harus melalui proses persetujuan DPR sesuai
dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit akibat
norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat mensyaratkan persetujuan DPR karena
secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh disahkan kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang. Penulis membayangkan bahwa ketatnya aturan
ini serta pesatnya pembuatan perjanjian pada periode tersebut[20] telah menyulitkan Presiden dalam proses
pembuatan perjanjian internasional dan inilah antara lain yang memicu keluarnya
Surat Presiden tersebut.
Dengan
kriteria ini maka tidak semua perjanjian harus mendapat perstujuan DPR dan oleh
para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive yang terselubung terhadap
pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini tegas mengartikan bahwa semua perjanjian
harus mendapat persetujuan DPR namun oleh Surat tersebut telah diubah menjadi
hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi dari praktik Indonesia
yang dipedomani oleh Surat Presiden 2826 tersebut.
Penetapan kriteria untuk menentukan perjanjian yang harus
mendapat persetujuan DPR bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda telah
menerapkan kriteria ini dan bahkan telah diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD
1950. Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh Konstitusi dan Praktik
Belanda pada periode itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hukum para birokrat
di lingkungan Kabinet dan khususnya Kementerian Luar Negeri.
Persoalannya
adalah, UUD 1945 tidak mengenal pembedaan ini karena memang konstitusi
rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlukan kriteria ini. Kaisar Jepang
berdasarkan Konstitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat perjanjian tanpa
persetujuan Diet, sehingga tidak
perlu membedakan jenis perjanjian. Sisipan kalimat “dengan persetujuan DPR”
pada pasal 11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini menjadi berbeda dengan
Konstitusi Meiji. Akibatnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan untuk menangani
banyaknya perjanjian yang dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk mengatasi
masalah ini, Indonesia melirik pada Konstitusi Belanda yang memang membuat
kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen.
Dalam hal ini, telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan praktik Indonesia,
yaitu menggunakan dasar konstitusional Jepang (Meiji) namun mengembangkannya
dengan menggunakan model Konstitusi Belanda.
Keruwetan
dasar konstitusional ini seharusnya dapat diselesaikan melalui amandemen UUD
1945 yang intensif dilakukan sejak reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul
pada perubahan (amandemen)
ketiga UUD 1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun sayangnya perubahan yang
dilakukan tidak menyentuh akar masalah melainkan kembali berkutat pada masalah
kewenangan Presdien vis a vis DPR. Pada
perubahan ketiga, Pasal 11 mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan ayat
(3), sehingga Pasal ini secara lengkap berbunyi:
(1) Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain
(2). Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut
tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang
Amandemen ini tentunya tidak mengubah
apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian internasional karena hanya
menambah pasal yang menekankan adanya kewenangan DPR untuk memberi persetujuan
terhadap perjanjian lainnya yang dibuat dengan organisasi internasional.
Penambahan pasal ini juga tidak berdampak dalam praktik karena belum satu pun
perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah dibuat dan mendapat persetujuan
DPR. Akibatnya, amandemen ini tidak menyelesaikan permasalahan klasik yang
lahir akibat keterbatasan pengaturan pasal 11 UUD 1945.
Penulis menyarankan agar amandemen UUD
1945 berikutnya, pasal 11 mendapat giliran yang signifikan dan diamandemen
secara proporsional sehingga memberi dasar konstitusional yang kuat bagi
perjanjian yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus mengatur tentang
kewenangan membuat perjanjian, kriteria perjanjian yang harus mendapat
persetujuan DPR, serta kedudukan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia.
Pengujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi sejak 2011
merupakan contoh pahit dari keterbatasan pasal UUD 1945.
[1] Pengamat Hukum
Internasional, Mahasiswa PhD pada Universitas Franfkurt dan sedang menjabat
sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Tulisan ini murni padangan akademis
penulis dan tidah harus merefleksikan posisi resmi Pemerintah RI.
[2] Menurut
penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai
Kepala Negara.
[3] Lihat misalnya Ko Swan Sik, The
Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3.
[5] Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945
(“Preparatory Documents to the Constitution of 1945”), Vol. I, at 291.
[6] Soekarno dalam
pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah
berdasarkan falsafah yang hidup (volkgeist)
dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis yang
telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, 287-298.
[7] English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat
diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02.html. Konstitusi
Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan
pasal 48 Konstitusi Prussian: “the king
shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties
with foreign governments. The latter require for their validity the assent of
the chambers in so far as they are commercial treaties, or impose burdens on
the State, or obligations on the individual subjects”. English text dapat
diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia.
Menurut sejarah, ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan
Konstitusi Meiji, Kaisar jepang harus diberikan
kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah
sebabnya berbeda dengan Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan
persetujuan Diet untuk pembuatan
perjanjian internasional, Beckmann,
George M, The Making of the Meiji
Constitution, University Kansas Press, 1957, 71.
[8] Yamin, op.cit, Vol. I,
784-793.
[9] Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15.
[10] Deener, David R, International
Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law
Review, 1951, 505.
[11] Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of
Indonesia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122.
[12] Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang
hukum namun tidak hukum internasional, Ko Swan Sik, opcit, 4.
[13] Yamin, Muhammad, Vol I, 376-396.
[14] Sastroamidjojo,
Ali and Robert Delson, The Status of the
Republic of Indonesia in International Law,
49 Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia in
International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten von
Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433.
[15] Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan
bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly
dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL
1923, at 234.
[16] Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak
tertarik pada hukum internasional, Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36
Cornell Law Review, 1951, 526.
[17] Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional
sejak 1850. Japan and International Law:
Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International,
2001, 350.
[18] Verzijl, J.H.W. International
Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106.
[19] Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia
telah membuat sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada
saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indonesia telah membuat 36 perjanjian,
angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
[20] Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56
perjanjian internasional dan hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk
mendapatkan persetujuan DPR.
0 comments