Mahkamah Internasional dalam sidangnya tgl. 17
Desember 2002 telah mengeluarkan keputusan penting tentang status kepemilikian (title) pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa kedua
pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau
itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya Malaysia, atau
yang dikenal dengan prinsip efektivite..
Keputusan itu diambil setelah semua proses hukum acara
di Mahkamah dilalui, yaitu dimulai dari pendaftaran perkara oleh kedua negara
(2 November 1998), penyampaian argumentasi tertulis dari masing-masing pihak
yaitu memorial (2 November 1999), counter memorial (2 Agustus 2000), reply (2
Maret 2002), dan diakhiri dengan penyampaian argumen secara lisan/hearing (2-13
Juni 2002).
Ditengah-tengah proses acara tersebut, muncul pula
upaya hukum lain yang dilakukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi
oleh Filipina (13 Maret 2001) terhadap
perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian
yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum
acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan
untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya dapat mempengaruhi
kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Menurut Filipina, perkara ini ditenggarai akan dikaitkan oleh
Malaysia dengan Grant Sultan Sulu (kesultanan yang dahulu berlokasi di wilayah
Filipina saat ini) tahun 1878 yang oleh Filipina juga merupakan dasar terhadap
klaimnya selama ini versus Malaysia atas wilayah Sabah. Namun dalam keputusannya pada tgl. 23 Oktober
2001, Mahkamah menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan
bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum
Filipina dalam perkara ini yang patut ditenggarai akan terkena dampak akibat
keputusan Mahkamah.
Apa yang menjadi dasar keputusan Mahkamah terhadap
perkara Sipadan dan Ligitan tanggal 17 Desember 2002 menjadi cukup menarik
mengingat kasus ini bersifat kompleks
dan bahkan memancing spekulasi di kalangan pengamat tentang bagaimana kasus ini
berakhir. Baik Malaysia maupun Indonesia sama-sama menunjukkan sikap “low
profile” dalam menyongsong keputusan ini mengingat kedua pihak juga menyadari
bahwa keputusan Mahkamah tidak mungkin dapat diduga. Menlu RI sendiri secara
tepat menggambarkan bahwa kemungkinan Indonesia memenangkan perkara ini adalah
fifty-fifty. Pendekatan realistis ini didasari pada fakta bahwa kedua negara
sama-sama tidak memiliki kartu yang telak untuk memenangkan perkara ini.
Keduanya memiliki bukti yang sama kuat sekaligus sama lemahnya sehingga
keduanya cenderung bersikap optimis sekaligus pesimis.
Letak geografis kedua pulau yang „remote“ dan berada di perairan perbatasan, serta minimnya
data-data sejarah tentang kedua pulau tsb, ditambah lagi dengan fakta sejarah
bahwa para kesultanan terdahulu tidak pernah menggambarkan secara jelas
batas-batas wilayah kerajaannya, mengakibatkan perkara ini menjadi sangat
spekulatif. Masalah ini menjadi lebih rumit lagi mengingat kedua pulau yang
karakteristik sejarahnya adalah bekas wilayah kerajaan di dunia timur akan
diukur serta dan dinilai berdasarkan hukum internasional modern yang
bersendikan hukum barat. Kompleksitas yang mengitari perkara ini sudah cukup
untuk membuat perkara ini jauh dari „predictable“.
Setelah kedua negara secara exhausted memaparkan sedapat mungkin argumentasi hukumnya yang
sama-sama kuat dan juga lemah, para hakim Mahkamah selanjutnya memilih dasar
dan alur pertimbangan tersendiri, yaitu memeriksa terlebih dahulu apakah ada
akar kepemilikan (original title) berdasarkan
dokumen formal (treaty based title)
atau dalam bahasa sehari-harinya semacam „sertifikat tanah“ yang cukup
meyakinkan dari kedua pihak terhadap kedua pulau tsb, dan jika tidak ada maka
Mahkamah akan menoleh kepada asas efektivite,
yaitu pihak mana yang lebih efektif mengadministrasikan kedua pulau tsb. Hal ini sesuai dengan hukum positif
tentang territory yang dikembangkan dalam jurisprudensi Mahkamah, yang pada prinsipnya
mengatur bahwa jika tidak ada dasar kepemilikan (title) maka asas efektivite perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini
Mahkamah ternyata tidak menemukan adanya
akar kepemilikan baik pada Indonesia yang mengandalkan pada Perjanjian
1891 dan Sultan Bulungan maupun pada Malaysia yang mengandalkan pada berbagai
perjanjian pada era kolonial Spanyol dan Amerika Serikat di Filipina.
Dalam
hal ini mahkamah tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang
akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang
pada pasal IV menyebutkan bahwa garis
batas kedua negara adalah dari garis
lintang 4E 10' di pantai
timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan
kedua pulau itu di bawah garis lintang tsb, yang berarti milik Belanda. Menurut
Mahkamah, Perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan
sebagai Perjanjian wilayah laut. Sekalipun garis itu melintasi laut maka tidak
mungkin melebihi 3 mile seperti yang ditetapkan oleh hukum laut internasional
pada waktu itu. Dengan ditolaknya pernjanjian ini sebagai perjanjian alokasi
laut, maka tidak ada lagi kartu yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Selanjutnya menurut Mahkamah, tidak ada satupun
argumentasi maupun dokumen yang cukup meyakinkan bahwa kedua pulau itu dulunya
milik Sultan Sulu atau Sultan Bulungan, artinya, berbeda dengan pendapat kedua
pihak, kedua pulau itu sebelum
diadministrasikan oleh Inggris/Malaysia adalah berstatus tanpa pemilik atau terrae nullius. Dalam hukum
internasonal, wilayah yang belum ada pemiliknya (tidak ada title suatu negara) terbuka untuk dimiliki oleh setiap negara, yang
dalam hal ini telah dilakukan oleh Inggris/Malaysia melalui prinsip efektivite. Melalui alur inilah Malaysia
dinilai lebih dapat meyakinkan mahkamah tentang kepemilikannya atas kedua pulau
tsb.
Latar Belakang Perkara Sipadan dan
Ligitan
Masalah
Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada waktu dilangsungkan
perundingan antara Indonesia dan Malaysia mengenai penetapan batas landas
kontinen kedua negara yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1969. Dalam
perundingan itu tidak ada kesesuaian pendapat antara Indonesia dan Malaysia
mengenai status kepemilikan kedua pulau yang terletak di sebelah selatan ujung
timur Kalimantan.
Untuk
menyelesaikan masalah ini kedua negara selanjutnya telah melakukan serangkaian
perundingan bilateral yang panjang, baik dalam forum yang bersifat umum yaitu
Komisi Bersama (Joint Commission) maupun dalam forum yang secara khusus
membahas masalah ini yaitu Kelompok
Kerja Bersama (Joint Working Group) namun tetap tidak membuahkan
kesepakatan.
Mengingat
penyelesaian masalah atas Pulau Sipadan dan Ligitan melalui argumentasi hukum
di forum Kelompok Kerja Bersama (1992
s/d 1994) telah mencapai titik jenuh, maka
kedua kepala negara/pemerintahan sepakat melanjutkan pembahasannya pada
tingkat politis yang bersifat informal
dengan menunjuk wakil khusus masing‑masing. Dalam hubungan ini, mereka telah
menunjuk juru runding masing‑masing yakni Menteri Sekretaris Negara Rl
Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato' Seri Anwar Ibrahim guna
mengupayakan penyelesaian berdasarkan semangat bertetangga secara baik.
Setelah
melakukan pembahasan secara mendalam dalam empat pertemuan terpisah, kedua juru
runding berkesimpulan bahwa sangat sulit untuk menyelesaikan masalah Pulau
Sipadan dan Ligitan secara bilateral. Berdasarkan hal tersebut, kedua juru
runding sepakat merekomendasikan kepada Kepala Negara/Pemerintahan masing‑masing
untuk mempertimbangkan upaya penyelesaian melalui Mahkamah Internasional.
Perkara Sipadan dan Ligitan telah melewati tahap-tahap
yang selama ini dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa secara damai (the
law of peaceful settlement of dispute), yang dimulai dari proses
penyelesaian damai bilateral tingkat teknis, kemudian bergeser ke perundingan
tingkat politis, dan pada akhirnya menggunakan penyelesaian melalui pihak
ketiga (Mahkamah Internasional).
Argumentasi para Pihak dan Pertimbangan Mahkamah
Dalam berbagai jurisprudensi kasus-kasus di Mahkamah
Internasional yang menyangkut masalah
dasar kepemilikan atas suatu wilayah (title to territory), esensi dasar
yang harus dikemukakan kepada para hakim adalah apa yang oleh hukum
internasional disebut „modes of territorial aacquisition, yaitu apa dasarnya
suatu negara mengklaim wilayah (pulau) tsb. Oleh sebab itu, baik Indonesia
maupun Malaysia dengan serinci mungkin memaparkan semua fakta dan argumennya
tentang tentang kepemilikan masing-masing atas kedua pulau tsb.
Modus
adu argumentasi hukum oleh kedua pihak di Mahkamah, seperti pada umumnya pada
setiap perkara di pengadilan, pada umumnya
diwarnai oleh pola yang baku. Pertama, masing-masing pihak memaparkan
dasar kepemilikan atas kedua pulau tsb mulai dari yang sifatnya politis sampai
pada paparan yang teknis juridis. Kedua, masing-masing akan menyerang dan
memperlemah dasar-dasar pihak lawan.
Dalam hal ini, keahlian dan kemampuan para pengacara masing-masing pihak sangat
menentukan.
Indonesia mencoba meyakinkan
Mahkamah bahwa Perjanjian 1891 yang menarik garis lintang 4E 10' ke arah Timur Kalimantan
secara jelas telah menempatkan kedua pula itu sebagai milik Belanda. Menurut
Hakim Adhoc Franck, satu-satunya hakim yang menentang putusan Mahkamah,
seharusnya Mahkmah menempatkan Perjanjian ini sebagai satu-satunya instrumen
yang dapat mengindikasikan status kedua pulau tsb karena dokumen dan
bukti-bukti lainnya tidak sejelas
Perjanjian ini untuk maksud itu. Oleh sebab itu, menurut hakim Franck,
seharusnya pertimbangan effektivite belum relevan untuk dipertimbangkan.
Namun mayoritas hakim tampaknya
melakukan penafsiran terhadap Perjanjian ini berdasarkan ketentuan tentang
penafsiran menurut Konvensi Wina 1969, yaitu meneliti teks dan maksud si
pembuat perjanjian, dalam hal ini para hakim menilai bahwa garis itu adalah garis batas darat dan
tidak ada maksud pembuat perjanjian bahwa garis itu untuk mengalokasikan pulau-pulai
di sebelah Timur.
Esensi argumentasi Malaysia mengenai dasar title atas
kedua pulau tersebut adalah pada dua alur fikiran yang oleh Malaysia dinilai
masing-masing berdiri sendiri namun juga saling berkaitan (two independent
but also intersecting strands),
yaitu pertama, kedaulatan atas kedua pulau tersebut diperoleh dari
serangkaian transaksi internasional yang dikombinasikan sedemikian rupa, yang
dimulai dari Grant Sultan Sulu kepada British North Borneo Company (BNBC) tahun
1878, Pengakuan Spanyol melalui perjanjian 1885, Perjanjian AS-Inggris tahun
1907, dan Perjanjian AS-Inggris tahun 1930.
Kedua, kedaulatan atas kedua pulau tersebut diperoleh
dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai
dan terus menerus telah mengadministrasikan
kedua pulau tersebut. Di lain pihak, Belanda dan kemudian Indonesia
tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau tersebut sampai pada tahun 1969.
Rangkaian argumen inilah yang dikenal
dengan istilah effektivite.
Dalam
hal ini Indonesia telah memanfaatkan kejelimetan alur pikiran Malaysia dianggap
tidak yakin dari mana akar title-nya diperoleh. Sebagai bagian dari
teknik pembelaan, Indonesia bahkan membuat argumentasi Malaysia menjadi lebih
kompleks dengan menyatakan bahwa alur pikiran Malaysia sebenarnya bukan dua
strands, tetapi justru tiga strands. Pertama,
rangkaian transaksi
Sulu--BNBC--Inggris--Malaysia. Kedua,
Sulu–Spanyol–Amerika Serikat-Inggris–Malaysia. Ketiga, effective control
Malaysia atas kedua pulau tersebut (efectivite). Ketiga alur ini tidak
konsisten dan saling bertentangan, karena tidak mungkin kedua pulau tsb dalam
waktu yang bersamaan dimiliki oleh dua negara yang berbeda (BNBC/Inggris atau
Amerika/Spanyol). Selanjutnya Indonesia juga telah memperdayai kebingungan
Malaysia dengan menyerang Malaysia sebagai pihak yang mendasarkan
kepemilikannya atas suatu perbuatan yang tidak sah. Di satu pihak, menurut
Malaysia, Grant Sultan kepada Overbeck
dan Den yang (kemudian BNBC) mencakup pulau-pulau di dalam batas 9 nm dari
pantai namun di lain pihak diakui bahwa BNBC menganggap Grant tersebut mencakup
kedua pulau yang lokasinya di luar 9 nm. Dengan demikian berdasarkan alur
pikiran ini BNBC secara ilegal memiliki kedua pulau tersebut dan dalam
konsekuensinya Malaysia mendasarkan title-nya pada perbuatan BNBC yang
ilegal itu.
Sekalipun akibat serangan argumentasi ini Malaysia sedikit banyak melakukan reposisi
dalam argumen selanjutnya di Mahkamah, namun sayangnya Mahkamah menilai bahwa
masalah akar kepemilikan ini tidak penting karena tidak ada yang meyakinkan dan
justru, sebagai konsekuensi tidak adanya title
ini, lebih tertarik dengan argumentasi Malaysia
tentang effektivite, yaitu bahwa sejak tahun 1878 secara damai dan
terus menerus telah mengadministrasikan
kedua pulau tersebut dan Belanda kemudian Indonesia tidak pernah
melakukan klaim atas kedua pulau tersebut sampai pada tahun 1969.
Dalam pertimbangannya tentang prinsip effektivite ini Mahkamah menilai antara
lain bahwa Indonesia tidak pernah menerapkan kekuasaan legislatifnya atas kedua
pulau tsb dan bahkan UU No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tidak
menempatkan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal dalam menarik garis
pangkal kepulauan Indonesia. Argumentasi
Indonesia tentang patroli kapal patroli Belanda Lynk di perairan itu juga tidak
cukup meyakinkan Mahkamah bahwa Belanda memiliki kedaulatan. Demikian juga
halnya dengan nelayan tradisional Indonesia yang menurut Indonesia telah lama
menangkap ikan di perairan itu, menurut Mahkamah adalah kegiatan individu dan
tidak mencerminkan kegiatan publik yang dapat meciptakan efektivite.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektivite Malaysia atas
kedua pulau tsb lebih jelas dan dalam periode yang cukup lama, antara lain,
bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua
pulau tsb misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta
mengeluarkan Perijinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah
membangun mercusuar di Sipadan dan Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus
dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut
pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Kesemua fakta sejarah
ini sudah cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatnya
atas kedua pulau tsb dan sudah cukup membuktikan adanya efektivite untu syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau
itu.
Keputusan
Mahkamah sudah final dan Indonesia melalui Menlu RI telah menyatakan komitmen
untuk menerima keputusan tsb sebagai konsekuensi juridis dari perjanjian khusus
(special agreement 1997) kedua Negara
yang sepakat untuk membawah masalah ini ke Mahkamah dan menerima apa pun
keputusan Mahkamah.
Dengan
keluarnya keputusan ini maka masalah yang tersisa adalah melanjutkan perundingan
tentang batas landas kontinen di wilayah laut Kalimantan yang terhenti pada
tahun 1969 akibat kasus kedua pulau ini. Dalam kaitan ini, menarik sekali
pendapat Hakim Oda dalam deklarasinya yang terlampir dalam Keputusan Mahkamah
ini, yang menyebutkan bahwa sebenarnya kedua negara tidak tertarik untuk
mengklaim kedua pulau kecil tsb sampai pada tahun 1960. Dorongan untuk mengklaim kedua pulau ini
lebih banyak didasari atas motivasi untuk mengklaim wilayah landas kontinen yang pada waktu itu
dirundingkan oleh kedua Negara pada tahun 1969. Hal ini dipicu oleh keluarnya
Konvensi Jenewa 1959 tentang Landas Kontinen yang membuat aturan baru tentang
lebar landas kontinen yang diukur dari garis pangkal, yang dalam ini berarti
bahwa jika salah satu negara memiliki kedua pulau tsb maka akan semakin besar
wilayah landas kontinen yang diperolehnya.
Kesimpulan
Menurut
pengamatan penulis, upaya Indonesia untuk mengumpulkan bukti serta merumuskan
argumentasinya kepada Mahkamah dalam
perkara ini sudah cukup baik dan tidak melihat adanya dalil dan argumentasi
yang lebih baik dari itu. Kekalahan Indonesia bukan terletak pada lemahnya
argumentasi, namun bersumber dari, pertama,
Indonesia tidak beruntung karena argumentasi garis Konvensi Perjanjian
1891 yang selama ini menjadi “kartu as” Indonesia ternyata tidak menarik
perhatian Mahkamah. Hal ini bukan karena lemahnya argumentasi Indonesia tapi
karena pertimbangan juridis yang dipilih oleh Mahkamah berdasarkan hukum
internasional positif sangat berbeda dengan yang diharapkan oleh Indonesia. Mahkamah cenderung
menempatkan praktek negara (effektivite)
ketimbang dokumen perjanjian. Aliran ini
sangat dikenal dalam sistem hukum anglo-saxon. Kedua, Indonesia tidak
memiliki bukti sejarah yang memadai untuk memperkuat argumentasinya dalam soal efektivite, kalaupun bukti itu ada,
bukti Malaysia ternyata lebih
meyakinkan. Hal ini bukan karena kesalahan Indonesia atau kehebatan
Malaysia melainkan karena kesalahan kolonial Belanda dan kehebatan Inggris
karena proses effektivite ini bukan
dimulai sejak tahun 1969 melainkan oleh Inggris sudah sejak tahun 1917. Dalam
hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969, misalnya
menduduki kedua pulau tsb, tetap tidak akan dapat menghapus effektivite
Inggris/Malaysia. Itulah
sebabnya, kekalahan Indonesia di
Mahkamah tidak dapat disebut sebagai kehilangan pulau karena berdasarkan alur
pikiran keputusan Mahkamah, Indonesia tidak pernah memiliki kedua pulau itu dan
dengan demikian tidak mungkin dinyatakan kehilangan.
Pasca
Keputusan Mahakmah ditandai dengan reaksi yang beragam di kalangan publik
Indonesia Keanekaragaman reaksi ini pada umumnya didasarkan pada bagaimana
publik memahami perkara ini dari berbagai sisi, ada yang pada tataran yang
heroik sampai pada tataran yang rational, mulai dari yang memahami pada
perspektif nasionalisme ke pemahaman yang lebih legalistis. Namun patut
disayangkan bahwa wacana publik tentang perkara hukum ini cenderung menjauhi
fakta-fakta hukum serta mengabaikan beberapa elemen yang anatomis, yang mungkin
karena didekati secara non-legalistis menjadi tidak relevan dan cenderung
distorsi. Pertama, terdapat anggapan bahwa diplomasi Indonesia yang lemah
mengakibatkan Indonesia kalah di Mahkamah. Secara juridis padandangan ini
menjadi contradiction in termini karena
diplomasi dan mahkamah adalah dua konsep yang berbeda dan tidak boleh dalam suatu
rubrik. Mahkamah
adalah forum pengadilan dimana argumentasi hukum adalah yang utama. Sedangkan
diplomasi adalah forum politik dimana pendekatan politik lebih dikedepankan.
Mahkamah tidak mungkin dan tidak boleh di diplomasi. Namun kedua konsep ini
bisa terkait dalam pengertian diplomacy
stops when the case brought to the court. Oleh sebab itu mempesoalkan diplomasi
Indonesia dalam konteks ini menjadi tidak relevan. Point yang justru menarik
jika ingin dikaji dari segi diplomasi adalah pada periode sebelum perkara ini
diputuskan untuk diadili di Mahkamah (1997), yaitu mengapa Indonesia mengambil
keputusan politik untuk membaha kasus ini ke dalam penyelesaian hukum.
Distorsi
kedua adalah wacana publik yang mengesankan bahwa pulau-pulau terluar lainnya
akan mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan jika tidak pelihara. Wacana
ini sangat keliru karena karena kasus ini adalah satu-satunya perkara title to territory yang dimiliki oleh
Indonesia sebagai warisan kolonial, dan tidak ada lagi status pulau Indonesia
yang memiliki overlapping claim. Pulau
terakhir yang nyaris mengalami nasib yang sama (namun tidak mirip) adalah Pulau
Batek namun setelah mendengar argumentasi Indonesia, Timor Leste tidak
melanjutkan “soft claim”-nya terhadap pulau tsb. Dalam hal ini maka sudah dapat
dipastikan bahwa tidak ada lagi pulau bermasalah (dalam pengertian disputed/overlapping claim) antara
Indonesia dengan Negara-negara tetangga. PP 38 tahun 2000 tentang titik-titik
dasar garis pangkal kepulauan RI merupakan salah satu instrumen hukum yang
mengokohkan pulau-pulau terluar sebagai pagar-pagar batas NKRI. Persoalan
yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini bukanlah persoalan kepemilikan wilayah
(titile to territory) melainkan
persoalan delimitasi batas maritim.
Kekuatiran
dicaploknya pulau terluar Indonesia juga didasari oleh pemahaman yang
mencampuradukkan konsep titile to
territory dengan konsep delimitasi batas laut. Persoalan Sipadan dan
Ligitan adalah persoalan siapa pemilik kedua pulau itu (title) bukan persoalan penetapan garis batas (delimitasi). Kedua
konsep ini memang terkait karena batas zona laut diukur dari daratan/pulau
sehingga garis perbatasan maritime tidak mungkin ditetapkan jika daratan/pulau
tsb belum diketahui siapa pemiliknya. Itulah sebabnya, Indonesia dan Malaysia
baru dapat merundingkan batas zona laut di Laut Sulawesi setelah persoalan
kepemilikan kedua Pulau itu dituntaskan. Konflik kedua Negara tentang Blok
Ambalat 2005 bukan kasus kepemilikan pulau (karena Ambalat bukan pulau tetapi
wilayah dasar laut) melainkan persoalan delimitasi landas kontinen yang karena
belum ada garis batas antar kedua Negara, Malaysia mencoba mengklaim wilayah
itu sebagai bagian dari landas kontinennya.
Skenario
terburuk yang mungkin dapat dibayangkan tentang kemungkinan pencaplokan pulau
terluar adalah jika Negara asing melakukan invasi atau pendudukan dengan
kekuatan bersenjata. Hal ini agak sulit terjadi karena pada era hukum internasional
saat ini perolehan wilayah dengan melalui invasi atau apa pun modusnya tidak
dapat dibenarkan. Pengalaman RI dengan Timtim sudah cukup membuktikan bahwa
perolehan wilayah harus didasarkan pada hukum internasional yang berlaku. Modus
penentuan nasib sendiri (Self
Determination) yang dicoba untuk dikembangkan oleh Indonesia sebagai dasar
mengintegrasikan Timtim ke Indonesia ternyata tidak diterima oleh masyarakat
internasional. Sayangnya publik Indonesia melihat kasus ini sebagai momok yang
menakutkan untuk lepasnya pulau-pulau lain bukan justru melihatnya sebagai
faktor yang semakin meyakinkan bahwa perolehan wilayah harus berdasarkan hukum
dan dengan demikian pulau-pulau terluar Indonesia dilindungi oleh hukum
internasional.
Sekalipun
persoalan title sudah tuntas dan
masalah utama adalah delimitasi, bukanlah berarti pulau-pulau terluar boleh
dibiarkan terlantar. Pulau-pulau terluar harus dipelihara dan bahkan perlu
adanya kehadiran administrasi Negara. Pemeliharan ini perlu bukan karena
kekuatiran akan dicaplok oleh pihak asing namun karena kekuatiran akan
terjadinya disintegrasi sosial/budaya, ekonomi dan politik di masyarakt
setempat. Indonesia perlu memelihara pulau Miangas karena adanya kekuatiran
bahwa masyarakat setempat akan lebih mencintai Peso dan bahasa Tagalog
ketimbang Rupiah dan bahasa Indonesia. Indonesia tidak perlu kuatir Pulau
Miangas dicaplok oleh negara asing karena pulau ini adalah satu-satunya pulau
dimana Indonesia memiliki “sertifikat internasional”. Semua ahli hukum
internasional dan masyarakat internasional mengetahui bahwa pulau ini milik
Indonesia karena kasus pulau Miangas antara AS dan Belanda yang diputuskan oleh
PCA tahun 1928 merupakan kasus yang dikenal oleh dunia ilmu hukum
internasional.
****