Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan
Judul
|
The South China Sea: the Struggle for Power in Asia
|
Penulis
|
Hayton, Bill
|
Tempat Terbit
|
New Haven
|
Penerbit
|
Yale University Press
|
Tahun Terbit
|
2014
|
Kolasi
|
xviii, 298 p; 22 cm.
|
Penulis Resensi
Dr. iur. Damos Dumoli Agusman
Perairan Laut Tiongkok Selatan (LTS)
menjadi perhatian karena selain sebagai poros perdagangan dunia, eskalasi
konflik sedang terjadi disini. Sayangnya, pemahaman publik tentang LTS sangat rendah dan umumnya menelan
mentah-mentah fakta keliru yang dianggap ‘kebenaran’ yang didengungkan berulang-ulang
oleh banyak media. Inilah pesan utama yang hendak disampaikan oleh Buku ini.
Misalnya, lanjut penulis, tidak benar bahwa disini banyak migas, tidak tepat
pula mengatakan bahwa lokasi ini strategis karena hanya dengan satu hentakan
misil seluruh isinya akan hancur.
Sumber literatur Barat tentang LTS
pada umumnya mengandalkan pada tulisan sejarawan Barat. Namun sayangnya,
menurut penulis, sumber referensi mereka adalah dari publikasi Partai Komunis
Tiongkok pasca invasi Tiongkok ke Paracel bulan Januari 1974, yang jelas sangat
distortif dan tidak netral. Sumber distortif ini ternyata telah menjadi rujukan
baku bagi banyak akademisi dan pengamat sampai saat ini. Buku ini ingin
mengubah cara pandang yang selama ini keliru serta mengurangi distorsi yang
selama ini mengitari persoalan LTS.
Ditulis dengan bahasa jurnalis ala
berita investigatif, buku ini menceritakan secara gamblang semua aspek tentang
LTS berikut dengan fakta distorsinya serta, karena sentuhan investigatif-nya,
banyak mengungkap info dibalik layar dari setiap headlines tentang konflik LTS. Karena gaya penulisan ini maka buku
ini menjadi sangat enak dibaca walau kadang-kadang terlalu rinci dan terkesan
bertele-tele. Namun buku ini berhasil menyajikan soal yang kompleks sehingga
mudah dimengerti.
Buku
ini diurai secara kronologis dalam 9 bab yang dimulai dengan cerita sejarah LTS
sejak prasejarah sampai lahirnya konflik LTS; yang bermula dari Peta Tiongkok dengan
9 garis putusnya (dash lines), serta
klimaksnya tahun 1995 saat Tiongkok masuk
ke Mischief Reef (Bab 1-3).
Selanjutnya dibahas berbagai dimensi tentang LTS mulai dari aspek hukum (bab
4), sumber daya alam (bab 5), sentimen nasionalisme (bab 6), pergulatan
diplomasi (bab 7), strategi militer (bab 8) dan diakhiri dengan wacana potensi
kerjasama (bab 9). Sekalipun dicoba dipilah-pilah dalam 9 bab, penulis tidak
dapat menghindari terjadinya pengulangan di berbagai bab tentang aspek yang
sama.
Telah
banyak literatur yang bercerita tentang LTS. Namun buku ini kelihatannya
mencoba menambahkan suatu elemen yang terkesan baru yakni bahwa basis klaim yang
digembor-gemborkan sebagai ‘historic’ itu ternyata sangat ‘modern’. Penulis
ingin meyakinkan pembaca untuk tidak terkecoh dengan argumen para negara claimants bahwa secara historis mereka
telah menguasai LTS (historic rights).
Alasannya, pertama, penulis berpendapat
bahwa sistem kekuasaan pada waktu itu adalah ‘mandala’, yaitu bertumpu pada
pusat kekuasaan dengan jaringannya penguasa-penguasa kecil. Dalam sistem ‘mandala’
tidak ada batas-batas negara (apalagi batas laut) seperti yang dikenal selama
ini. Legitimasi mereka bukan berdasarkan kontrol teritorial melainkan atas
pengakuan dari jejaringnya. Perhatian
kekuasaan pada jaman ini lebih ke darat dan bukan ke laut. Jaman dinasti Qing,
LTS bukan teritori untuk dimiliki melainkan sekadar sumber pencarian (hal. 43).
