Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Kompas, 29 April 2015

Peringatan Konferensi Asia Afrika pekan lalu lebih banyak dimaknai sebagai fenomena hubungan dan politik internasional. Kontribusinya dalam melahirkan norma baru hukum internasional jarang terkuak; kalau pun ada, masih terbatas di kalangan komunitas akademis pemerhati hukum ini.
Kota Bandung telah melahirkan embrio beberapa norma hukum internasional yang dewasa ini dinikmati hampir seluruh negara berkembang. Sebelum Konferensi Asia Afrika (KAA), norma hukum internasional adalah produk Barat. Kumpulan norma hukum ini sudah lahir sebelum negara-negara berkembang lahir dan langsung mengikat sejak kelahiran mereka.
Norma utama yang lahir dari kota ini adalah ”dekolonisasi” dan hak penentuan nasib sendiri oleh rakyat di bawah pemerintahan kolonial. Sejak KAA, kolonialisme yang pada periode itu masih halal telah berubah secara drastis menjadi haram. KAA telah berhasil mengkriminalkan kolonialisme yang diciptakan kolonial Barat.
Dekolonisasi adalah norma baru karena Piagam PBB sendiri tidak pernah mengharamkannya. Dalam Paragraf D (a) Komunike Akhir KAA, ke-25 negara secara lantang untuk kali pertama menyebut kolonialisme dengan semua manifestasinya sebagai ”iblis” yang perlu dihentikan. Kriminalisasi terhadap kolonialisme ini akhirnya memicu kemerdekaan berbagai negara belahan Asia dan Afrika. Lahirnya norma dekolonisasi baru ini sangat unik.
Biasanya lahirnya norma-norma hukum internasional harus melalui proses yang lama serta membutuhkan persetujuan dari negara-negara. Namun, norma dekolonisasi ini lahir dan langsung mendapat pengakuan internasional secara serta-merta tanpa harus disetujui oleh negara-negara kolonial itu sendiri. Ini disebut ius cogens, yaitu norma hukum yang bersifat fundamental yang eksistensinya tidak dapat dikesampingkan oleh norma-norma hukum lainnya. Contoh jenis norma ini adalah larangan perbudakan dan penyiksaan yang, terhadap norma ini, tidak mungkin dilakukan asas pengecualian.
Tak dapat diabaikan
Fakta bahwa negara-negara baru dapat melahirkan suatu ius cogens adalah fenomena sejarah yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan hukum internasional. Sejak itu PBB mulai merujuk pada norma dekolonisasi ini dan akhirnya dituangkan dalam berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) yang dimulai dengan Deklarasi tentang Dekolonisasi 1960.
Lahirnya suatu norma yang sifatnya melawan dunia Barat pada saat itu sangat mustahil. Dunia yang dibalut dengan Perang Dingin antara Timur dan Barat akan sulit menerima norma apa pun baiknya jika sifatnya tidak netral dan menyerang salah satu kubu, dalam hal ini Barat. Pada 1955 dunia Barat-lah yang masih dominan mempraktikkan kolonialisme karena sebagian besar negara-negara Afrika masih berada dalam jajahannya. Pada era ini definisi penentuan nasib sendiri selalu diartikan kemerdekaan dari penjajahan Eropa.
Uni Soviet, yang sekalipun mendominasi negara-negara Eropa Timur, masih jauh dari kesan kolonial ini. Akibatnya, para perumus dihantui oleh kekhawatiran adanya pemihakan pada kubu Uni Soviet, terlebih lagi Tiongkok adalah juga peserta KAA. Namun, berkat kepiawaian para pemimpin negara-negara KAA, dilema ini dapat diatasi. Rumusan yang disepakati adalah kolonialisme dalam segala bentuknya sehingga tidak terbatas pada kolonialisme Barat saja, tetapi juga dalam bentuk manifestasi yang lain. Berkat arahan bijak dari para pemimpin KAA ini pula, rumusan ini disepakati secara bulat tanpa resistensi.
KAA juga melahirkan prinsip norma HAM baru, yaitu antirasialisme dan antidiskriminasi. Memang sebelumnya sudah ada Deklarasi Universal PBB tentang HAM pada 1946 yang digagas Eleanor Roosevelt.Deklarasi ini adalah konstruksi setelah PD II yang diwarnai trauma kekejaman Nazi. Karena deklarasi ini adalah produk politik menang perang, gaungnya tidak berlanjut dan ini terbukti dengan sulitnya PBB menyepakati suatu instrumen hukum HAM untuk menjadikannya norma mengikat.
KAA tampil dengan perumusan prinsip norma yang lebih tegas soal antirasialisme dan antidiskriminasi ini. Namun, berbeda dengan Deklarasi Universal HAM PBB, rumusan prinsip KAA ini dikawal secara besar-besaran oleh negara-negara dunia ketiga di forum PBB. Sesudah KAA, negara-negara baru yang lahir akibat KAA menyatu dengan negara-negara berkembang lainnya dan membentuk kelompok negara ketiga. Kelompok ini dengan semangat Bandung sangat kompak dan solider sehingga pengaruhnya yang besar akhirnya mampu membawa prinsip norma ini ke dalam instrumen hukum HAM yang ditandai dengan lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik oleh PBB pada 1966.
Tak hanya itu, prinsip norma KAA ini juga bergaung dan memicu perdebatan di Amerika Serikat. Pada periode ini AS masih menganut kebijakan diskriminasi sampai akhirnya dikeluarkan UU tentang Hak-hak Sipil 1964 menyusul rangkaian demonstrasi rakyat AS ras Afrika yang dimotori Martin Luther King Yunior. Tanpa disadari, hasil KAA telah menjadi soft power untuk mentransformasi negara-negara lain tanpa tersandera Perang Dingin.
Peringatan Ke-60 KAA pekan lalu semakin mengingatkan kita: Bandung bukan hanya kota KAA, melainkan kota di mana benih hukum internasional disemai.
DAMOS AGUSMAN
Pemerhati dan Pengajar Hukum Internasional, Lulusan S-3 Goethe University of Frankfurt
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
KOMPASIAN, 17 APRIL 2015


Hukuman Mati antara WNA di Indonesia dan WNI di Luar Negeri: Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik?

OPINI | 17 April 2015 | 13:02 Dibaca: 76    Komentar: 2    1

Indonesia sedang mengalami suatu situasi yang unik dan tidak pernah terjadi selama ini,  yaitu secara bersamaan menghadapi persoalan yang timbal balik. Indonesia sudah dan sedang melakukan eksekusi mati terhadap warga negara asing, namun secara bersamaan sedang menghadapi persoalan yang sama atas WNI di luar negeri. Kedua situasi ini sangat diametrikal tapi membuahkan pembelajaran publik.

Indonesia sedang mempersiapkan eksekusi hukuman mati terhadap beberapa warga asing. Kloter lain bakal menyusul. Sedangkan di luar negeri, dua WNI yaitu Siti Zainab dan Karni Tarsim, baru saja menjalani eksekusi hukuman pancung. Ratusan WNI lain juga bakal menyusul.

Masih ingat hiruk pikuk pasca eksekusi oleh Saudi Arabia terhadap Ruyati tahun 2011?  Reaksi publik Indonesia sangat gaduh dan “menyeramkan”. Tidak hanya pemerintah Saudi, pemerintah Indoesia juga habis jadi bulan-bulan kecaman publik. Terjadi kehebohan politik, ada saling tuding-menuding antar berbagai pihak yang terkait. Komisi I DPR mempersoalkan kinerja Diplomasi Menlu RI yang dianggap gagal menyelematkan Ruyati. Di berbagai media dengan diskusi publiknya, terjadi kecaman keras terhadap Saudi yang mempersoalkan semua hal, mulai dari majikan yang zholim, hukumnya yang jelek dan tidak adil, sampai ke soal mentalitas hukum di Saudi. Kecaman ini kemudian bermuara pada desakan keras kepada Pemerintah Indonesia agar bersikap keras se kerasnya kepada Saudi, dan kalau perlu, ibarat kata,  “menculik’ majikannya untuk diadili di Indonesia.

Terlepas dari issue politisasi kasus Ruyati, yang selalu akan mungkin di negara demokrasi seperti Indonesia, reaksi publik ini agak anomali jika tidak dibilang berlebihan. Ada yang salah dan keliru dalam pola pikir publik jika terkait dengan persoalan penegakan hukum terhadap WNI di luar negeri. Reaksi ini tidak hanya emosional namun cenderung euphoria yang tidak rasional.

Kekeliruan pertama, adanya kesan publik bahwa Indonesia memiliki kedaulatan di negara lain. Telah diasumsikan secara tidak sengaja bahwa negara lain itu adalah “bagian dari Provinsi Indonesia”. Kesan ini terlihat karena desakan publik cenderungmenempatkan negara ini di wilayah jursidiksi Indonesia, misalnya, “Indonesia harus menangkap dan mengadil Majikan”, “Pemerintah Indonesia harus mendesak Saudi Arabia membebaskan Ruyati”, atau “seret majikan ke Mahkamah Internasional”, dan seterusnya. Intinya, publik mendesak agar Indonesia melakukan penegakan hukum di negara lain.

Euphoria ini jelas tidak rasional. Aturan internasional jelas bahwa penegakan hukum suatu negara harus berhenti pada saat persitiwa itu melintasi batas negara. Negara dilarang untuk menegakkan hukum di wilayah negara lain. Negara yang melakukan penegakan hukum di negara lain intervensi dan melanggar kedaulatan negara lain. Sebenarnya, publik Indonesia faham betul soal ini, karena mereka pasti murka jika negara lain mencampuri hukum Indonesia. Namun sayangnya, pemahaman ini hanya satu arah yaitu jika yang jadi korban internvensi adalah negara Indonesia. Tapi tiba-tiba menjadi gagal faham manakala yang jadi korban adalah negara lain dan pelaku intervensi itu adalah Indonesia sendiri.

Akibatnya, sering terjadi inkonsistensi dengan reaksi publik Indonesia. Jika asing berekasi terhadap penegakan hukum di Indonesia, maka negara tsb akan segera dituding “mencampuri kedaulatan hukum” Indonesia dan publik Indonesia akan terusik. Namun dalam persoalan yang sama, jika publik Indonesia berekasi terhadap penegakan hukum di negara lain terhadap WNI, akan diklaim sebagai upaya “menjaga harkat bangsa”. Akibatnya menjadi sangat anomali, karena terhadap situasi yang sama, “mencampuri kedaulatan hukum” dan “menjaga harkat bangsa” menjadi sinonim.

Tanpa disadari, kita justru penganut fanatik terhadap prinsip kedaulatan ini sehingga pernah marah kepada Australia karena mencoba mencampuri kasus Corby di Bali beberapa tahun silam. Kita pernah murka kalau AS atau Negara yang warganya jadi korban mencoba melindungi WN-nya waktu kasus Bom di Mariott beberapa tahun yang lalu. Kita bahkan murka manakala Australia dan Brazilia mencoba mencampuri penegakan hukum di Indonesia terkait dengan eksekusi mati warganya. Namun dengan logika yang terbalik kita justru ingin Pemerintah RI melakukan “intervensi” terhadap kedaulatan Negara lain.

Terus, apa yang dapat dilakukan oleh suatu Negara terhadap warganya yang mengalami peristiwa tragis di luar negeri seperti kasus Siti Zainab dan Karni Tarsim ini? Tentu saja Pemerintah memiliki ruang untuk melakukan langkah perlindungan namun upaya itu tidak sama dengan dan tidak mungkin seleluasa seperti yang dilakukan oleh Pemerintah RI terhadap WNI di wilayah Indonesia.

Hukum internasional punya aturan perihal ini. Jika tidak, maka akan muncul pertikaian antar negara. Upaya yang tersisa bagi Pemerintah dalam situasi seperti ini hanya pada apa yang disebut perlindungan konsuler. Perlindungan penegakan hukum tidak lagi dimungkinkan karena penegakan hukum merupakan wewenang dan kedaulatan negara penerima.

Apa itu perlindungan konsuler? Masalah ini memang tidak terlalu tersosialisasi di publik Indonesia. Perlindungan konsuler adalah intervensi suatu negara terhadap negara lain yang diizinkan oleh hukum internasional dengan tetap menghormati kedaulatan negara itu. Perlindungan konsuler hanya terbatas pada upaya “to ensure that its nationals are treated with due process in receiving state”.

Artinya, Kemlu dan KBRI di Ryad hanya berwenang untuk memastikan bahwa kasus kasus Siti Zainab dan Karni Tarsim mendapat perlindungan hukum Saudi Arabia (bukan Indonesia) dan diperlakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Saudi Arabia (bukan di Indonesia). Hak-hak hukum mereka harus terpenuhi mulai dari penyelidikan sampai ke eksekusi matinya.

Kemlu dan KBRI tentu tidak bisa mencampuri proses hukum ini karena itu akan melanggar kedaulatan Saudi Arabia. Jadi tugas Kemlu dan KBRI adalah pendampingan konsuler dan bisa memiliki peran sepanjang hukum Saudi mengijinkannya, misalnya, membantu bernegosiasi dengan pihak keluarga korban.
Perlindungan konsuler ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sampai tuntas, mulai dari tahap awal sampai tahap eksekusi. Hanya memang ada persoalan prosedur yang tidak dipenuhi oleh Saudi, yaitu tidak adanya notifikasi tentang eksekusi ini. Untuk kelalaian ini Indonesia pun melakukan protes diplomatik. Protes ini merupakan bagian dari perlindungan konsuler, karena Indonesia memprotes Saudi atas nama dan untuk kepentingan hak-hak terpidana.

Bertubi-tubinya protes Australia dan Brazil terhadap eksekusi mati warganya oleh Indonesia telah membelalakkan mata publik. Bangsa Indonesia tidak sudi penegakan hukumnya diobok-obok oleh negara lain. Muncul resistensi publik yang semakin mengeras dan mengecam kedua negara ini. Pengalaman diobok-obok ini membuat publik semakin hati-hati dalam menyikapi persoalan yang sama yang terkait dengan penegakan hukum di negara lain. Makanya, pada waktu Siti Zainab dan Karni dihukum pancung, reaksi publik kita tidak segaduh dulu. Publik mulai cerdas menghormati penegakan hukum negara lain. Seperti tertera dalam Alkitab umat Kristen: “jangan lakukan terhadap orang lain sesuatu yang kau tidak suka jika orang lain melakukan itu terhadap mu”.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
ANTARANEWS, 18 APRIL 2015


Jakarta (ANTARA News)- Dua WNI di Arab Saudi, Siti Zainab dan Karni Tarsim, akhirnya secara terpisah dan dalam selang waktu beberapa hari menjalani eksekusi hukuman pancung. 
                                                                                                                  
Eksekusi mati ini membuat Indonesia berang. Kemenlu Retno Marsudi langsung menyampaikan protes secara terpisah untuk masing-masing eksekusi ini. Duta Besar Arab Saudi di Jakarta juga harus dua kali dipanggil oleh Kemenlu untuk menerima protes keras dari Pemerintah Indonesia. 

Berbeda dengan eksekusi Ruyati tahun 2011, reaksi publik Indonesia terhadap kasus yang sama yang menimpa Siti Zainab dan Karni Tarsim kali ini tidak terlalu gaduh. Sekalipun ada reaksi keras beberapa LSM namun kali ini tidak ada kehebohan politik, tidak ada saling tuding antar berbagai pihak yang terkait. 

Kecaman keras terhadap hukum Arab Saudi juga tidak seheboh yang lalu, dan yang menonjol adalah tidak ada lagi desakan keras kepada Pemerintah RI untuk "intervensi" terhadap kedaulatan hukum Arab Saudi . 

Memang ada desakan diplomatik dari publik, misalnya agar Indonesia mengusir Duta Besar Saudi, namun desakan ini kelihatannya tidak terlalu bergaung.

Meredanya reaksi publik kali ini mudah dipahami. Indonesia sedang berada pada posisi yang sama dengan Arab Saudi, yaitu sudah dan akan mengeksekusi mati warga negara asing.

Publik merasakan langsung bagaimana terlukanya perasaan bangsa Indonesia jika negara asing mencampuri kedaulatan hukum Indonesia, apa pun dalihnya. Publik Indonesia semakin menyadari bahwa penghormatan terhadap kedaulatan hukum negara lain ternyata sangat penting.



Konsistensi Indonesia
Namun ada yang tidak berubah, yaitu bahwa Pemerintah RI tetap konsisten mengajukan nota protes yang isinya sama dengan tahun 2011, yaitu mempersoalkan kenapa tidak ada pemberitahuan (notifikasi) tentang pelaksanaan eksekusi, baik kepada perwakilan RI di Saudi maupun terhadap keluarga terpidana. 

Mengapa Pemerintah RI tetap mengajukan nota protes kepada Arab Saudi, bukankah publik Indonesia tidak suka dengan protes yang sama yang dilakukan oleh negara-negara lain baru-baru ini? Pertanyaan ini kelihatannya memperlihatkan inkonsistensi Pemerintah RI alias "double standard", namun jika membaca reaksi Indonesia ini secara jeli, ternyata Indonesia sangat konsisten.

Pertama, protes negara lain terhadap Indonesia cenderung mempersoalkan hukuman mati itu sendiri. Mereka menilai hukuman mati itu "barbarian", artinya mereka mencampuri substansi hukum positif Indonesia. 

Lazimnya, negara hanya berhak melakukan protes jika pelaksanaan hukuman mati terhadap warganya itu melanggar hukum dan kepatutan internasional, misalnya terjadi diskriminasi atau pengebirian hak terpidana. Selain itu, negara juga berhak melakukan protes jika ada prosedur universal yang diabaikan.

Berbeda dengan negara-negara lain terhadap Indonesia, protes Indonesia kepada Saudi bukan soal substansi hukum Arab Saudia. 

Indonesia tidak mempersoalkan apakah hukuman mati di Arab Saudi itu sah atau tidak. Indonesia mempersoalkan prosedur yang dikenal dalam standar Internasional dan diakui oleh Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, yaitu hak Indonesia atas akses konsuler terhadap warga negaranya. 

Konvensi ini memberi jaminan bahwa perwakilan Indonesia di Saudi harus terinformasikan tentang proses hukum yang dialami oleh warganya secara terus menerus mulai sejak tahap awal sampai pada tahap eksekusi. Untuk maksud dan tujuan inilah suatu perwakilan negara dibuka dan dihadirkan di Saudi.

Sayangnya, akses konsuler ini hanya diberikan pada tahap awal sampai pada tahap vonis berkekuatan tetap, namun tiba-tiba tertutup pada tahap eksekusi. Tidak ada informasi sama sekali tentang kapan dan di mana eksekusi ini dilakukan. 

Konon, seperti yang dijelaskan oleh Duta Besar Saudi di Jakarta, hukum Saudi tidak mewajibkan eksekutor untuk memberitahukan kepada Perwakilan RI atau keluarga tentang kapan dan di mana eksekusi akan berlangsung. Dalih ini agak lemah karena hukum nasional tidak boleh dibenturkan dengan kewajiban internasionalnya. 

Artinya, negara tidak dapat berlindung di balik hukum nasionalnya untuk mengabaikan norma hukum internasional. Ini salah satu prinsip utama hukum internasional.

Dalam konteks ini, Saudi memiliki kewajiban membuka akses konsuler ini kepada perwakilan Indonesia.

Sekalipun hukum Saudi tidak mewajibkan notifikasi ini, Saudi tetap terikat pada pasal 37 (a) Konvensi Wina 1963, yaitu kewajiban negara untuk memberitahukan tentang kematian seseorang warga negara asing kepada perwakilan negaranya. 

Dalam konteks ini, Saudi wajib menyampaikan kepada perwakilan RI di Saudi informasi tentang kematian Siti Zainab dan Karni Tarsim. Sayangnya, informasi kematian ini pun tidak pernah disampaikan secara resmi kepada perwakilan RI berdasarkan pasal ini.

Akses konsuler khususnya pemberian informasi kepada pihak keluarga (melalui perwakilan diplomatik/konsuler) tentang kapan dan dimana suatu eksekusi mati dilaksanakan sudah menjadi bagian dari prosedur hukum di hampir setiap negara. Artinya, pemberian akses konsuler ini sudah menjadi praktik negara 

Selain itu, berdasarkan asas kemanusiaan dan kepatutan, pihak keluarga berhak mendapatkan informasi tentang nasib Siti Zainab dan Karni, kapan dan dimana mereka menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan tertutupnya akses konsuler ini, dan tidak tersedianya informasi kepada pihak keluarga, maka hak asasi para terpidana ini menjadi tergerogoti.

Kedua, protes Indonesia ini menunjukkan konsistensi sikap Pemerintah RI terhadap pengabaian prosedur ini. Dalam kasus Ruyati tahun 2011, Indonesia melakukan protes yang sama dan terhadap persoalan yang sama. 

Sikap ini harus secara konsisten diperlihatkan agar pengabaian prosedural ini tidak mengkristal menjadi kelaziman diplomatik, yang pada akhirnya menjadi kebiasaan internasional. 



Makna protes 

Banyak pihak yang pesimistis dengan protes diplomatik itu. Ini dapat dimaklumi karena publik cenderung memahami protes diplomatik adalah sekadar protes seperti yang dipahami dalam kehidupan keseharian. 

Padahal ada makna hukum dibalik suatu protes negara. Menurut logika hukum internasional, makna protes negara yang berkesinambungan (persistent objection) adalah upaya hukum untuk mencegah agar praktik suatu negara tidak mengkristal menjadi norma. 

Indonesia tidak ingin praktik Saudi, yang tidak memberikan notifikasi perihal eksekusi mati WNI, perlahan-lahan terkonsolidasi menjadi suatu kelaziman diplomatik, setidak-tidaknya terhadap Indonesia. 

Indonesia pernah mengalami protes negara-negara yang berkesinambungan ini dalam kasus Timor Timur, sehingga akibatnya menghalangi Indonesia memperoleh legitimasi hukum internasional atas wilayah ini.

Dari uraian di atas, maka rekasi Indonesia terhadap Saudi tidak identik dengan reaksi negara lain terhadap Indonesia atas pelaksanaan hukuman mati. Dalam kasus eksekusi mati di Indonesia, tidak ada standar internasional yang dilanggar yang memungkinkan adanya ruang adanya suatu protes diplomatik menurut hukum internasional. 

Protes negara lain terhadap Indonesia lebih diarahkan kepada persoalan kompatibilitas hukum positif Indonesia yang dinilai tidak selaras dengan norma HAM. Namun tudingan ini tidak terlalu meyakinkan. 



Pencerahan publik
Terlepas dari persoalan di atas, Indonesia sedang mengalami suatu situasi yang unik, yaitu secara bersamaan menghadapi persoalan yang timbal balik. 

Indonesia sudah dan sedang melakukan eksekusi mati terhadap warga negara asing, namun secara bersamaan sedang menghadapi persoalan yang sama atas WNI di luar negeri. Kedua situasi yang diametrikal ini semakin mematangkan Indonesia dalam menyikapi persoalan hukum WNI di luar negeri. 

Selama ini ada inkonsistensi dengan reaksi publik Indonesia. Jika asing bereaksi terhadap penegakan hukum di Indonesia, maka negara tersebut akan dituding "mencampuri kedaulatan hukum" Indonesia dan publik Indonesia akan terusik. 

Namun dalam persoalan yang sama, jika publik Indonesia bereaksi terhadap penegakan hukum di negara lain terhadap WNI, akan diklaim sebagai upaya "menjaga harkat bangsa". Akibatnya menjadi sangat anomali, karena terhadap situasi yang sama, "mencampuri kedaulatan hukum" dan "menjaga harkat bangsa" menjadi sinonim.

Pengalaman ini membuat publik semakin hati-hati dalam menyikapi persoalan yang sama yang terkait dengan penegakan hukum di negara lain. Reaksi yang cerdas adalah melakukan upaya perlindungan konsuler pada koridor yang direstui oleh hukum internasional. 

Ini berarti, memastikan bahwa WNI memperoleh seluruh hak-hak hukumnya berdasarkan hukum acara pidana negara setempat, tanpa harus mencampuri proses penegakan hukumnya. 

*) Penulis adalah pengamat hukum internasional
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2015

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates