Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI (Kajian Kritis terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN)
Damos Dumoli
Agusman[1]
(Dimuat dalam Buku Peran Hukum dalam Pembangunan di Indonesia, Buku Peringatan Purnabakti Prof. Dr. Etty R. Agoes SH, LL.M, Bandung (2013), hal. 256-268)
Abstract
Ditengah-tengah ketidakjelasan tentang status perjanjian
internasional dalam sistem hukum Indonesia, MK menguji konstitutionalitas
Piagam ASEAN dalam perkara pengujian UU. Amar putusan MK pasti akan menyentuh
perdebatan akademis dewasa ini tentang apa makna UU yang meratifikasi Piagam
ASEAN (UU No. 38/2008), yang hasilnya bahwa
Indonesia menganut teori dualis-transformasi untuk perjanjian internasional. MK
memaknai UU ini sebagai UU yang mentransformasi Piagam ASEAN kedalam UU
Nasional, namun sayangnya secara bersamaan MK menilai bahwa pewadahan
perjanjian dengan UU itu tidak tepat dan menyarankan model ini direvisi.
Keputusan MK belum menjelaskan apa-apa tentang masalah status perjanjian dan
malah menghadirkan ketidakpastian baru karena semua perjanjian dapat di
judicial review.
1. Hubungan Perjanjian Internasional dengan
hukum nasional.
Dua perkembangan pesat dewasa ini
telah membuat sistem Indonesia menggeliat. Pertama adalah perkembangan internal
yaitu reformasi ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan proses
demokratisasi dalam bidang hukum untuk menuju suatu sistem hukum modern, dan
kedua adalah faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran
instrumen asing seperti perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang
sedang bereformasi.
Akibatnya terjadi benturan antara sistem hukum nasional dengan perjanjian
internasional. Sistem hukum yang bereformasi ini telah menekankan aspek
konstitutionalitas sehingga memberi batasan kepada kekuasaan negara terhadap
rakyatnya, dan sekaligus membatasi kekuasaan negara untuk membuat perjanjian
internasional yang selama ini dinikmati sebagai prerogatif Presiden. Konstitusi
telah menjadi tolok ukur dalam penyelengaraan negara dan menjadi basis untuk
menentukan norma apa yang dapat diterima untuk membatasi kebebasan individu.
Kondisi ini semakin rumit dengan
adanya perkembangan eksternal. Selama ini persoalan konstitutionalitas
perjanjian internasional tidak pernah dipersoalkan karena secara konvensional
perjanjian internasional difahami hanya sebagai kontrak antar negara dan nyaris
tidak berhubungan dengan domain hukum nasional. Secara substansi, konon
perjanjian internasional hanya dimengerti sebagai instrumen yang mengatur
hubungan antar negara dan tidak mengatur objek internal negara (Treaty binds on states not in States).
Akibatnya acapkali perjanjian internasional hanya dilihat sebagai urusan
Kementerian Luar Negeri. Saat ini, kedua perkembangan diatas telah semakin
mengintensifkan interaksi dan interplay antara
perjanjian internasional dengan hukum nasional yang ditandai dengan semakin
banyaknya persoalan hukum nasional yang ternyata juga diatur oleh perjanjian
internasional. Tanpa disadari, perjanjian internasional dapat memuat materi
yang mengatur kehidupan individu.
Akibatnya, terjadi benturan antara perjanjian internasional yang agresif
memasuki domain internal dengara dengan hukum nasional yang sedang mengedepankan
konstitusi. Akibatnya, pertanyaan tentang konstitutionalitas perjanjian
internasional telah mulai menguak ke permukaan, dengan kata lain telah muncul resistensi
konstitusional terhadap perjanjian internasional. Resistensi ini ditandai
dengan gugatan judicial review
terhadap Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini menguak banyak
pertanyaan yang memang tidak pernah disediakan oleh sistem hukum Indonesia
selama ini, yaitu apa dan bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian
internasional dalam sistem hukum Indonesia? Dimana letak suatu perjanjian
internasional dalam sistem perundang-undangan Indonesia? Apakah perjanjian
internasional dapat diuji konstitusionalitasnya?
Sayangnya sistem hukum RI belum menyediakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut dan selama ini belum merasa perlu memberikan
karena memang pemahaman umum tentang perjanjian internasional adalah masih
sebatas pada urusan internasional dan jauh dari internal.[2] Ketiadaan jawaban dalam
sistem hukum ini mengakibatkan para pakar hukum hanya dapat melakukan
interpretasi baik yang bersifat restrictive maupun liberal dan melahirkan
banyak versi tafsir tentang kedudukan hukum perjanjian internasional dalam
sistem hukum Indonesia.
Dimanakah kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia?
Pertanyaan ini memperoleh jawaban yang bervariasi di ruang publik Indonesia
baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Pemahaman publik tentang perjanjian
internasional juga masih beragam mulai dari pandangan yang ekstrim yang
bersifat ‘Austian’[3]
yang menganggap perjanjian internasional hanya memiliki kekuatan moral, ke arah
ekstrim sebaliknya yang menganggap perjanjian internasional adalah instrumen
hukum yang dapat mengalahkan norma hukum nasional. Diantara kedua ekstrim itu
terdapat pula pandangan yang memberi bobot hukum terhadap perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, perjanjian yang
telah mengikat Indonesia (a.l. karena Indonesia telah meratifikasi) telah
memiliki kekuatan hukum dalam hukum Indonesia.
Di kalangan pakar hukum Indonesia, persoalan yang lebih teknis-juridis juga
belum disepakati. Apakah berlakunya perjanjian internasional di level
internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di hukum nasional? Pro dan
kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di perdebatan publik antara para
pakar hukum dari berbagai bidang. Tahun 1980’an pakar hukum Indonesia telah
pernah disibukkan dengan kontroversi tentang apakah Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards tahun 1958 yang telah
diratifikasi oleh Indonesia dapat dipakai oleh pengadilan Indonesia yang
diwarnai dengan kasus PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare (NMB)
Tahun 1981.[4]
Setelah itu perdebatan tampak mereda namun kemudian sejak reformasi pertanyaan
yang sama telah muncul kembali. Kementerian Luar Negeri yang paling terkena
dampak akibat ketidakseragaman pemahaman publik tentang perjanjian internasionl
telah berusaha mempertemukan berbagai kelompok pakar dari berbagai disiplin
ilmu hukum tatanegara dan hukum internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion[5],
guna memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan
referensi. Diskusi ini setidak-tidaknya berhasil menginventarisasi berbagai
pemikiran yang hidup dikalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang
status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Dewasa ini, upaya
pemberantasan korupsi oleh KPK telah pula bersentuhan dengan pertanyaan ini dan
melahirkan tema debat baru tentang apakah Konvensi PBB tentang Anti Korupsi
yang telah diratifikasi oleh Indonesia dapat digunakan oleh KPK dalam mendakwa
pelaku korupsi.[6]
Menilik lesson learned dari
negara lain, persoalan ini ternyata harus dihadapi oleh berbagai sistem hukum
dan ciri sistem hukum modern salah satunya adalah memiliki jawaban yang tegas
dan pasti tentang kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasional.
Berbagai teori mencoba menjawab tentang pertanyaan ini. Pertama, teori dualisme
yang memandang hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua sistem hukum
yang terpisah, akibatnya perjanjian internasional harus ditulis ulang dalam
legislasi nasional untuk dapat berlaku di dalam hukum nasional. Menurut teori
ini, perjanjian yang mengikat negara di ranah internasional tidak otomatis
mengikat di ranah hukum nasional. Perjanjian itu harus di ‘transformasi’ ke dalam
hukum nasional dan berubah bentuk menjadi UU. Kedua, teori monisme yang
memandang hukum internasional dan hukum nasional sebagai suatu kesatuan sistem
sehingga perjanjian internasional dapat berlaku kedalam hukum nasional dalam
kualitasnya sebagai norma internasional. Menurut teori ini tidak perlu ada
pemisahan antara berlakunya perjanjian internasional di ranah internasional dan
ranah nasional karena keduanya berada dalam satu sistem. Penegak hukum dapat
menggunakan langsung norma perjanjian dalam wujudnya sebagai norma
internasional. Kedua teori ini hidup dalam pandangan para pakar di Indonesia.
Persoalan menjadi lebih kompleks karena persetujuan DPR terhadap perjanjian
internasional yang hendak diratifikasi oleh Indonesia dituangkan dalam format
Undang-Undang, padahal Pasal 11 UUD 45 tidak mensyaratkan itu. Penggunaan
format UU untuk menjubahi persetujuan DPR telah melahirkan ‘spekulasi’ akademis
tentang makna UU ini yang terkait dengan pola pikir dualisme dan monisme
diatas. Tiga makna telah dilekatkan pada UU ini. Pertama, yang mengartikan
bahwa UU ini adalah UU yang mentransformasikan perjanjian internasional yang
mengubah kualitasnya dari norma internasional menjadi norma nasional
(dualisme). Kedua, yang mengartikan bahwa UU ini hanya persetujuan DPR dan
hanya UU dalam arti formal, serta tidak memiliki kualitas sebagai UU yang
memuat materi perjanjian. Ketiga, yang mengartikan bahwa UU ini hanya
persetujuan DPR dan masih dibutuhkan UU terpisah untuk mentransformasikan
perjanjian tsb. Ketiga makna itu sama-sama hadir dalam praktik di Indonesia dan
menimbulkan fragmentasi dalam memperlakukan perjanjian internasional dalam
hukum nasional.
2. Dalil Hukum MK tentang Status Perjanjian
Internasional
Ditengah-tengah fragmentasi dan ketiadaan doktrin yang baku ini tiba-tiba
MK Indonesia diperhadapkan oleh masalah konstitutionalitas perjanjian
internasional tentang Piagam ASEAN yang diputuskan pada tanggal 26 Februari 2013.[7] Adalah sejumlah LSM yang
mempersoalkan Piagam ASEAN (yang membentuk pasar bebas) sebagai bertentangan
dengan UUD 1945. Pada tgl 5 Mei 2011
mereka mengajukan gugatan ke MK, meminta “judicial review” terhadap UU yang meratifikasinya
yakni UU No. 38/2008. Pasal yang dipersoalkan adalah tentang pasar bebas yang
dimuat dalam Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter yang menyatakan, "Member States shall take all necessary
measures, including the enactment of appropriate domestic legislation, to
effectively implement the provisions of this Charter and to comply with all
obligations of membership"
Dalam gugatan pengujian UU ini MK diharapkan
untuk menjawab pertanyaan mendasar diatas. Untuk itu perlu suatu penelusuran
kritis terhadap keputusan ini untuk menemukan apakah MK telah menyediakan
solusi atau setidak-tidaknya memberi
arah terhadap doktrin yang hendak dianut oleh Indonesia tentang perjanjian
internasional.
Dalam amar putusannya, MK Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN tidak bertentangan dengan UUD. Putusan ini
mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi terhindar dari kemungkinan
pelanggaran kewajiban internasionalnya, namun sampai pada tahap ini amar
putusan itu belum menguak apa-apa bagi para pakar hukum khususnya hukum
internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil putusannya yang penting namun
argumen yang menggiring ke arah putusan
itu, karena argumen ini (sering disebut ratio
decidendi) kelak akan menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional
lainnya.
Apa ratio decidendi yang
dihasilkan oleh MK yang akan berimplikasi pada persoalan status perjanjian
internasional dalam hukum nasional?
Pertama, MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji Piagam
ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah bagian yang tak
terpisahkan dari UU No. 38/2008 yang merupakan objek yang sah untuk diuji oleh
MK.[8] Karena secara formal
Piagam ini adalah UU maka tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat
mengujinya. Argumen ini mengkonstatir salah satu pemikiran dualis yang
berkembang selama ini di Indonesia tentang salah satu makna UU ratifikasi,
yaitu bahwa UU ini memuat materi Piagam ASEAN. Ini berarti, semua perjanjian
internasional yang diratifikasi melalui UU setiap saat dapat diuji oleh MK dan
melahirkan suatu risiko hukum tersendiri karena dengan demikian Indonesia tidak
mungkin dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada negara pihak dalam
perjanjian internasional.
Dari perspektif teori maka MK menafsirkan bahwa UU ini melakukan fungsi
transformasi terhadap Piagam ASEAN kedalam hukum nasional seperti yang
disyaratkan oleh teori dualisme. Namun dari segi historis, pandangan ini agak
baru dan menyangkal pandangan yang hidup sebelumnya khususnya periode awal
kemerdekaan RI. Seperti yang dikemukakan
oleh Prof. Utrecht,[9]
UU semacam ini adalah UU dalam arti formil (Wet
in formele zin). Hal ini tercermin dari penjelasan Utrecht tentang mekanisme
Pasal 11 UUD 1945: yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat
undang-undang formil saja. Kemudian, setelah mendapat persetujuan DPR, Presiden
melakukan pengesahan yang disebut dengan ”ratifikasi”. Pandangan ini telah
diterima secara baku dalam setiap ajaran HTN di Indonesia.
Jurusan yang hendak dituju oleh MK dalam putusan ini agak berseberangan
dengan jurusan yang ditempuh Belanda yang mewariskan sistem hukum Indonesia.
Pengadilan Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen bahwa UU ratifikasi (goedkeuringswet) ini adalah UU yang memuat perjanjian internasional. Dalam kasus
”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation
(1868), Pengadilan menyatakan bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak
bersumber dari Wet yang
mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen ratifikasi antara
kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini menyelesaikan perdebatan
pada waktu itu dan kemudian menjadi politik hukum dalam revisi Konstitusi
Belanda tahun 1953 yang secara tegas menempatkan perjanjian internasional
sebagai tidak identik dengan UU yang meratifikasinya.
MK tidak memberi alasan khusus mengapa bergeser dari pendekatan warisan
Belanda ini, dari yang semula menekankan UU ini dalam arti formal, ke arah UU
biasa atau UU yang dikenal pada umumnya. Kelihatannya, MK tidak menemukan
alasan yang kuat mengapa UU ini harus dikecualikan dari pengertian UU pada
umumnya mengingat baik mekanisme pembentukan UU, maupun pembentuk UU ini tidak
ada bedanya dengan UU lainnya. Selain itu, baik UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional maupun UU No. 12 Tahun 2011 tentang Perundang-undangan
tidak menempatkan UU ratifikasi ini sebagai UU yang perlu mendapat status
khusus seperti dalam praktik Belanda. Sayangnya MK tidak menggali referensi
historis tentang jenis UU ini dan terpaksa terlarut dengan pola pikir baku yang
berkembang kemudian yang tanpa sengaja membuat identik antara UU ratifikasi dan
UU biasa.
Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang perjanjian
internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur masih
diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama perjanjian
internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian internasional dapat
diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian internasional lainnya dapat diuji dan
berpotensi untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis
dan dapat dipahami. MK telah memilih aliran hukum yang menjadi kontroversi
selama ini bahwa UU yang meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU
lainnya dan tidak menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus
dibedakan dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin atau referensi yang
menyatakan sebaliknya.
Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering diperdebatkan
dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya mengemuka dalam perdebatan para
hakim konstitusi. Dua Hakim Konstitusi melalui dissenting opinion[10]
keberatan dengan argumen yang mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada
umumnya. Menurut kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah
Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat
dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah.
Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu peraturan perundangundangan
yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara
langsung ditujukan kapada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh
Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.
Negara berkembang seperti Columbia telah menuntaskan persoalan klasik ini pada
awal abad 20. Hasilnya adalah berseberangan dengan pandangan MK diatas. Duduk
perkaranya sama dengan yang dialami oleh MK dalam kasus Piagam ASEAN ini. UU
No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi Treaty
antara AS dan Columbia tentang pengakuan kedaulatan Panama digugat ke
Pengadilan Columbia karena bertentangan dengan UUD. Pengadilan Columbia tidak
tertarik mengulas tentang apakah benar treaty
ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah Pengadilan
memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914 dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini
adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada umumnya. UU
ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari Columbia untuk mengikatkan
diri terhadap suatu perjanjian dan tidak menjadikan perjanjian itu berkekuatan
mengikat karena masih tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak
lainnya.
Tampaknya terdapat kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi
untuk keluar dari asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian
tidak lain dan tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di
bagian lain MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian
internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau kembali. Namun
sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang agak lain dan terkesan
bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan
hal yang baru dalam praktek Negara-negara.
Belanda, Columbia, Jerman dan banyak Negara lainnya memilih bentuk
formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang
menjadi akar masalah namun bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang
menjadi faktor penentu.
Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis dari
sisi hukum tatanegara namun menjadi tidak logis dalam hukum internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam
ASEAN di Jakarta kedalam UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty kedalam format UU yang memiliki
konsekuensi bahwa negara pihak (negara-negara ASEAN lainnya) harus terikat pada
UU ini. Dalam hal ini MK berpendapat bahwa karena Piagam ASEAN mengambil bentuk
Undang-Undang (yaitu UU No. 38/2008) dan karena UU berlaku sebagai norma hukum,
maka negara Indonesia dan negara lain, dalam hal ini negara ASEAN wajib terikat
secara hukum oleh UU No. 38/2008.[11]
MK sendiri mengakui bahwa konstruksi demikian tidak tepat. Namun persoalan
yang muncul disini adalah apakah argumen yang dibangun untuk mencapai kesimpulan
MK tsb telah tepat menggambarkan tentang apa hakekat UU No. 38/2008. MK tampaknya meyakini bahwa sumber error ini
adalah penggunaan UU sebagai format pengesahan Piagam ASEAN tanpa memperhatikan
bahwa penggunaan format UU sangat lazim oleh negara-negara lain. Kesimpulan MK ini
agak sulit difahami dan tampaknya tidak didukung secara akademis tentang
prinsip umum tentang hubungan hukum internasional. Piagam ASEAN adalah perjanjian internasional
yang pembentukannya dilakukan dalam ranah hukum internasional, sedangkan UU No.
38/2008 adalah produk hukum nasional yang tunduk pada ranah ini. Piagam ASEAN
berlaku bagi negara-negara ASEAN dalam ranah hukum internasional. Dituangkannya
Piagam ASEAN kedalam UU nasionalnya
adalah murni urusan Indonesia dan tidak ada kaitannya dengan negara-negara lain
karena dengan atau tanpa UU ini, tidak akan mempengaruhi kekuatan mengikat
Piagam ASEAN dalam ranah hukum internasional. Dalam hal ini, MK telah
mengkonstruksikan suatu asumsi bahwa perbuatan legislasi Indonesia dapat
mengikat negara-negara lain, suatu konstruksi yang sangat bertentangan dengan
hukum internasional.
Kesulitan MK dalam memahami fungsi UU nasional dalam kerangka perjanjian
internasional sebenarnya dapat dijelaskan melalu teori yang berlaku dalam
hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Dalam hal ini, hukum
internasional dan hukum nasional adalah dua ranah hukum berbeda. Namun dalam teori kedua bidang hukum ini
dapat dilihat sebagai suatu kesatuan sistem (monisme) atau dua sistem yang
terpisah (dualisme). Perjanjian internasional lahir dari ranah hukum
internasional dan bagaimana mengikatnya diatur oleh hukum internasional
(Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional). Namun bagaimana
perjanjian ini mengikat secara internal di hukum negara masing-masing adalah
persoalah HTN nasional. Dalam hal ini,
UU No. 38/2008 adalah persoalan HTN
Indonesia bukan persoalan hukum internasional.
Fungsi UU No. 38/2008 seperti yang dibayangkan oleh MK sebenarnya dapat
dijelaskan melalui doktrin transformasi yang merupakan turunan dari teori
dualisme. Menurut doktrin ini, perjanjian internasional adalah norma hukum
internasional yang mengikat negara sebagai subjek hukum internasional. Perjanjian
ini tidak sendirinya berlaku dalam hukum nasional dan untuk diberlakukan dalam
hukum nasional maka perlu proses transformasi kedalam hukum nasional dengan
menjadikannya UU nasional. Dijadikannya perjanjian sebagai UU nasional sama
sekali tidak mempengaruhi status perjanjian internasional sebagai dokumen yang
mengikat negara di ranah hukum internasional. Teori transformasi menjelaskan
bahwa Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai Treaty mengikat semua negara pihak
dalam tataran hukum internasoinal, sedangkan UU 38/2008 (jika hendak dianggap
sebagai UU transformasi) adalah menjadikan Piagam ASEAN menjadi UU nasional dan
bertujuan hanya untuk mengikat subjek-subjek dalam hukum nasional. Menurut
teori ini, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU 38/2008 adalah murni urusan
hukum nasional dan tidak ada sangkut pautnya dengan status Piagam sebagai
treaty menurut hukum internasional. Artinya sekalipun Piagam ASEAN telah
menjadi UU Nasional, statusnya sebagai perjanjian internasional tidak berubah dan tetap mengikat negara pihak
lainnya sebagai subjek hukum internasional.
Namun terlepas dari itu, dilema yang timbul akibat dituangkannya Piagam ASEAN kedalam UU, telah mendorong MK untuk menyarankan agar
pilihan bentuk UU untuk Perjanjian Internasional ditinjau kembali. Dengan saran
ini terdapat MK mengindikasikan bahwa seyogianya perjanjian internasional tidak
dapat diuji oleh MK. Namun dapat-tidaknya perjanjian internasional diuji oleh
pengadilan nasional hanya dapat dijawab jika
politik hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional
sudah ditetapkan. Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak
menyediakan politik hukum ini. MK berusaha mengisi sebagian kekosongan
konstitutional ini melaui saran tsb. Menurut penulis, saran MK ini harus
ditindaklanjuti dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini
adalah materi Konstitusi.
3. Konsekuensi Juridis dari Keputusan MK
Jika perjanjian internasional dapat di judicial
review oleh MK maka dalam hal MK menyatakan perjanjian tsb bertentangan
dengan UUD 45, bagaimana nasib kewajiban internasional Indonesia terhadap
negara pihak lainnya? Terhadap pertanyaan ini MK mengeluarkan dalil yang
tampkanya sangat cekak dengan prinsip hukum internasional yang belaku umum.
Menurut MK:
‘Sekalipun Indonesia telah terikat dalam suatu perjanjian
internasional, namun sebagai sebuah negara yang berdaulat Negara Indonesia
tetap mempunyai hak secara mandiri (unilateral) untuk menarik diri dari
perjanjian itu.’ Selanjutnya MK mengatakan bahwa hal ini dimungkinkan
dengan ketentuan Pasal 18 huruf h
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
menyatakan, “Perjanjian internasional berakhir apabila: ... h. terdapat hal-hal
yang merugikan kepentingan nasional”.[12]
Doktrin kedaulatan Negara ini sangat dikenal dalam politik internasional
dan pernah berkembang pada periode awal abad ke 20 dalam hukum internasional
yang dikenal dengan doktrin primat hukum nasional atas hukum internasional.
Namun sayangnya doktrin kedaulatan absolut ini sudah dikikis oleh hukum
internasional yang berlaku dewasa ini. Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian
internasional telah mengatur secara ketat bagaimana suatu Negara dapat menarik
diri dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka ruang bagi tindakan
unilateral penarikan diri sepanjang tindakan itu disetejui oleh para pihak
perjanjian. Selain itu, Konvensi ini melarang Negara mengingkari perjanjian
dengan menggunakan tameng hukum nasionalnya. Indonesia pernah melakukan tindakan
unilateral ini pada saat menarik diri secara sepihak dari kenggotaan PBB pada
tahun 1965 namun hukum internasional tidak pernah mengakui sebagai penarikan
diri yang sah, karena Piagam PBB tidak membuka ruang bagi penarikan diri
sepihak. Seorang pakar hukum, Egon Schwelb, menyebut penarikan diri Indonesia
ini sebagai ‘the Indonesian Intermezzo’. [13]
Terlebih lagi, prinsip seperti yang dimaksud MK ini jelas tidak bisa lagi
diterapkan. Indonesia tidak mungkin membatalkan sepihak perjanjian
perbatasannya dengan Negara tetangga dengan dalih kepentingan nasional.
Sebaliknya, Indonesia tidak mengharapkan Negara tetangga membatalkan perjanjian
batas yang telah ada selama ini karena akan berpotensi pada konflik antar
Negara. Bahkan, menurut Konvensi Wina, ‘perubahan fundamental’ pun tidak dapat
dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian perbatasan.[14]
Dalil MK ini akan membuka boks pandora tentang perjanjian-perjanjian
perbatasan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU karena secara
konstitutional dapat dianulir oleh MK dan akan melahirkan wanprestasi di ranah
hukum internasional. Situasi ini akan menggiring Indonesia ke dilema hukum,
yaitu pentaatan terhadap hukum nasional akan melahirkan pelanggaran terhadap
hukum internasional dan sebaliknya pentaatan terhadap perjanjian mengakibatkan
pelanggaran konstitusi. Dilema ini semakin sulit dalam konteks konstitusi
karena Konvensi Wina 1969 telah terang-benderang melarang negara untuk
berlindung dibalik hukum nasionalnya untuk tidak menaati perjanjian internasional.[15]
Negara-negara pada umumnya menghindari adanya judicial review terhadap perjanjian internasional mengingat adanya
aspek hukum international pada setiap perjanjian ini. Alasan tradisional yang
menghalangi negara untuk judical review
ini adalah karena pengadilan nasional tidak mungkin menguji produk hukum
internasional. Sekalipun negara mengharuskan adanya mekanisme pengujian
perjanjian ini dengan alasan legitimasi konstitusional, pengujian ini dilakukan
bukan terhadap perjanjian internasional namun terhadap UU yang
mentransformasinya. Penganuliran oleh Peradilan terhadap UU transformasi ini
tidak mengakibatkan perjanjian itu dianulir dalam ranah hukum internasional
karena terdapat mekanisme hukum internasional untuk maksud itu. Sekalipun yang
diuji adalah UU Transformasinya, negara tetap memperhatikan kepentingan internasional
dan bukan sebaliknya. Jerman misalnya, mengakui mekanisme judicial review terhadap UU yang meratifikasi setelah UU
dikeluarkan dan harus sebelum perjanjian itu berlaku di ranah hukum
internasional.
4. Kesimpulan
Dari kajian atas keputusan MK diatas maka dapat disimpulkan bahwa MK masih
belum memperjelas status perjanjian internasional dalam hukum nasional
Indonesia. MK telah menetapkan bahwa UU No. 38/2008 adalah UU yang mentransformasikan
Piagam ASEAN kedalam hukum nasional,
namun kemudian menilainya tidak tepat dan menyarankan agar mempertimbangkan
untuk menghapus pemakaian UU untuk suatu persetujuan DPR terhadap perjanjian.
Di lain pihak, jika format UU itu dihapuskan, MK tidak mengindikasikan apa-apa tentang apa
konsekuensi selanjutnya jika perjanjian internasional telah mengikat. Apakah
dapat berlaku langsung (monisme) atau masih dibutuhkan UU transformasi yang
terpisah untuk memberlakukannya dalam hukum nasional (dualisme). Dalam kasus
ini publik sebenarnya menantikan MK untuk memperjelas aliran hukum Indonesia
tentang status perjanjian namun ternyata MK hanya membuat ‘janin’ aliran hukum
itu secara sesaat namun tidak mengharapkan kelahirannya. Akademisi harus
bersabar untuk menunggu jurisprudensi berikutnya.
Sebaliknya Keputusan MK telah melahirkan risiko hukum baru mengenai
stabilitas perjanjian internasional oleh Indonesia. Terbukanya dasar hukum
untuk menguji semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan UU oleh MK telah membuka boks pandora. Sewaktu-waktu dapat saja MK
menganulir berlakunya perjanjian internasional yang pada akhirnya dapat
mencederai kredibilitas Indonesia di mata negara pihak lainnya. Keputusan ini
justru menimbulkan ketidakpastian hukum baru bagi status perjanjian internasional
di dalam hukum nasional ketimbang memperjelasnya.
****
[1]
Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar
Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt.
Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
[2] Diskusi tentang persoalan status perjanjian
internasional dalam hukum nasional telah dibahas penulis dalam buku “Hukum
Perjanjian Internasional: Kajian Kritis Praktek dan Teori di Indonesia, Refika,
Bandung, 2010.
[3] John Austin adalah pakar Inggris yang mengatakan
bahwa ‘International Law is not a real Law, but a positive International
Morality’, John Austin, “The Province of Jurisprudence Determined”, 127 (Hart Ed. 1954).
[4] MA, PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare
(NMB), No. 2944 K/Pdt/1983.
Perdebatan ini dapat dilihat pada M. Yahya Harahap, Arbitrase (2006), 19; Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional (1986), 72; T.M. Radhie, Konvensi New York tentang Pengakuan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, Jakarta (1990), 24.
[5] Sejak tahun 2006, Kementerian Luar Negeri
menggelar rangkaian Focussed Group
Discussion yang dihadiri oleh pakar hukum tata negara dan hukum
internasional guna membahas tentang status perjanjian internasional dalam
system hukum nasional, yaitu di FH Universitas Andalas (1 Juli 2006), FH UI (
11 Desember 2007), FH Unair (18-19 Oktober 2008), dan FH Unpad (29 November
2008).
[6] Lihat pandangan Prof. Romly Atmasasmia, “Aplikasi
UNCAC ke sistem hukum pidana nasional”, Koran Sindo, 14 Juni 2013.
http://nasional.sindonews.com/read/2013/06/14/18/749740/aplikasi-uncac-ke-sistem-hukum-pidana-nasional
[7] MK, Nomor 33/PUU-IX/2011.
[8] Para 3.4, MK, Nomor 33/PUU-IX/2011.
[9] Utrecht, E/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar
Baru, Jakarta, dicetak kembali tahun 1983, 120.
[10] Hakim Konstitusi Hamdan Zoleva dan Maria Farida
Indrati.
[11] Para 2.23.
[12] Para 3. 18.
[13] Egon Schwelb, ‘Withdrawal from the United
Nations: the Indonesian Intermezzo’, 61 AJIL (1967), 661-672; Penarikan diri
Indonesia dari PBB oleh Sekjen PBB diistilahkan dengan ‘suspension’ dan sejak
1966 Indonesia kembali beraktivitas di PBB namun tetap wajib membayar
kontribusi selama ‘keluar’ dari PBB, Mochtar Kusumaatmadja, ‘Pengantar Hukum
Internasional’, 89-99.
[14] Pasal 62 (2) Konvensi Wina 1969 tentang
Perjanjian Internasional.
[15]
Pasal 27 Konvensi Wina 1969.
0 comments