Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Tempo 25 November 2015

RI Kirim Delegasi ke Tribunal Arbitrase Laut Cina Selatan

RABU, 25 NOVEMBER 2015 | 22:12 WIB
  • share facebook
  • share twitter
  • share google+
  • share pinterest
RI Kirim Delegasi ke Tribunal Arbitrase Laut Cina Selatan
Delegasi Indonesia sebagai pengamat dipimpin Damos Domuli Agusman, Setditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri, (kiri depan) dalam public hearing di Pengadilan Arbitrase Internasional, Den Haag, Belanda, 25 November 2015. (Foto: Istimewa)
TEMPO.CO, Den Haag – Pemerintah Indonesia kembali mengirim utusan dalam sidang pengadilan arbitrase yang mengadili gugatan Filipina terhadap Cina atas Laut Cina Selatan.  Setelah memutuskan memiliki yuridiksi, tribunal menggelar public hearing pada 24-30 November 2015 di Den Haag, Belanda.
“Public hearing ini bersifat tertutup dan hanya mendengarkan argumentasi gugatan Filipina perihal pokok perkara,” kata Damos Dumoli Agusman, Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, yang menjadi ketua delegasi Indonesia, kepada Tempo, kemarin
Menurut   Damos,  Indonesia mencermati jalannya persidangan karena hampir semua keputusan tribunal atas gugatan Filipina akan berdampak pada konstelasi kasus Laut Cina Selatan (LCS).  

Berdasarkan keputusan 29 Oktober lalu, tribunal akan menjawab  tiga persoalan dasar. Yakni  keabsahan soal nine dotted lines,  penetapan soal gugusan yang diklaim di LCS, apakah itu adalah pulau yang berhak atas 200 mil zona maritim, ataukah karang yang hanya berhak 12 mil, atau elevasi surut yang tidak berhak sama sekali atas zona maritim.
Selain itu juga akan diputuskan apakah  aktivitas Cina di LCS, seperti reklamasi, telah melanggar UNCLOS khususnya tentang perlindungan lingkungan laut.  Ketiga hal itulah yang akan dielaborasi Filipina dalam public hearing kali ini.
 “Tribunal tidak mengadili soal siapa pemilik pulau/karang, karena bukan wewenangnya,” kata Damos.
Jika Tribunal mengatakan nine dotted lines haram, maka semua negara pihak harus mengabaikan ke sembilan garis dalam peta yang diklaim Cina tersebut. “Cina dalam hal ini tidak lagi bisa menggunakan garis ini sebagai basis untuk klaim pulau atau karangatau elevasi di dalamnya,” papar Damos.
Jika Tribunal menyatakan bahwa gugusan di LCS adalah karang  dan elevasi, dan tidak ada yg berstatus pulau, maka siapa pun pemilik karang ini tidak mungkin mengklaim zona maritim sampai mendekati pantai-pantai utama negara-negara sekitarnya.
Adapun persoalan nine dotted lines adalah masalah semua negara pihak UNCLOS, bukan hanya persoalan bilateral Cina-Indonesia. “Jika Tribunal menyatakan garis ini haram, maka semua negara LCS akan lega karena benang kusut makin terurai,” tambah dia.
Dalam sidang kali ini, delegasi Filipina dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Albert del Rosario. Sedangkan lima hakim tribunal terdiri atas Thomas A. Mensah, presiden tribunal, Jean-Pierre Cot, Stanislaw Pawlak, Rudiger Wolfrum, dan Profesor Alfred H.A. Soons.

Cina sebagai pihak yang digugat Filipina mengecam proses pengadilan dan sejak awal menolak perkara tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hong Lei menyatakan posisi negaranya sangat jelas. "Kami tidak akan menerima atau berpartisipasi dalam arbitrasi," kata Hong Lei seperti dilaporkan The Diplomat, kemarin.  

Meski Cina menolak, negara-negara lain menyambut upaya menggunakan hukum internasional untuk menguraikan sengkarut di Laut Cina Selatan.  Selain Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand dan Jepang juga mengirim utusannya sebagai pengamat. Setelah public hearing kali ini,  tribunal dijadwalkan akan membacakan keputusan akhir pada Juni 2016.  
THE DIPLOMAT | NATALIA SANTI
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Antaranews 7 November 2015

Telaah -- Konflik Laut Tiongkok Selatan, Tribunal UNCLOS miliki jurisdiksi

Sabtu, 7 November 2015 18:25 WIB | 1.786 Views
Oleh DR iur. Damos Dumoli
Telaah -- Konflik Laut Tiongkok Selatan, Tribunal UNCLOS miliki jurisdiksi
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan. (inquirer.net)

Jakarta (ANTARA News) - Pada tanggal 29 Oktober 2015, setelah melalui proses persidangan pertama bulan Juli 2015, Arbitrase Tribunal UNCLOS akhirnya memutuskan bahwa pihaknya memiliki jurisdiksi untuk memeriksa dan memutuskan gugatan Filipina terhadap Tiongkok tentang konflik mereka di Laut Tiongkok Selatan.

Dalam amar putusannya, Tribunal The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan berwenang memeriksa 15 butir gugatan Filipina dengan catatan bahwa kewenangan terhadap 7 dari 15 gugatan tersebut sangat tergantung pada hasil eksaminasi pada pokok perkara. Selanjutnya Tribunal akan mengeksaminasi pokok perkara yang dijadwalkan akhir November 2015.

Tribunal yang terbentuk berdasarkan mekanisme UNCLOS ini perlu memastikan terlebih dahulu tentang adanya kewenangan ini karena Konvensi memberikan batasan-batasan tentang objek sengketa yang dapat ditangani oleh Tribunal.

Apalagi, pada saat meratifikasi Konvensi, Tiongkok telah memanfaatkan reservasi yang disediakan oleh pasal 298 Konvensi yakni tidak menginginkan sengketa-sengketa yang terkait dengan batas maritim dan aktivitas militer diselesaikan lewat mekanisme Konvensi.

Selain itu, sekalipun menolak hadir dalam persidangan, Tiongkok telah mempersoalkan kewenangan Tribunal ini lewat jalur media. Menurut Tiongkok, sengketa ini adalah soal kedaulatan atas pulau dan soal batas maritim sehingga diluar kewenangan Tribunal.

Setelah mengeksaminasi gugatan Filipina dan menelaah keberatan Tiongkok, Tribunal memastikan bahwa gugatan Filipina tidak terkait dengan sengketa kepemilikan pulau atau pun batas maritim.

Dalam putusannya Tribunal berpendapat bahwa gugatan Filipina adalah sengketa tentang penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS oleh kedua pihak yang berkonflik.

Dalam memutuskan sengketa ini Tribunal tidak perlu menyentuh soal kepemilikan atas pulau di LTS. Selanjutnya Tribunal hanya diminta untuk mengeksaminasi tiga kluster persoalan yang tidak ada kaitannya dengan kedaulatan, yakni pertama soal sampai berapa jauh Negara pantai berhak atas zona maritime.

Dalam hal ini, apakah Tiongkok berhak atas zona maritime diluar UNCLOS (yakni yang didasarkan pada klaim historis). Kedua, soal apakah pulau atau karang di LTS berhak atas zona maritime 12 mil atau 200 mil.

Ketiga, soal apakah aktivitias Tiongkok di LTS dewasa ini seperti reklamasi karang melanggar UNCLOS khususnya yang terkait pada perlindungan lingkungan laut. Ketiga kluster gugatan ini menurut Tribunal tidak ada kaitannya dengan soal kedaulatan atas pulau atau soal batas maritim.

Ketiganya murni soal sengketa penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS yang menjadi kewenangan Tribunal berdasarkan Anex VII Konvensi.

Sesuai dengan perkiraan publik, Tingkok serta merta menyatakan keputusan Tribunal ini batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat serta tidak mempengaruhi kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS.

Menurut Tiongkok, kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS adalah berdasarkan sejarah dan dijamin oleh hukum internasional dan UNCLOS.

Secara tegas Tiongkok menolak pemaksaan dalam penyelesaian persoalan kedaulatan dan hak maritim ini ini melalui pihak ketiga, serta menuduh gugatan Filipina ini sebagai bentuk provokasi politik yang motifnya bukan untuk penyelesaian konflik melainkan menggerogoti kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok untuk kepentingan sendiri. Reaksi lebih bernuansa retorik politik ketimbang argumentasi hukum.

Keputusan Tribunal dalam soal jurisdiksi ini telah mengklarifikasi status dokumen Declaration of Conducts (DoC) yang ditandatangani ASEAN-China tahun 2002.

Kata Tribunal, DoC bukan dokumen hukum dan tidak bersifat mengikat sehingga, karena karakter ini, tidak bisa melarang Negara pihak untuk mencari penyelesaian melalui mekanisme UNCLOS.

Dalil Tiongkok, yang selama ini mengharuskan negara yang berkonflik melakukan negosiasi langsung dan mengharamkan penyelesaian melalui pihak ketiga, menjadi gugur. Amar putusan ini mungkin bisa dijadikan referensi bagi ASEAN dalam menyikapi soal ini dalam konteks ASEAN-China.

Sekalipun Tribunal ini tidak dimaksudkan memutuskan soal akar konflik yakni soal kepemilikan pulau, namun keputusannya kelak dalam pokok perkara dapat mengklarifikasi beberapa kerancuan yang selama ini menyelimuti konflik LTS.

Pertama, Tribunal akan memutuskan apakah pulau/karang di LTS berhak atas zona maritim, yakni 12 mil laut teritorial, 200 mil ZEE/landas kontinen, atau tidak berhak sama sekali. Ini soal penafsiran terhadap pasal 121 UNCLOS yang menyebutkan bahwa karang yang tidak dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri tidak mempunyai ZEE dan landas kontinen.

Filipina bahkan mengklaim bahwa pada umumnya pulau/karang di LTS adalah elevasi surut yaitu daratan yang muncul ke permukaan pada saat air laut surut.

Menurut jurisprudensi, elevasi surut tidak berhak sama sekali atas zona maritim dan statusnya adalah sama dengan (atau tertelan dalam) laut itu sendiri. Artinya, elevasi surut ini bukan objek untuk dimiliki sebagaimana layaknya pulau. Pemiliki elevasi surut ini adalah pemilik laut diatasnya.

Jika Tribunal memutuskan bahwa fitur-fitur maritim di LTS adalah elevasi surut, maka peta konflik LTS akan berubah karena klaim para negara claimant atas apa yang selama ini dipercara sebagai pulau menjadi gugur karena yang mereka klaim ternyata bukan objek kepemilikan.

Yang tersisa adalah soal delimitasi batas maritim yang harus diukur dari daratan negara masing-masing. Jika ini keputusannya, maka AS sangat diuntungkan karena kebebasan berlayar di perairan ini, yang selama ini diklaim oleh Kapal Perang AS, semakin memeproleh dukungan hukum.

Kedua, Tribunal kelihatannya ingin menyentuh soal keabsahan 9 dotted lines yang selama ini menjadi misteri dan kontroversi. Persoalan utama adalah Tiongkok tidak pernah menjelaskan makna garis ini sehingga bakal sulit bagi Tribunal untuk menentukan absah tidaknya.

Namun, dalam putusannya Tribunal kelihatanya "sengaja" membuka ruang untuk menyentuh keabsahan garis ini sekalipun tanpa kejelasan makna garis ini.

Tribunal menyatakan berwenang untuk menetapkan apakah hukum internasional memberi hak bagi Negara pantai mengklaim zona maritim diluar UNCLOS. Niat Tribunal untuk menyentuh soal sensitif ini kelihatannya dipicu oleh implikasi yang lahir akibat membisunya Tiongkok soal garis ini.

Menurut Tribunal, pihaknya dapat menafsirkan sendiri posisi rancu semacam ini dan bahkan berkewajiban agar posisi rancu ini tidak membuat frustrasi para pihak untuk mencari soulusi. Tribunal menilai "kerancuan" makna garis ini telah membuat fustrasi para pihak sehingga kelihatannya perlu diklarifikasi sendiri oleh Tribunal.

Jika Tribunal akhirnya menyatakan garis ini tidak sah, maka lingkup klaim Tiongkok atas LTS menjadi lebih jelas dan terukur serta dapat diartikulasi berdasarkan UNCLOS. Ini akan menjadi bagian yang paling kontroversi dari keputusan Tribunal karena untuk maksud tersebut Tribunal harus menafsirkan sendiri makna garis ini dan belum tentu sama dengan makna yang dimaksud oleh Tiongkok sendiri.

Namun, Tribunal dapat saja mencari jalur lain tanpa harus mengkonstruksi makna garis putus ini, yaitu menyatakan bahwa tidak ada hak historis diluar UNCLOS.

Jika ini keputusannya, maka semua negara claimant akan berbondong-bondong mengklaim bahwa garis putus ini tidak sah. Keputusan ini tidak hanya akan menguntungkan para negara claimant lainnya melainkan juga meredakan potensi ketegangan antara Indonesia dan Tiongkok, sehubungan dengan nongolnya satu garis ini di perairan Natuna.

Namun, jika Tribunal menyatakan tidak berwenang menguji keabsahan garis ini karena "ketidakjelasannya", maka soal garis ini akan kembali menjadi misteri, suatu situasi yang agak bertentangan dengan maksud dan tujuan Tribunal sebagai lembaga penyelesai sengketa.

Apa pun keputusan Tribunal nantinya dalam pokok perkara akan menjadi perhatian internasional dan berpotensi untuk mengubah peta konflik LTS. Sekalipun Tingkok akan menolak putusan ini namun tidak pula dapat disangkal bahwa keputusan ini akan menjadi soft power dalam konstelasi politik internasional.

Rusia pernah menolak keputusan Tribunal dalam perkara "Artic Sunrise" yang digugat oleh Belanda tahun 2013 untuk melepaskan kapal Greenpeace "Artic Sunrise" berbendera Belanda yang ditangkap di ZEE Rusia. Namun, pada akhirnya Rusia melepaskan kapal ini setelah bertubi-tubi mendapat kecaman internasional.

Sekalipun bukan pihak dalam perkara ini, namun sebagai Negara pihak pada UNCLOS, Indonesia berkewajiban untuk menghormati keputusan Tribunal dan menjadikannya sebagai referensi hukum dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terkait dengan konflik LTS.

Penghormatan terhadap UNCLOS dan keputusan-keputusan yang dilahirkan oleh perangkatnya adalah kewajiban internasional Indonesia dan tidak boleh dimaknai sebagai pemihakan atas salah satu pihak yang bersengketa dalam perkara ini.

*) DR Damos Dumoli adalah pengamat dan pengajar hukum internasional. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2015
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hukumonline, Rabu, 28 Oktober 2015
Rencana Kapal Perang AS Memasuki Laut Tiongkok Selatan: Menguji Pasal-Pasal UNCLOS? Oleh: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman *)
Secara hukum, sekalipun tanpa notifikasi/izin, masuknya kapal perang AS ke laut teritorial tidak melanggar UNCLOS sepanjang lintas kapal itu dilakukan dalam rangka “passage”, yaitu secara normal melakukan lintas di laut teritorial.
RED
Dibaca: 0 Tanggapan: 0
Rencana Kapal Perang AS Memasuki Laut Tiongkok Selatan: Menguji Pasal-Pasal UNCLOS? Oleh: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman *)
Foto: Koleksi Penulis
Amerika Serikat (AS) dikabarkan akan mengirimkan Kapal Perang ke Laut Tiongkok Selatan (LTS) dengan maksud ingin memastikan bahwa kegiatan reklamasi di Tiongkok tidak menggerogoti “freedom of navigation” yang diakui oleh hukum internasional yang menjadi kepentingannya di LTS. Tindakan AS ini kelihatanya semacam ‘uji norma’ apakah hak lintas damai di laut teritorial dihormati oleh Tiongkok. Uji norma ini dilakukan dengan cara ‘dengan sengaja memasuki laut teritorial dari gugusan Spratly di dalam 12 mil’ dan melihat reaksi Tiongkok. Menurut AS, hukum internasional termasuk UNCLOS merestui lintas damai ini. Reaksi Tiongkok nantinya akan menentukan apakah hukum internasional dihormati atau tidak.
Rencana pengiriman kapal ini tentu saja melahirkan kontroversi dan sinyal negatif di kawasan. Terlepas dari kontroversi apakah ‘uji norma’ ini sendiri diperkenankan oleh hukum internasional, namun sinyal yang terekspose sangat mengkuatirkan. Rencana AS ini telah dimaknai secara liar dengan penggunaan istilah yang  provokatif, seperti “Patroli” ketimbang istilah “passage”. Akibatnya, publik di kawasan LTS khususnya masyarakat Tiongkok dengan cepat memaknai rencana AS ini sebagai ‘ajakan perang’ ketimbang persoalan norma itu sendiri.
Bagi para pakar hukum, persoalan yang lebih menarik tentang  ‘hajatan’ AS ini adalah soal perbedaan tafsir antara AS dan Tiongkok terhadap beberapa norma hukum laut, khususnya UNCLOS.
Pertama, soal hak lintas, baik hak lintas bebas (di laut bebas dan ZEE) maupun hak lintas damai (di laut teritorial). Menurut Tiongkok, UNCLOS tidak tegas mengatur tentang kapal laut militer, baik dalam melakukan  aktivitas di ZEE  maupun pada saat melakukan hak lintas damai di laut teritorial. Kedua negara berbeda pendapat soal perlu tidaknya suatu notifikasi/izin bagi kapal perang yang akan beraktivitas di ZEE atau yang akan melakukan hak lintas damai di laut teritorial suatu negara pantai. Tiongkok bersikeras bahwa notifikasi/izin itu mutlak, sedangkan AS menolak syarat ini karena bertentangan dengan hukum laut khususnya UNCLOS.
Rencana AS adalah menguji apakah Tiongkok menghormati hak lintas damai dan untuk itu Kapal AS akan memasuki laut teritorial dari gugusan pulau Spratly yang diklaim oleh Tiongkok. Oleh Tiongkok rencana AS ini dinilai pelangaran terhadap kedaulatan wilayahnya. Tiongkok menuduh AS berlindung dibalik kebebasan berlintas untuk melanggar kedaulatan Tiongkok. Menikmati kebebasan berlintas ini harus tetap menghormati hukum negara pantai.
Pasal 17 UNCLOS menjamin hak lintas damai untuk semua kapal di laut teritorial negara pantai. Semua kapal berarti semua kapal berbendera asing, baik dari negara pihak maupun bukan pihak terhadap UNCLOS. Argumen Tiongkok yang selalu menekankan bahwa AS bukan negara pihak pada UNCLOS tidak terlalu relevan untuk menghalangi AS menikmati hak lintas ini. Selanjutnya pasal 19 UNCLOS menegaskan bahwa hak lintas disebut damai jika tidak mengancam perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai. Beberapa aktivitas kapal dianggap tidak berlintas damai, seperti penggunaan ancaman terhadap kedaulatan wilayah, menggunakan senjata, kegiatan intelijen, propaganda dan lain-lain.
UNCLOS tidak mensyaratkan bahwa untuk berlintas damai ini harus memberikan notifikasi atau mendapat izin terlebih dahulu. Hak lintas damai pada hakekatnya kebebasan berlayar termasuk bebas dari kewajiban melakukan notifikasi atau permintaan izin sepanjang lintasnya beritikad damai.  
Namun, Tiongkok berargumen lebih lanjut bahwa sekalipun bermaksud damai, UNCLOS tetap mewajibkan kapal perang untuk menghormati hukum negara pantai. Pasal 21 UNCLOS memang mensyaratkan kewajiban menghormati hukum nasional ini. Namun pasal yang sama mengindikasikan bahwa yang dapat diatur oleh hukum nasional terbatas pada soal-soal yang ditetapkan oleh UNCLOS, yaitu yang terkait dengan keselamatan pelayaran; perlindungan terhadap rambu-rambu pelayaran, pipa dan kabel laut, sumber hayati laut; penegakan UU perikanan, polusi, riset laut, polusi serta masalah bea cukai dan imigrasi. Dalam hal ini, jika kapal AS memasuki laut teritorial di gugusan Spratly, Tiongkok harus menetapkan secara jelas ketentuan nasional yang mana yang kira-kira dapat dikenakan untuk menghalangi kapal tsb menikmati hak lintas damainya.
Secara hukum, sekalipun tanpa notifikasi/izin, masuknya kapal perang AS ke laut teritorial tidak melanggar UNCLOS sepanjang lintas kapal itu dilakukan dalam rangka “passage”, yaitu secara normal melakukan lintas di laut teritorial. Pasal 18 UNCLOS mendefinisikan ‘passage’ sebagai lintas kapal yang memasuki laut teritorial untuk tujuan melewati dengan atau tanpa memasuki perairan pedalaman/pelabuhan. Namun tampaknya lintas yang hendak dirancang oleh AS ini secara sengaja dimaksudkan untuk “menguji” apakah Tiongkok mentaati hak lintas damai.
Sekalipun sulit dilarang secara hukum namun lintas ini tidak mengandung “good faith” dan sulit diterima sebagai “passage” seperti yang dimaksud oleh UNCLOS. Lintas semacam ini lebih bermakna “test and correction measures”, dan akibatnya berpotensi untuk disebut sebagai bukan “innocent passage”. Argumen hukum ini tampaknya lebih dapat diterima oleh pakar hukum ketimbang argumen yang mengedepankan syarat notifikasi/izin atau penghormatan terhadap hukum nasional.
Kedua, rencana penerobosan kapal AS ke dalam 12 mil juga dimaksudkan untuk menegaskan penolakan AS bahwa elevasi (daratan yang muncul pada saat surut)  yang direklamasi oleh Tiongkok tidak berhak atas zona laut teritorial 12 mil. Menghormati zona 12 mil sebagai laut teritorial dikuatirkan akan dianggap sebagai pengakuan AS bahwa elevasi ini (Mischief Reef) berhak atas 12 mil laut teritorial. AS tampaknya akan mengklaim hak lintas bebas di dalam 12 mil dari Mischief Reef  inikarena beranggapan bahwa perairan ini adalah laut bebas.
Pertanyaan tentang apakah Mischief Reef adalah elevasi surut, dan apakah berhak atas zona 12 mil laut,  telah menjadi kontroversi para pakar dan merupakan salah satu butir yang akan dijawab oleh Arbitral Tribunal UNCLOS yang menangani gugatan Filipina tentang LTS. Pasal 121 UNCLOS hanya menyebutkan bahwa batu karang berhak atas 12 mil laut teritorial namun tidak berhak atas 200 mil ZEE dan landas kontinen, kecuali karang tersebut dapat didiami oleh manusia dan mendukung kehidupan ekonomi.
Banyak kalangan menilai bahwa upaya Tiongkok mereklamasi gugusan ini justru hendak megubah statusnya dari elevasi menjadi berstatus pulau dengan harapan gugusan ini akhirnya berhak atas zona 12 mil laut teritorial dan 200 mil ZEE/landas kontinen. Tiongkok sendiri agak membisu soal pertanyaan ini. Tidak ada penjelasan resmi apakah Tiongkok memperlakukan perarian 12 mil dariMischief Reef sebagai laut teritorial.  
Tiongkok kelihatannya membiarkan status perairan di sekitar gugusan Spratly sebagai misteri seiring dengan misterinya klaim Tiongkok berdasarkan 9 dash line-nya. Namun Tiongkok menyebut rencana kapal AS yang akan memasuki wilayah 12 mil gugusan ini sebagai pelanggaran kedaulatan wilayah sehingga dapat diindikasikan bahwa Tiongkok mengklaim sebagai laut teritorial.
Terlepas dari eskalasi konflik yang akan dilahirkanya, pertanyaan selanjutkan adalah apakah rencana AS untuk ‘menguji’ pasal-pasal UNCLOS ini di LTS akan memperjelas atau justru semakin menimbulkan ketidakpastian. Para pakar hukum internasional pasti sedang mencermatinya.  Namun yang jelas, perbedaan tafsir atas hukum laut ini berpotensi melahirkan konflik terbuka di LTS.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates