Hakim Indonesia tidak lagi ragu menggunakan Hukum Internasional
Hakim
Indonesia tidak lagi ragu menggunakan Hukum Internasional
Berita Antara, 29 Sepember 2013
Pada era pasca reformasi
hukum internasional sudah mulai dipergunakan oleh para hakim Indonesia dalam
memutus perkara dan hal ini tentunya merupakan sinyal yang positif bagi postur
Indonesia di mata internasional, demikian pernyataan Konsul Jenderal RI di
Frankfurt, Damos Dumoli Agusman, di hadapan para pakar hukum internasional
dalam Konferensi Internasional tentang the
Progressive Development in International Law : Theory and Practice di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Jumat 27 September 2013 di Bandung.
Dalam Konferensi yang digelar untuk menandai masa
purnabakti Prof. Dr. Etty R. Agoes ini Damos mengungkapkan
hasil penelitiannya tentang berbagai keputusan pengadilan di Indonesia dan
menemukan banyak yurisprudensi khususnya sejak reformasi dimana para hakim
Indonesia sudah tidak merasa asing lagi dengan aturan hukum internasional
khususnya konvensi-konvensi internasional yang diratifikasi oleh Indonesia.
Aturan konvensi-konvensi ini tidak hanya digunakan sebagai rujukan atau alat
interpretasi semata melainkan juga telah diterapkan sebagaimana layaknya suatu
aturan undang-undang nasional.
Pada era orde baru memang masih terdapat keraguan diantara para hakim untuk memperlakukan
norma-norma konvensi ini setara dengan norma undang-undang dengan alasan
teoritis yaitu kuatnya pengaruh nasionalisme hukum berdasarkan teori dualisme yang
memandang hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum
nasional. Akibatnya, konvensi-konvensi internasional pada masa itu hanya
memiliki kekuatan moral saja sepanjang belum dituangkan dalam undang-undang
nasional, sehingga sering dikesampingkan oleh para hakim sehingga menimbulkan
ketidakpastian dimata para investor asing di Indonesia, demikian ungkap Damos
yang pernah menjabat sebagai Direktur Perjanjian Internasional selama 6 tahun pada Kementerian Luar Negeri ini sebelum menjabat
sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Kalau pun mau menggunakannya paling
masih terbatas hanya untuk memperjelas aturan undang-undang yang sudah ada dan
sama sekali belum diterapkan secara tersendiri yang terlepas dari
undang-undang, lanjut Damos.
Di dalam sesi tanya jawab yang diwarnai dengan pertanyaan kritis para peserta
Konferensi, Damos menguak adanya pengaruh sejarah dan tradisi Belanda yang sejatinya
masih mewarnai sistem hukum Indonesia. Bukti
sejarah dalam literatur hukum Indonesia ternyata memperlihatkan bahwa para pakar hukum Indonesia pada era
kemerdekaan sampai era orde lama didominasi oleh pola pikir monisme Belanda
yang memandang hukum internasional dan hukum nasional sebagai suatu kesatuan
sistem hukum, dan gagasan hukum ini ditekankan kembali oleh begawan hukum
international Professor Mochtar Kusumaatmaja di era orde baru dalam bukunya
Pengantar Hukum Internasional tahun 1975. Sehingga atas dasar teori ini hakim
Indonesia tidak lagi perlu ragu untuk menggunakan hukum internasional, demikian
ungkap Damos yang saat ini akan menyelesaikan program Doktornya di bidang hukum
perjanjian internasional di Geothe University of Frankfurt.
Konferensi internasional yang sarat dengan perdebatan akademis ini juga
diisi dengan berbagai presentasi dari para ahli internasional antara lain pakar
hukum laut Prof. Dr. Etty R. Agoes dan Prof.Hasjim Djalal;
mantan hakim agung Prof. Mieke Komar Kantaatmadja; anggota Komisi Hukum
Internasional PBB, Nugroho Wisnumurti; Prof. Dr. I.B.R. Supancana; Prof. Sumaryo
Suryokusumo; Prof. Daud Silalahi; Prof. Huala Adolf; dan mantan Direktur
Perjanjian Ekososbud Kemlu, Bebeb A.K Djunjunan. Para peserta konferensi sepakat bahwa dalam
dekade ini telah terjadi perkembangan progresif hukum internasional yang hampir
menyentuh semua sendi kehidupan masyarakat dunia yang ditandai dengan semakin
meningkatnya peran perjanjian-perjanjian multilateral yang mengatur issue-issue
global yang menjadi concern bersama. Untuk itu harus ada visi jauh kedepan
tentang sistem hukum nasional agar mampu mengantisipasi dinamika global ini.
****
0 comments