Kedua, status orang yang berada di laut pada waktu itu adalah ‘nomads’ (seperti
suku bajo di Asia Tenggara) dan jauh dari pengaruh kedaulatan di darat serta
mustahil berjubahkan suatu kewarganegaraan. Mereka bahkan sering dicap sebagai
perompak dan bandit sehingga sangatlah ironis jika keberadaan mereka di laut tiba-tiba
dijadikan dasar klaim kedaulatan dalam arti modern. Ketiga, ternyata claimants baru tertarik pada fitur-fitur
LTS sejak PD II dan motifnya pun untuk memiliki perairan disekitarnya (hal.
111), karena menurut hukum internasional yang baru negara pemilik pulau berhak
atas zona maritim selebar 200 mil.
Pandangan
ini sebenarnya sudah dikuak oleh Mahkamah Internasional. Dalam perkara Sipadan
dan Ligitan Mahkamah menolak basis klaim Malaysia dan Indonesia model ‘mandala’
ini, yang konon masing-masing memperolehnya dari Kesultanan Sulu dan Kesultanan
Bulungan. Bahkan hakim Oda menengarai bahwa Indonesia tertarik atas kedua pulau
baru belakangan ini saja setelah tahu bahwa kedua pulau ini bisa memperluas
landas kontinen-nya.
Kisah pengusaha
Filipina, Tomas Cloma, konon sang penemu pulau di Spratly (sekarang ‘Kalayaan’)
tahun 1947 disajikan dengan rinci. Tanpa restu pemerintahnya, Cloma mengklaim
gugusan pulau ini dan sempat menyeret Pemerintah Filipina ke pusaran konflik
internasional. Dia bahkan berhasil tiba di markas PBB untuk menyampaikan petisi
tentang kepemilikan Filipina atas gugusan pulau ini, dan tentu saja membuat
pemerintahnya berang. Namun 25 tahun kemudian, Presiden Marcos justru menguasai
gugusan ini dan salah satu dasar klaimnya adalah aktivitas Cloma di gugusan
ini. Penulis mengolah pesan dari cerita ini menjadi salah satu contoh bahwa
klaim atas LTS tidak ada yang meyakinkan.
Buku ini
juga mengulas tentang Indonesia, tidak hanya tentang kontribusi Hasjim Djalal
dalam pengelolaan konflik namun juga soal posisi Indonesia di pusaran konflik.
Menurut penulis konflik ini melibatkan 6 bukan 5 negara, karena Indonesia juga terlibat sekalipun
berpura-pura tidak terlibat (hal. xvii). Menyamakan status Indonesia dengan 5
negara claimant agak berlebihan
karena status Indonsia sangat berbeda. Ke 5 negara claimant mengklaim fitur-fitur maritim (pulau/karang) di LTS,
sedangkan Indonesia tidak. Tiongkok juga tidak mengklaim pulau Natuna.
Walau
tidak merincinya, alasan Penulis mungkin karena salah satu dash line Tiongkok memasuki perairan Natuna dan terciptalah
tumpang-tindih. Jika ini alasan untuk menjadikan Indonesia sebagai claimant, tentu kurang tepat. Pertama,
garis tumpang-tindih semacam itu ada di setiap segmen batas Indonesia dengan
semua negara tetangga, serta tidak pernah mengistilahkannya dengan ‘negara claimant’. Istilah ‘negara claimant’ pada umumnya hanya untuk tumpang-tindih
atas pulau/daratan seperti yang diperebutkan oleh ke 5 negara di LTS atau dulu oleh Indonesia terhadap Sipadan dan Ligitan. Kedua, dash line itu tidak jelas maknanya dan sudah diprotes oleh
Indonesia. Garis ini membingungkan dunia
termasuk pakar Tiongkok sendiri. Jika garis ini sendiri ‘absurd’ maka menjadi ‘absurd’ pula jika garis ini bisa mendongkrak
status Indonesia menjadi negara claimant setara
negara 5 negara lainnya. Tentu persoalan jadi lain jika Tiongkok ternyata meng-enforce garis ini dengan, misalnya, menangkap nelayan Indonesia di sana. Tapi dalam
situasi ini pun istilah claimant tidak
lazim digunakan.****
0 comments