Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

CNNIndonesia , 12 Juli 2016

Jakarta, CNN Indonesia -- Penyelesaian batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga adalah program prioritas sejak era Reformasi. Namun pergerakannya terlihat lamban, dan sampai saat ini belum tuntas.

Hanya batas maritim dengan Papua Nugini yang sudah tuntas, baik batas laut wilayah, Zona Ekonomi Eksklusif, maupun landas kontinen. Selebihnya masih banyak bolong. Dengan Timor Leste belum ada batas maritim sama sekali, sementara dengan Malaysia batas ZEE belum ada. 

Mengapa sulit menuntaskan batas maritim ini?

Penyebab pertama adalah garis batas harus disepakati oleh kedua negara yang berdaulat. Konotasi berdaulat ini menjadi kata kunci. Artinya, harus dilakukan dengan prinsip mau sama mau. Tidak boleh sepihak apalagi main paksa.

Jika kedua negara dalam mood yang sama, maka perundingan akan lebih cepat. Namun jika berbeda prioritas, maka memulai perundingan pun akan tertatih-tatih. Dengan Palau, negara kecil di utara Papua, Indonesia butuh waktu bertahun-tahun baru berhasil membujuknya ke meja perundingan. Prosesnya pun masih terseret-seret.  

Kedua, batas adalah soal batas kedaulatan. Akibatnya kedua negara menjadi sangat berhati-hati. Apalagi ada prinsip hukum yang ‘menakutkan’ tentang perbatasan, yaitu sekali batas ditetapkan maka tidak lagi dapat diganggu-gugat sekalipun langit runtuh, kata Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.

Stabilitas perjanjian perbatasan sangat mutlak. Batas yang tidak stabil akan memicu perang, demikian landasan berpikirnya. 

Ketiga, sejak UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, banyak zona-zona maritim baru yang lahir dan berubah. Untuk Indonesia bahkan ditambah dengan lahirnya prinsip baru, yaitu garis pangkal lurus kepulauan. Semua itu mengakibatkan wilayah Republik Indonesia harus diformat ulang sesuai cita-cita Deklarasi Djuanda 1957.

Dulu Indonesia hanya perlu membuat batas laut teritorial. Namun sejak UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat batas landas kontinen dan batas ZEE. Pekerjaan rumah ini datang bersamaan dan harus dikerjakan sekaligus. 

Kempat, faktor politis, politis-yuridis, ekonomis, gabungan dari ketiganya, atau semata-mata faktor teknis perundingan. Faktor politis misalnya sarat waktu berurusan dengan Australia, karena terkait isu Timor Timur.

Sementara faktor ekonomis memengaruhi perundingan Indonesia dengan Vietnam di Laut Natuna yang baru dapat diselesaikan setelah 30 tahun (1973-2003).

Faktor teknis perundingan terjadi dalam perundingan Indonesia dengan Palau. Jaraknya yang jauh dari lintasan penerbangan serta ketiadaan hubungan diplomatik mengakibatkan tim perunding sulit bertemu. Perundingan akhirnya baru dapat dimulai setelah pembukaan hubungan diplomatik kedua negara tahun 2007.

Kelima, hukum internasional tentang perbatasan maritim, bahkan UNCLOS 1982,  masih belum menyediakan norma baku untuk memandu negara membuat garis batas yang adil dan diterima kedua pihak. Soal ini lebih banyak disandarkan pada diskresi negara-negara yang kebetulan ‘berdaulat, kaku, dan tidak luwes’ karena ada kontrol parlemen dan publik.

Akibatnya, juru runding yang luwes dan mumpuni sekalipun harus mengikuti irama karakter negara yang tidak luwes itu. Maka tidak heran jika perundingan bisa berlarut-larut bahkan jalan di tempat.  

Persoalan akan semakin ruwet jika kedua juru runding memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep-konsep dasar perbatasan maritim. Akibatnya, perundingan akan lebih banyak diwarnai oleh prinsip ‘dagang sapi’ tanpa pengawalan kaidah-kaidah hukum.

Indonesia tidak dapat menghindari dilema ini dan sering berkutat terlebih dahulu meyakinkan juru runding negara tetangga tentang prinsip negara kepulauan. Negara tetangga acap kali pura-pura tidak mengerti (tentu dalam konteks taktik perundingan) bahwa Indonesia berhak menarik garis pangkal kepulauan sebagai basis penarikan garis batas. Perundingan bisa bertele-tele karena negara tetangga juga meminta hak yang sama padahal dia bukan negara kepulauan. 

Keenam, sebagai negara demokratis, Indonesia menghadapi faktor lain. Indonesia harus memperhatikan akuntabilitas publik dan legitimasi demokratis. Faktor domestik ini mungkin tidak ada pada negara tetangga. Juru runding Indonesia menjadi semakin berhati-hati sebab setiap jengkal garis yang dirundingkan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. 

Domestik Indonesia sedang dilanda retorika bahwa persoalan batas maritim ini harus segera selesai alias “lebih cepat lebih baik”. Sementara irama negara-negara tetangga ingin “bermain lama”. Mereka tahan bertele-tele di meja perundingan. Ini taktik. Mereka ingin mengulur waktu dengan harapan Indonesia mau mundur dari posisi tawarnya demi “cepat-cepat selesai”. 

Irama “lebih cepat lebih baik” itu membuat Indonesia menjadi satu-satunya negara yang paling banyak menghasilkan batas maritim di antara negara-negara ASEAN. Bandingkan dengan Malaysia yang sampai saat ini belum menghasilkan satu pun batas maritim.

Negara ASEAN lainnya, walau bentuk geografisnya tidak serumit Indonesia, masih terseok-seok dalam menyelesaikan batas-batasnya. Jangan jauh-jauh, perbatasan laut Malaysia dan Singapura pun masih banyak yang bolong. 

Dari faktor-faktor di atas, juru runding Indonesia tidak boleh gegabah. Di tengah desakan publik yang demikian kencang, beban berat ada di pundak mereka. (agk)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates