IMUNITAS DIPLOMATIK VERSUS HUBUNGAN TENAGA KERJA Perkembangan Hukum di Indonesia tentang Kekebalan Diplomatik
Publised in Antaranews: 5 January 2014
Damos Dumoli Agusman[1]
http://perjanjian-internasional.blogspot.com/
Pengadilan Indonesia mulai bersentuhan dengan issue-issue
kekebalan diplomatik dan konsuler. Pada tahun 2013 tercatat dua perkara di
pengadilan Indonesia yang dilansir di ruang publik yang berkaitan dengan
kekebalan diplomatik. Pertama, putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Jakarta dalam perkara Kedubes Brazil di Jakarta,[2] dan kedua putusan Mahkamah
Agung dalam perkara Konsulat AS di Medan.[3] Kedua perkara ini memiliki
karakter yang sama yaitu perihal hubungan kerja antara pemberi kerja yaitu
Kedubes Brazil dan Konsulat AS dengan para pegawainya. Kedua pegawai ini
sama-sama di PHK dan mengajukan gugatan terkait dengan masalah pesangon, dan
kedua-duanya sama-sama memenangkan perkara. Karena para pihak dalam perkara
adalah lembaga diplomatik dan konsuler yang diatur oleh hukum internasional
(hukum diplomatik dan konsuler) maka pertanyaan klasik yang selalu muncul dalam
perkara yang sama di berbagai negara adalah apakah hubungan kerja antara
lembaga diplomatik/konsuler asing ini tunduk pada hukum perburuhan negara
setempat?
Jurisprudensi di negara-negara maju tentang perkara
hubungan ketenagakerjaan yang melibatkan Kedutaan dan Konsulat sudah berkembang
pesat. Kedutaan Indonesia sendiri telah pernah mengalami perkara sejenis ini di
pengadilan Portugal dan Italia. Negara-negara Eropa, seiring dengan menguatnya
gerakan buruh dan penghormatan terhadap HAM, telah lama meninggalkan pendekatan
imunitas absoulut (absolute immunity)
terhadap lembaga diplomatik dan bergeser kepada pendekatan imunitas terbatas (restricted immunity). Artinya, kekebalan
Kedutaan atau Konsulat sebagai institusi publik berbeda dengan kekebalan yang
dinikmati oleh Diplomat atau Konsul seperti yang diatur oleh Konvensi Wina
1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler.
Terhadap Kedutaan dan Konsulat, negara-negara Eropa cenderung memperlakukannya
seperti layaknya badan-badan usaha lainnya sehingga dalam kondisi tertentu
tidak dapat menikmati kekebalan. Kondisi-kondisi yang diterapkan juga
bervariasi tergantung dari sisteh hukum negara masing-masing. Menurut Pengadilan
Eropa dalam perkara Supir Kedubes Alger di Berlin 19 Juli 2012, Kedutaan besar
sebagai pemberi kerja harus dianggap sebagai badan usaha (estalbishment) jika memperkerjakan seseorang sepanjang jenis
pekerjaannya bukan menyangkut fungsi publik (exercise public powers).[4] Di negara-negara lain,
seperti Austria hukum perburuhan setempat tidak berlaku jika hubungan kerja
dilakukan oleh Diplomat dengan seseorang yang bukan warga negara atau pemilik
ijin tetap dari negara setempat. Kondisi-kondisi ini memang telah diakui dalam
hukum internasional. Singkatnya, jursiprudensi di negara-negara Eropa
menetapkan secara jelas kondisi-kondisi yang mengakibatkan lembaga perwakilan
asing tidak dapat menyandarkan pada kekebalan diplomatiknya, dan semua putusan
itu diselaraskan dengan norma-norma pembatas yang disediakan oleh hukum
internasional.
Bagaimana dengan jurisprudensi di Indonesia?. Kedua putusan peradilan
Indonesia diatas merupakan kasus landmark
yang bakal mewarnai sikap pengadilan Indonesia terhadap status
Kedutaan/Konsulat asing sebagai pemberi kerja. Dalam kasus Kedubes Brazil,
majelis hakim di satu pihak mengakui bahwa Kedubes Brazil memiliki kekebalan
diplomatik. Namun dipihak lain majelis merujuk pada perjanjian kerja yang
disepakati oleh si pegawai dan Kedubes Brazil, yang pada intinya telah
menyepakati berlakunya hukum Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini maka hakim
menyimpulkan bahwa Pengadilan berwenang mengadilinya. Persoalan utama dalam
amar putsan hakim ini bukan tentang hasil akhirnya yakni bahwa pengadilan
memiliki kompetensi namun terletak pada argumen yang menggiring kepada hasil
akhir itu. Hakim tampaknya menghadapi dilema untuk merekonsialiasi tentang
persoalan kekebalan diplomatik dan kewenangan pengadilan sehingga mengakui
secara bersamaan kekebalan diplomatik Kedubes dengan kewenangannya mengadili
perkara. Konstruksi ini contradictio in
termines (bertentangan dengan sendirinya) karena bagaimana mungkin
pengadilan mengklaim kewenangannya terhadap pihak yang diakui kekebalanannya.
Jika mengikuti alur pikiran para hakim, seyogianya konstruksi hukum yang lebih
tepat adalah bahwa perjanjian kerja para pihak secara hukum telah menghilangkan
(overruled) kekebalan diplomatiknya.
Namun konstruksi ini juga masih lemah, karena melahirkan pertanyaan lain dalam
hukum diplomatik apakah perbuatan perdata secara otomatis dapat menghilangkan
kekebalan diplomatik.
Perkara Konsulat AS di Medan juga menghadapi karakter
permasalahan yang sama. Pertanyaan hukum yang lahir adalah apakah Konsulat AS
memiliki kekebalan dalam perkara ini. Konsulat AS membangun dalil hukum bahwa pemberi kerja adalah sebagai Pejabat
Fungsi Konsuler, dalam menjalankan tugasnya tidak tunduk pada yurisdiksi hukum
maupun administratif Indonesia. Dalam hal ini AS c.q. Konsulat AS di Medan
tidak mempunyai personalitas hukum yang terpisah dari Negara Amerika Serikat
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pihak Tergugat. Terhadap dalil ini,
Mahkamah Agung berpendapat bahwa oleh karena gugatan a quo adalah mengenai
pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat, yang terjadi di dalam
wilayah hukum Indonesia, maka demi hukum, yang harus diberlakukan adalah hukum
Indonesia i.c. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Mahkamah bahwa pihaknya berwenang untuk
mengadili perkara Konsulat AS itu sendiri tidaklah kontroversial karena banyak
pengadilan negara-negara lain juga mengambil kesimpulan ini. Namun argumen yang
mendasarinya tampaknya tidak berakar pada hukum internasional. Argumen yang
dibangun oleh Mahkamah kelihatannya sangat meloncat dan bersifat sapu jagat (sweeping argument). Mahkamah tidak
merasa perlu mempersoalkan tentang karakteristik para pihak (dalam hal ini
Konsulat) serta karateristik hubungan kerjanya (apakah berfungsi publik atau
perdata) namun langsung menciptakan dalil bahwa sepanjang hubungan kerja itu
terjadi di wilayah Indonesia maka yang diberlakuan adalah UU No. 14 Tahun 2003.
Dalil ini akan bertentangan dengan hukum internasional khususnya Konvensi Wina
1961/1963 tentang hubungan Diplomatik/Konsuler karena tidak semua hubungan kerja
yang terjadi di wilayah suatu negara tunduk pada hukum negara itu. Hukum
internasional telah mengatur bahwa jika hubungan itu bersifat publik (exercise of government authority) dan/atau
pemberi kerja memiliki kekebalan diplomatik maka hukum nasional setempat tidak
dapat diberlakukan.[5] Seyogianya, hakim mendasarkan pada dalil a.l.
bahwa hubungan kerja antara Konsulat AS dan pegawainya adalah hubungan perdata
biasa yang tidak bersifat publik sehingga oleh hukum internasional tidak
diberikan atribut imunitas.
Terlepas dari kelemahan argumen yang mendasari putusan
kedua pengadilan diatas, kecenderungan untuk memberlakukan imunitas terbatas kepada
Kedubes dan Konsulat asing patut disambut baik. Kedutaan dan Konsulat dalam
perkembangan dewasa ini memang tidak lagi dapat menikmati kekebalan yang
mutlak. Namun demikian dalil hukum yang dibangun dalam jurisprudensi ini
hendaknya memperhatikan pula pembatasan-pembatasan norma yang memang telah
disediakan oleh hukum internasional yang mengikat semua negara. Untuk itu
norma-norma hukum internasional yang terkait dengan kekebalan diplomatik serta
pengecualian-pengecualiannya perlu di diseminasi di kalangan pakar hukum di
Indonesia sehingga keputusan peradian Indonesia terhadap perkara-perkara yang
sama, yang frekuensinya akan semakin meningkat di masa yang akan datang, dapat
selaras dengan standar yang diakui oleh masyarakat internasional.
***
[1]
Penulis adalah mantan Direktur
Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas
sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt dan sedang menyelesaikan studi S3 di
bidang hukum inernasional di Goethe University of Frankfurt. Artikel ini murni
pandangan akademis penulis.
[2]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51223fc28ac1c/kedubes-brazil-dihukum-membayar-pesangon
[3]
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d7f54b4166de7e5718d20350d5c6c494
[4]
http://curia.europa.eu/jcms/upload/docs/application/pdf/2012-07/cp120103en.pdf
[5]
Lihat pasal 11 United Nations Convention
on Jurisdictional Immunities of States and Their Property, 2004, https://treaties.un.org/doc/source/RecentTexts/English_3_13.pdf
0 comments