Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Mahkamah Internasional dalam sidangnya tgl. 17 Desember 2002 telah mengeluarkan keputusan penting tentang status kepemilikian (title)  pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya Malaysia, atau yang dikenal dengan prinsip efektivite..

Keputusan itu diambil setelah semua proses hukum acara di Mahkamah dilalui, yaitu dimulai dari pendaftaran perkara oleh kedua negara (2 November 1998), penyampaian argumentasi tertulis dari masing-masing pihak yaitu memorial (2 November 1999), counter memorial (2 Agustus 2000), reply (2 Maret 2002), dan diakhiri dengan penyampaian argumen secara lisan/hearing (2-13 Juni 2002).

Ditengah-tengah proses acara tersebut, muncul pula upaya hukum lain yang dilakukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina (13 Maret 2001)  terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina  dimungkinkan untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Menurut Filipina,  perkara ini ditenggarai akan dikaitkan oleh Malaysia dengan Grant Sultan Sulu (kesultanan yang dahulu berlokasi di wilayah Filipina saat ini) tahun 1878 yang oleh Filipina juga merupakan dasar terhadap klaimnya selama ini versus Malaysia atas wilayah Sabah.  Namun dalam keputusannya pada tgl. 23 Oktober 2001, Mahkamah menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini yang patut ditenggarai akan terkena dampak akibat keputusan Mahkamah.

Apa yang menjadi dasar keputusan Mahkamah terhadap perkara Sipadan dan Ligitan tanggal 17 Desember 2002 menjadi cukup menarik mengingat  kasus ini bersifat kompleks dan bahkan memancing spekulasi di kalangan pengamat tentang bagaimana kasus ini berakhir. Baik Malaysia maupun Indonesia sama-sama menunjukkan sikap “low profile” dalam menyongsong keputusan ini mengingat kedua pihak juga menyadari bahwa keputusan Mahkamah tidak mungkin dapat diduga. Menlu RI sendiri secara tepat menggambarkan bahwa kemungkinan Indonesia memenangkan perkara ini adalah fifty-fifty. Pendekatan realistis ini didasari pada fakta bahwa kedua negara sama-sama tidak memiliki kartu yang telak untuk memenangkan perkara ini. Keduanya memiliki bukti yang sama kuat sekaligus sama lemahnya sehingga keduanya cenderung bersikap optimis sekaligus pesimis.

Letak geografis kedua pulau yang „remote“ dan  berada di perairan perbatasan, serta minimnya data-data sejarah tentang kedua pulau tsb, ditambah lagi dengan fakta sejarah bahwa para kesultanan terdahulu tidak pernah menggambarkan secara jelas batas-batas wilayah kerajaannya, mengakibatkan perkara ini menjadi sangat spekulatif. Masalah ini menjadi lebih rumit lagi mengingat kedua pulau yang karakteristik sejarahnya adalah bekas wilayah kerajaan di dunia timur akan diukur serta dan dinilai berdasarkan hukum internasional modern yang bersendikan hukum barat. Kompleksitas yang mengitari perkara ini sudah cukup untuk membuat perkara ini jauh dari „predictable“.

Setelah kedua negara secara exhausted memaparkan sedapat mungkin argumentasi hukumnya yang sama-sama kuat dan juga lemah, para hakim Mahkamah selanjutnya memilih dasar dan alur pertimbangan tersendiri, yaitu memeriksa terlebih dahulu apakah ada akar kepemilikan (original title) berdasarkan dokumen formal (treaty based title) atau dalam bahasa sehari-harinya semacam „sertifikat tanah“ yang cukup meyakinkan dari kedua pihak terhadap kedua pulau tsb, dan jika tidak ada maka Mahkamah akan menoleh kepada asas efektivite, yaitu pihak mana yang lebih efektif mengadministrasikan kedua pulau tsb. Hal ini sesuai dengan hukum positif tentang territory yang dikembangkan dalam jurisprudensi Mahkamah, yang pada prinsipnya mengatur bahwa jika tidak ada dasar kepemilikan (title) maka asas efektivite perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini Mahkamah ternyata tidak menemukan adanya  akar kepemilikan baik pada Indonesia yang mengandalkan pada Perjanjian 1891 dan Sultan Bulungan maupun pada Malaysia yang mengandalkan pada berbagai perjanjian pada era kolonial Spanyol dan Amerika Serikat di Filipina.

Dalam hal ini mahkamah tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada  Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada pasal IV menyebutkan bahwa  garis batas  kedua negara adalah dari garis lintang 4E 10' di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tsb, yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, Perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai Perjanjian wilayah laut. Sekalipun garis itu melintasi laut maka tidak mungkin melebihi 3 mile seperti yang ditetapkan oleh hukum laut internasional pada waktu itu. Dengan ditolaknya pernjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi kartu yang dapat diandalkan oleh Indonesia.

Selanjutnya menurut Mahkamah, tidak ada satupun argumentasi maupun dokumen yang cukup meyakinkan bahwa kedua pulau itu dulunya milik Sultan Sulu atau Sultan Bulungan, artinya, berbeda dengan pendapat kedua pihak,  kedua pulau itu sebelum diadministrasikan oleh Inggris/Malaysia adalah berstatus tanpa pemilik atau terrae nullius. Dalam hukum internasonal, wilayah yang belum ada pemiliknya (tidak ada title suatu negara) terbuka untuk dimiliki oleh setiap negara, yang dalam hal ini telah dilakukan oleh Inggris/Malaysia melalui prinsip efektivite. Melalui alur inilah Malaysia dinilai lebih dapat meyakinkan mahkamah tentang kepemilikannya atas kedua pulau tsb.

Latar Belakang Perkara Sipadan dan Ligitan


Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada waktu dilangsungkan perundingan antara Indonesia dan Malaysia mengenai penetapan batas landas kontinen kedua negara yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1969. Dalam perundingan itu tidak ada kesesuaian pendapat antara Indonesia dan Malaysia mengenai status kepemilikan kedua pulau yang terletak di sebelah selatan ujung timur Kalimantan.
Untuk menyelesaikan masalah ini kedua negara selanjutnya telah melakukan serangkaian perundingan bilateral yang panjang, baik dalam forum yang bersifat umum yaitu Komisi Bersama (Joint Commission) maupun dalam forum yang secara khusus membahas masalah ini yaitu   Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Group) namun tetap tidak membuahkan kesepakatan.

Mengingat penyelesaian masalah atas Pulau Sipadan dan Ligitan melalui argumentasi hukum di forum Kelompok Kerja Bersama  (1992 s/d 1994) telah mencapai titik jenuh, maka  kedua kepala negara/pemerintahan sepakat melanjutkan pembahasannya pada tingkat politis yang  bersifat informal dengan menunjuk wakil khusus masing‑masing. Dalam hubungan ini, mereka telah menunjuk juru runding masing‑masing yakni Menteri Sekretaris Negara Rl Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato' Seri Anwar Ibrahim guna mengupayakan penyelesaian berdasarkan semangat bertetangga secara baik.

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam dalam empat pertemuan terpisah, kedua juru runding berkesimpulan bahwa sangat sulit untuk menyelesaikan masalah Pulau Sipadan dan Ligitan secara bilateral. Berdasarkan hal tersebut, kedua juru runding sepakat merekomendasikan kepada Kepala Negara/Pemerintahan masing‑masing untuk mempertimbangkan upaya penyelesaian melalui Mahkamah Internasional.

Perkara Sipadan dan Ligitan telah melewati tahap-tahap yang selama ini dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa secara damai (the law of peaceful settlement of dispute), yang dimulai dari proses penyelesaian damai bilateral tingkat teknis, kemudian bergeser ke perundingan tingkat politis, dan pada akhirnya menggunakan penyelesaian melalui pihak ketiga (Mahkamah Internasional).

Argumentasi para Pihak dan Pertimbangan Mahkamah

Dalam berbagai jurisprudensi kasus-kasus di Mahkamah Internasional  yang menyangkut masalah dasar kepemilikan atas suatu wilayah (title to territory), esensi dasar yang harus dikemukakan kepada para hakim adalah apa yang oleh hukum internasional disebut „modes of territorial aacquisition, yaitu apa dasarnya suatu negara mengklaim wilayah (pulau) tsb. Oleh sebab itu, baik Indonesia maupun Malaysia dengan serinci mungkin memaparkan semua fakta dan argumennya tentang tentang kepemilikan masing-masing atas kedua pulau tsb.

Modus adu argumentasi hukum oleh kedua pihak di Mahkamah, seperti pada umumnya pada setiap perkara di pengadilan, pada umumnya  diwarnai oleh pola yang baku. Pertama, masing-masing pihak memaparkan dasar kepemilikan atas kedua pulau tsb mulai dari yang sifatnya politis sampai pada paparan yang teknis juridis. Kedua, masing-masing akan menyerang dan memperlemah dasar-dasar  pihak lawan. Dalam hal ini, keahlian dan kemampuan para pengacara masing-masing pihak sangat menentukan.

Indonesia mencoba meyakinkan Mahkamah bahwa Perjanjian 1891 yang menarik garis lintang 4E 10' ke arah Timur Kalimantan secara jelas telah menempatkan kedua pula itu sebagai milik Belanda. Menurut Hakim Adhoc Franck, satu-satunya hakim yang menentang putusan Mahkamah, seharusnya Mahkmah menempatkan Perjanjian ini sebagai satu-satunya instrumen yang dapat mengindikasikan status kedua pulau tsb karena dokumen dan bukti-bukti  lainnya tidak sejelas Perjanjian ini untuk maksud itu. Oleh sebab itu, menurut hakim Franck, seharusnya pertimbangan effektivite  belum relevan untuk dipertimbangkan. Namun  mayoritas hakim tampaknya melakukan penafsiran terhadap Perjanjian ini berdasarkan ketentuan tentang penafsiran menurut Konvensi Wina 1969, yaitu meneliti teks dan maksud si pembuat perjanjian, dalam hal ini para hakim menilai  bahwa garis itu adalah garis batas darat dan tidak ada maksud pembuat perjanjian bahwa garis itu untuk mengalokasikan pulau-pulai di sebelah Timur.

Esensi argumentasi Malaysia mengenai dasar title atas kedua pulau tersebut adalah pada dua alur fikiran yang oleh Malaysia dinilai masing-masing berdiri sendiri namun juga saling berkaitan (two independent but also intersecting strands),  yaitu pertama, kedaulatan atas kedua pulau tersebut diperoleh dari serangkaian transaksi internasional yang dikombinasikan sedemikian rupa, yang dimulai dari Grant Sultan Sulu kepada British North Borneo Company (BNBC) tahun 1878, Pengakuan Spanyol melalui perjanjian 1885, Perjanjian AS-Inggris tahun 1907, dan Perjanjian AS-Inggris tahun 1930.

Kedua, kedaulatan atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus telah mengadministrasikan  kedua pulau tersebut. Di lain pihak, Belanda dan kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau tersebut sampai pada tahun 1969. Rangkaian argumen inilah yang  dikenal dengan istilah effektivite.

Dalam hal ini Indonesia telah memanfaatkan kejelimetan alur pikiran Malaysia dianggap tidak yakin dari mana akar title-nya diperoleh. Sebagai bagian dari teknik pembelaan, Indonesia bahkan membuat argumentasi Malaysia menjadi lebih kompleks dengan menyatakan bahwa alur pikiran Malaysia sebenarnya bukan dua strands, tetapi justru tiga strands. Pertama,  rangkaian transaksi  Sulu--BNBC--Inggris--Malaysia. Kedua,  Sulu–Spanyol–Amerika Serikat-Inggris–Malaysia. Ketiga, effective control Malaysia atas kedua pulau tersebut (efectivite). Ketiga alur ini tidak konsisten dan saling bertentangan, karena tidak mungkin kedua pulau tsb dalam waktu yang bersamaan dimiliki oleh dua negara yang berbeda (BNBC/Inggris atau Amerika/Spanyol). Selanjutnya Indonesia juga telah memperdayai kebingungan Malaysia dengan menyerang Malaysia sebagai pihak yang mendasarkan kepemilikannya atas suatu perbuatan yang tidak sah. Di satu pihak, menurut Malaysia,  Grant Sultan kepada Overbeck dan Den yang (kemudian BNBC) mencakup pulau-pulau di dalam batas 9 nm dari pantai namun di lain pihak diakui bahwa BNBC menganggap Grant tersebut mencakup kedua pulau yang lokasinya di luar 9 nm. Dengan demikian berdasarkan alur pikiran ini BNBC secara ilegal memiliki kedua pulau tersebut dan dalam konsekuensinya Malaysia mendasarkan title-nya pada perbuatan BNBC yang ilegal itu.

Sekalipun akibat serangan argumentasi ini  Malaysia sedikit banyak melakukan reposisi dalam argumen selanjutnya di Mahkamah, namun sayangnya Mahkamah menilai bahwa masalah akar kepemilikan ini tidak penting karena tidak ada yang meyakinkan dan justru, sebagai konsekuensi tidak adanya title ini,  lebih tertarik dengan argumentasi Malaysia tentang  effektivite,  yaitu bahwa sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus telah mengadministrasikan  kedua pulau tersebut dan Belanda kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau tersebut sampai pada tahun 1969.

Dalam pertimbangannya tentang prinsip effektivite ini Mahkamah menilai antara lain bahwa Indonesia tidak pernah menerapkan kekuasaan legislatifnya atas kedua pulau tsb dan bahkan UU No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tidak menempatkan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal kepulauan Indonesia.  Argumentasi Indonesia tentang patroli kapal patroli Belanda Lynk di perairan itu juga tidak cukup meyakinkan Mahkamah bahwa Belanda memiliki kedaulatan. Demikian juga halnya dengan nelayan tradisional Indonesia yang menurut Indonesia telah lama menangkap ikan di perairan itu, menurut Mahkamah adalah kegiatan individu dan tidak mencerminkan kegiatan publik yang dapat meciptakan efektivite.

Berbeda dengan Indonesia, bukti efektivite  Malaysia atas kedua pulau tsb lebih jelas dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tsb misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perijinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Sipadan dan Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Kesemua fakta sejarah ini sudah cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatnya atas kedua pulau tsb dan sudah cukup membuktikan adanya efektivite untu syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu.

Keputusan Mahkamah sudah final dan Indonesia melalui Menlu RI telah menyatakan komitmen untuk menerima keputusan tsb sebagai konsekuensi juridis dari perjanjian khusus (special agreement 1997) kedua Negara yang sepakat untuk membawah masalah ini ke Mahkamah dan menerima apa pun keputusan Mahkamah.

Dengan keluarnya keputusan ini maka masalah yang tersisa adalah melanjutkan perundingan tentang batas landas kontinen di wilayah laut Kalimantan yang terhenti pada tahun 1969 akibat kasus kedua pulau ini. Dalam kaitan ini, menarik sekali pendapat Hakim Oda dalam deklarasinya yang terlampir dalam Keputusan Mahkamah ini, yang menyebutkan bahwa sebenarnya kedua negara tidak tertarik untuk mengklaim kedua pulau kecil tsb sampai pada tahun 1960.  Dorongan untuk mengklaim kedua pulau ini lebih banyak didasari atas motivasi untuk mengklaim  wilayah landas kontinen yang pada waktu itu dirundingkan oleh kedua Negara pada tahun 1969. Hal ini dipicu oleh keluarnya Konvensi Jenewa 1959 tentang Landas Kontinen yang membuat aturan baru tentang lebar landas kontinen yang diukur dari garis pangkal, yang dalam ini berarti bahwa jika salah satu negara memiliki kedua pulau tsb maka akan semakin besar wilayah landas kontinen yang diperolehnya.

Kesimpulan

Menurut pengamatan penulis, upaya Indonesia untuk mengumpulkan bukti serta merumuskan argumentasinya  kepada Mahkamah dalam perkara ini sudah cukup baik dan tidak melihat adanya dalil dan argumentasi yang lebih baik dari itu. Kekalahan Indonesia bukan terletak pada lemahnya argumentasi, namun bersumber dari, pertama,  Indonesia tidak beruntung karena argumentasi garis Konvensi Perjanjian 1891 yang selama ini menjadi “kartu as” Indonesia ternyata tidak menarik perhatian Mahkamah. Hal ini bukan karena lemahnya argumentasi Indonesia tapi karena pertimbangan juridis yang dipilih oleh Mahkamah berdasarkan hukum internasional positif sangat berbeda dengan yang diharapkan oleh Indonesia. Mahkamah cenderung menempatkan praktek negara (effektivite) ketimbang dokumen perjanjian. Aliran ini  sangat dikenal dalam sistem hukum anglo-saxon. Kedua, Indonesia tidak memiliki bukti sejarah yang memadai untuk memperkuat argumentasinya dalam soal efektivite, kalaupun bukti itu ada, bukti Malaysia ternyata lebih  meyakinkan. Hal ini bukan karena kesalahan Indonesia atau kehebatan Malaysia melainkan karena kesalahan kolonial Belanda dan kehebatan Inggris karena proses effektivite ini bukan dimulai sejak tahun 1969 melainkan oleh Inggris sudah sejak tahun 1917. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969, misalnya menduduki kedua pulau tsb, tetap tidak akan dapat menghapus effektivite  Inggris/Malaysia.  Itulah sebabnya,  kekalahan Indonesia di Mahkamah tidak dapat disebut sebagai kehilangan pulau karena berdasarkan alur pikiran keputusan Mahkamah, Indonesia tidak pernah memiliki kedua pulau itu dan dengan demikian tidak mungkin dinyatakan kehilangan.

Pasca Keputusan Mahakmah ditandai dengan reaksi yang beragam di kalangan publik Indonesia Keanekaragaman reaksi ini pada umumnya didasarkan pada bagaimana publik memahami perkara ini dari berbagai sisi, ada yang pada tataran yang heroik sampai pada tataran yang rational, mulai dari yang memahami pada perspektif nasionalisme ke pemahaman yang lebih legalistis. Namun patut disayangkan bahwa wacana publik tentang perkara hukum ini cenderung menjauhi fakta-fakta hukum serta mengabaikan beberapa elemen yang anatomis, yang mungkin karena didekati secara non-legalistis menjadi tidak relevan dan cenderung distorsi. Pertama, terdapat anggapan bahwa diplomasi Indonesia yang lemah mengakibatkan Indonesia kalah di Mahkamah. Secara juridis padandangan ini menjadi contradiction in termini karena diplomasi dan mahkamah adalah dua konsep yang berbeda dan tidak boleh dalam suatu rubrik. Mahkamah adalah forum pengadilan dimana argumentasi hukum adalah yang utama. Sedangkan diplomasi adalah forum politik dimana pendekatan politik lebih dikedepankan. Mahkamah tidak mungkin dan tidak boleh di diplomasi. Namun kedua konsep ini bisa terkait dalam pengertian diplomacy stops when the case brought to the court.  Oleh sebab itu mempesoalkan diplomasi Indonesia dalam konteks ini menjadi tidak relevan. Point yang justru menarik jika ingin dikaji dari segi diplomasi adalah pada periode sebelum perkara ini diputuskan untuk diadili di Mahkamah (1997), yaitu mengapa Indonesia mengambil keputusan politik untuk membaha kasus ini ke dalam penyelesaian hukum.

Distorsi kedua adalah wacana publik yang mengesankan bahwa pulau-pulau terluar lainnya akan mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan jika tidak pelihara. Wacana ini sangat keliru karena karena kasus ini adalah satu-satunya perkara title to territory yang dimiliki oleh Indonesia sebagai warisan kolonial, dan tidak ada lagi status pulau Indonesia yang memiliki overlapping claim. Pulau terakhir yang nyaris mengalami nasib yang sama (namun tidak mirip) adalah Pulau Batek namun setelah mendengar argumentasi Indonesia, Timor Leste tidak melanjutkan “soft claim”-nya terhadap pulau tsb. Dalam hal ini maka sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi pulau bermasalah (dalam pengertian disputed/overlapping claim) antara Indonesia dengan Negara-negara tetangga. PP 38 tahun 2000 tentang titik-titik dasar garis pangkal kepulauan RI merupakan salah satu instrumen hukum yang mengokohkan pulau-pulau terluar sebagai pagar-pagar batas NKRI.  Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini bukanlah persoalan kepemilikan wilayah (titile to territory) melainkan persoalan delimitasi batas maritim.

Kekuatiran dicaploknya pulau terluar Indonesia juga didasari oleh pemahaman yang mencampuradukkan konsep titile to territory dengan konsep delimitasi batas laut. Persoalan Sipadan dan Ligitan adalah persoalan siapa pemilik kedua pulau itu (title) bukan persoalan penetapan garis batas (delimitasi). Kedua konsep ini memang terkait karena batas zona laut diukur dari daratan/pulau sehingga garis perbatasan maritime tidak mungkin ditetapkan jika daratan/pulau tsb belum diketahui siapa pemiliknya. Itulah sebabnya, Indonesia dan Malaysia baru dapat merundingkan batas zona laut di Laut Sulawesi setelah persoalan kepemilikan kedua Pulau itu dituntaskan. Konflik kedua Negara tentang Blok Ambalat 2005 bukan kasus kepemilikan pulau (karena Ambalat bukan pulau tetapi wilayah dasar laut) melainkan persoalan delimitasi landas kontinen yang karena belum ada garis batas antar kedua Negara, Malaysia mencoba mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari landas kontinennya.

Skenario terburuk yang mungkin dapat dibayangkan tentang kemungkinan pencaplokan pulau terluar adalah jika Negara asing melakukan invasi atau pendudukan dengan kekuatan bersenjata. Hal ini agak sulit terjadi karena pada era hukum internasional saat ini perolehan wilayah dengan melalui invasi atau apa pun modusnya tidak dapat dibenarkan. Pengalaman RI dengan Timtim sudah cukup membuktikan bahwa perolehan wilayah harus didasarkan pada hukum internasional yang berlaku. Modus penentuan nasib sendiri (Self Determination) yang dicoba untuk dikembangkan oleh Indonesia sebagai dasar mengintegrasikan Timtim ke Indonesia ternyata tidak diterima oleh masyarakat internasional. Sayangnya publik Indonesia melihat kasus ini sebagai momok yang menakutkan untuk lepasnya pulau-pulau lain bukan justru melihatnya sebagai faktor yang semakin meyakinkan bahwa perolehan wilayah harus berdasarkan hukum dan dengan demikian pulau-pulau terluar Indonesia dilindungi oleh hukum internasional.

Sekalipun persoalan title sudah tuntas dan masalah utama adalah delimitasi, bukanlah berarti pulau-pulau terluar boleh dibiarkan terlantar. Pulau-pulau terluar harus dipelihara dan bahkan perlu adanya kehadiran administrasi Negara. Pemeliharan ini perlu bukan karena kekuatiran akan dicaplok oleh pihak asing namun karena kekuatiran akan terjadinya disintegrasi sosial/budaya, ekonomi dan politik di masyarakt setempat. Indonesia perlu memelihara pulau Miangas karena adanya kekuatiran bahwa masyarakat setempat akan lebih mencintai Peso dan bahasa Tagalog ketimbang Rupiah dan bahasa Indonesia. Indonesia tidak perlu kuatir Pulau Miangas dicaplok oleh negara asing karena pulau ini adalah satu-satunya pulau dimana Indonesia memiliki “sertifikat internasional”. Semua ahli hukum internasional dan masyarakat internasional mengetahui bahwa pulau ini milik Indonesia karena kasus pulau Miangas antara AS dan Belanda yang diputuskan oleh PCA tahun 1928 merupakan kasus yang dikenal oleh dunia ilmu hukum internasional.


****
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hukum Online, Selasa 16 Februari 2016


Adu Norma di Laut Tiongkok Selatan Oleh: Damos Dumoli Agusman *)
Kapal Perang AS ‘pura-pura’ melintas di perairan LTS dengan mendekati pulau-pulau yang diperebutkan oleh negara di kawasan. Tujuannya untuk memastikan bahwa norma tentang kebebasan navigasi yang dijamin oleh UNCLOS dihormati oleh siapa pun pemilik pulau itu.
RED
Dibaca: 45 Tanggapan: 0
Adu Norma di Laut Tiongkok Selatan Oleh: Damos Dumoli Agusman *)
Foto: Koleksi Penulis
Melintasnya Kapal Perang AS (USS Curtis Wilbur) mendekati Pulau Triton di gugusan Parcel di  Laut Tiongkok Selatan (LTS) akhir Januari 2016 kembali memantik pertikaian terbuka antara Tiongkok dan AS. Terlepas dari konflik antara kedua negara di kawasan ini, kelihatannya LTS saat ini bukan hanya menjadi ajang perebutan pulau oleh negara di kawasan melainkan juga sebagai ajang untuk menguji norma UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 oleh negara-negara yang berkepentingan. Dalam perkara gugatan Filipina terhadap Tiongkok pada Arbitrasi di Den Haag, UNCLOS saat ini sedang diuji yakni antara lain apakah normanya merestui 9 garis putus (9 dash lines) yang ditoreh oleh Tiongkok di peta klaimnya yang konon hampir menutup 2/3 wilayah LTS. Arbitrase akan mengeluarkan putusannya tahun 2016 ini.
 
Uji norma di peradilan adalah lumrah. Namun belakangan ini uji norma UNCLOS justru terjadi di laut. Saat ini uji norma telah mengarah ke ‘adu norma’. Untuk kesekian kalinya AS melakukan apa yang disebut fredom of navigation operation program (FONOP) di LTS. Kapal Perang AS ‘pura-pura’ melintas di perairan LTS dengan mendekati pulau-pulau yang diperebutkan oleh negara di kawasan. Tujuannya untuk memastikan bahwa norma tentang kebebasan navigasi yang dijamin oleh UNCLOS dihormati oleh siapa pun pemilik pulau itu.
 
Namun lebih dari itu, AS sebenarnya sedang gusar dengan reklamasi pulau/karang di LTS oleh Tiongkok dan ‘bingung’ bagaimana melarangnya. AS menyadari bahwa kegiatan reklamasi itu sendiri tidak melanggar norma apa pun. Melarang Tiongkok untuk melakukan reklamasi dengan dalih bahwa itu bukan miliknya akan berkomplikasi pada posisi netral AS selama ini karena dengan demikian AS telah memihak dalam persoalan sengketa pulaunya. Satu-satunya dalih adalah imbauan kepada Tiongkok untuk ‘menahan diri’ dengan alasan bahwa reklamasi ini akan berpotensi meningkatkan konflik. Ini alasan politik bukan alasan hukum. Aktivitas reklamasi Tiongkok ini mungkin melanggar hukum jika ternyata merusak lingkungan lingkungan laut berdasarkan norma UNCLOS. Soal ini sudah termasuk materi gugatan oleh Filipina melawan Tiongkok di Arbitrase yang saat ini sedang berlangsung. 
 
Konon, menurut AS, operasi uji norma di laut ini adalah operasi rutin dan dilakukan hampir di semua kawasan dunia. Namun karena dilakukan di LTS maka uji norma ini menjadi terkomplikasi dengan konflik di LTS itu sendiri. AS sendiri bersikeras bahwa operasi ini bukan bentuk pemihakan kepada suatu negara terkait perebutan pulau namun murni untuk memastikan dihormatinya kebebasan navigasi. Tiongkok bereaksi keras terhadap AS.
 
Bagi pengamat hukum laut, uji norma ini menjadi menarik. FONOP pertama bulan Oktober 2015, Kapal USS Lassen sengaja ‘berpura-pura” masuk kedalam wilayah 12 mil pulau buatan Tiongkok Subi Reef. Operasi ini justru sedang menguji status Subi Reefyang sedang digugat oleh Filipina di Arbitrasi. Kata Filipina, karang ini adalah elevasi surut yang tertelan laut pada saat pasang. Artinya karang ini adalah bagian dari laut dan tidak berhak atas 12 mil laut teritorial sesuai kata UNCLOS. AS sependapat dengan dalil Filipina ini dan kemudian mengujinya dengan berlayar bebas di perairan ini dan memperlakukannya sebagai laut bebas. Tentu saja aksi ini membuat murka Tiongkok. Dapat dibayangkan betapa rentannya pulau buatan Tiongkok yang telah dilengkapi dengan fasilitas landasan udara ini, jika ternyata oleh negara lain diperlakukan sebagai bagian dari laut bebas.
 
Hajatan USS Lassen kelihatannya kental diarahkan ke Tiongkok dan terlalu membela Filipina khususnya gugatannya di Arbitrasi. Untuk itu AS baru-baru ini melakukan FONOP berikutnya melalui USS Curtis Wilbur yang melintasi Pulau Triton di gugusan Parcel. Operasi ini dikemas agak netral. Pertama, berbeda dengan yang terdahulu, operasi ini diarahkan ke semua negara yang mengklaim Pulau Triton. Negara yang mengklaim pulau ini bukan hanya Tiongkok melainkan juga Vietnam dan Taiwan, dan kebetulan tidak termasuk Filipina. Pesan yang tersirat adalah bahwa FONOP kali ini menargetkan semua perairan laut  yang relevan tanpa peduli siapa pemiliknya, mengurangi kesan bahwa AS hanya ingin menarget Tiongkok.  
 
Kedua, operasi ini dilakukan secara diam-diam dan katanya berlangsung saat tidak ada kapal militer Tiongkok di sekitar pulau itu. Walaupun konon katanya Tiongkok mengklaim bahwa Angkatan Udara-nya berhasil “memberi peringatan dan mengusir Kapal AS ini keluar dari laut teritorialnya”. AS tampaknya ingin memberi pesan bahwa pihaknya bukan bermaksud membuat keributan di LTS, apalagi dengan Tiongkok, melainkan hanya ingin menguji norma hukum laut tanpa harus konflik terbuka.
 
Di balik aksi dan reaksi kedua negara adidaya ini sebenarnya sedang terjadi ‘adu norma’, yaitu pembentukan norma yang masih “janin” yang tampaknya sedang digadang-gadang oleh Tiongkok namun dibendung oleh AS. Oleh AS reklamasi karang ini dikhawatirkan pada akhirnya memberi hak bagi Tiongkok untuk mengklaim laut teriotrial dan ZEE yang ditarik dari pulau-pulau palsunya. Lalu lalangnya kapal militer AS di LTS  ini dimaksudkan untuk menahan agar ‘janin’ norma ini tidak mengkristal. AS mengedepankan UNCLOS, pertama, elevasi surut (karang yang muncul ke permukaan pada saat air surut) adalah bagian dari laut dan tidak berhak atas laut teritorial. Kedua, karang yang tidak dapat menopang kehidupan manusia tidak berhak atas ZEE. Berdasarkan norma UNCLOS ini maka AS berpendapat bahwa reklamasi dengan membangun pulau buatan di atas elevasi surut maupun karang sama sekali tidak menjadikannya sebagai ‘pulau’ sebagai yang dimaksud oleh UNCLOS. Artinya, pulau palsu ini tidak berhak mendapatkan laut teritorial (jika dibangun di atas elevasi surut) atau ZEE (jika di atas karang).
 
Tiongkok sendiri berkali-kali meyakinkan dunia bahwa pihaknya menghormati kebebasan navigasi di LTS. Namun pengamat hukum yang jeli gampang mendeteksi bahwa Tiongkok sedang diam seribu bahasa tentang apakah pulau buatannya ini berhak atas 12 mil laut teritorial dan 200 mil laut ZEE. Protes Tiongkok terhadap FONOP AS ini tampaknya mengarah ke pembentukan ‘janin’ norma bahwa pulau palsu ini berhak atas zona maritim.
 
Pada FONOP Oktober 2015 argumen Tiongkok masih bernas dengan dalil hukum,  antara lain, menegaskan bahwa hak lintas damai dengan niat propaganda akan menganulir sifat damainya.  Namun argumennya pada FONOP 2016 kali ini cenderung retorik dan nasionalistis namun bermakna mendalam. Kali ini Tiongkok lebih menekankan bahwa AS telah melanggar hukum nasional Tiongkok ketimbang melanggar hukum inernasional.  Pakar hukum internasional tentu tidak tertarik dengan dalil ini, karena soal ini urusan hukum internasional dan semua tahu bahwa sesuai adagium par parem non habet imperium negara tidak tunduk pada hukum nasional negara lain.
 
Namun di balik itu, kelihatannya Tiongkok sedang membangun suatu dalil hukum (melalui hukum nasionalnya) bahwa pulau buatan hasil reklamasi tidak tunduk pada UNCLOS namun merupakan rezim hukum tersendiri yang diatur di luar UNCLOS. Salah satu pakar hukum Tiongkok telah memulai membangun dalil ini. Pakar Tiongkok mengakui bahwa menurut UNCLOS pulau buatan tidak berhak atas laut teritorial dan tidak mempengaruhi delimitasi maritim. Namun selain pulau buatan yang dibangun dengan struktur yang tertanam pada dasar laut, terdapat pula jenis lain pulau buatan dengan struktur yang terbangun diatas fitur alamiah (elevasi pasang surut, karang, dan pulau di tengah laut). Pulau buatan ini sulit disebut ‘artificial’ atau pun ‘alamiah’ karena merupakan kombinasi dari keduanya. Reklamasi di Mischief Reef dan Johnson Reeftermasuk dalam kategori ini. Berdasarkan karakternya yang bersifat artificial dan sekaligus alamiah maka tidak tepat jika pulau ini tunduk pada rejim “artificial islands”seperti yang diatur oleh UNCLOS. Dalam hal ini menurut pakar Tiongkok hukum internasional belum mengatur tentang status pulau semacam ini dan mengkatogorikannya sebagai ‘issue hukum baru’ dalam hukum laut yang perlu mendapat perhatian pakar hukum.
 
Wacana baru para pakar hukum Tiongkok ini tentu akan melahirkan kontroversi baru baik dalam tataran politik praktis maupun dalam perdebatan hukum laut. Namun suka atau tidak suka, baik aktivitas reklamasi Tiongkok maupun FONOP AS di LTS merupakan pergulatan norma yang diproyeksikan di lapangan. Ini adalah adu norma yang bagi AS adalah untuk membendung terbentuknya norma baru, namun bagi Tiongkok adalah menciptakan norma baru.
 
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah adu norma oleh AS dan Tiongkok ini akan memperjelas atau justru semakin menimbulkan ketidakpastian. Ketidakjelasan dan membisunya Tiongkok tentang status perairan yang diklaimnya, termasuk perairan disekitar pulau buatannya, mungkin merupakan pemicu sehingga negara lain ingin memastikan penghormatan terhadap norma lintas bebas ini. Seyogiyanya AS mengujinya di Peradilan yang sudah disediakan oleh UNCLOS. Namun sayangnya, AS belum meratifikasi UNCLOS sehingga tidak bisa memanfaatkan forum yang lebih terhormat ini. Akibatnya dunia melihat AS menegakkan  dan menguji norma-norma ini ala street justice. 
 
* Penulis adalah dosen dan pengamat hukum internasional
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates