Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

 

Pertanyaan

Belum lama ini konflik di Papua semakin memanas, termasuk dengan ditetapkannya OPM sebagai kelompok teroris. Selain melalui kolompok bersenjata, kabarnya OPM juga menyuarakan kemerdekaan Papua di forum internasional di PPB atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Sebenarnya bagaimana hukumnya pergerakan ini, apakah benar Papua berhak atas hak menentukan nasib sendiri dan membentuk negara baru?


Ulasan Lengkap

Gagasan bahwa Papua merdeka melalui hak untuk menentukan nasib dendiri (self-determination) sudah lama didengungkan namun selalu kandas. Seperti halnya gagasan Republik Rakyat Maluku, Gerakan Aceh Merdeka, kemerdekaan Catalonia dari Spanyol, dan gerakan lainnya yang selalu dikampanyekan dalam opini publik, gerakan semacam ini tidak pernah mendapat dukungan negara-negara. Mengapa? karena gagasan ini tidak memiliki akar dalam hukum internasional. 

Norma Self-Determination

Hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sering dipahami secara liar dan tanpa kriteria. Banyak yang beranggapan melalui hak ini maka semua kelompok rakyat, wilayah, atau ras berhak merdeka. Bahkan ada yang merujuk Alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa" sebagai dasar hukum untuk Papua Merdeka. Namun menjadi bingung saat ditanyakan apakah suku Batak, Sunda, Minang dan suku lainnya di nusantara dapat juga merdeka dengan dasar yang sama. Mereka lupa membaca kalimat berikutnya yaitu “dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Artinya, hak kemerdekaan tersebut adalah atas situasi penjajahan.

Hukum internasonal telah menetapkan syarat yang ketat tentang siapa dan dalam situasi apa sekelompok orang atau wilayah memiliki hak menentukan nasib sendiri. Syaratnya sangat restriktif yaitu hanya berlaku bagi wilayah di bawah kekuasaan kolonial (non-self governing territory), serta yang berada dalam situasi penaklukan, dominasi, dan eksploitasi asing (alien subjugation, domination, and exploitation)sebagaimana dinyatakan dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1514(“Resolusi MU PBB 1514”) dan  Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625 (“Resolusi MU PBB 2625”).

Mengapa hukum internasional memberi syarat ketat? Karena ada norma hukum internasional lain yang menghalanginya, yakni penghormatan terhadap integritas wilayah negara, yang juga ditegaskan dalam Resolusi MU PBB 2625. Artinya jika hak menentukan nasib sendiri diberikan tanpa kriteria hukum maka akan terjadi gelombang disintergrasi wilayah di dunia yang berpotensi mengacaukan tatanan dunia.

Selain itu, larangan pemecahan wilayah-wilayah negara juga terkristalisasi dalam Paragraf 6 Resolusi MU PBB 1514. Cukup membanggakan bahwa pada saat perumusan paragraf ini diusulkan oleh Indonesia, dengan merujuk pengalaman pahitnya soal Papua yang dipisahkan secara ilegal oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Apakah Papua Ikut Merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945?

Bagaimana dengan Papua, apakah masih berhak atas self-determination? Pertanyaan hukum yang pertama harus dijawab adalah apakah wilayah Papua termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan demikian turut melaksanakan hak menentukan nasib sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada apakah Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda. 

Hukum internasional mengenal doktrin uti possidetis juris yang tercermin dalam putusan Mahkamah Internasional (“ICJ”) pada Case Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986. Doktrin ini menjelaskan bahwa batas-batas wilayah yang dimerdekakan adalah batas wilayah kolonial, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang (the principle of the intangibility of frontiers inherited from colonization) (hal. 15-17). Ini berarti wilayah Indonesia yang dimerdekakan tanggal 17 Agustus 1945 hanya wilayah bekas Hindia Belanda dan tidak boleh mencakup wilayah di luarnya, seperti Timor Timor (jajahan Portugal) dan Malaysia/Singapura (jajahan Inggris).

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda sesuai dengan Pasal 62 Konstitusi Belanda tahun 1938yang berlaku saat itu. Berdasarkan doktrin ini Papua adalah termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Norma ini sudah dikonfirmasi oleh ICJ dalam Advisory Opinion on Chagos 2019 (“Chagos 2019” ) (hal. 47-48) di mana ICJ mengatakan bahwa Inggris bersalah pada waktu memisahkan Kepulauan Chagos dari Mauritus. Secara analogis, tindakan Belanda telah melanggar hak menentukan nasib sendiri pada saat memecah-mecah wilayah Republik Indonesia (“RI”), mulai dari Perjanjian Linggarjati 1947 yang hanya mengakui de facto wilayah RI yakni Jawa, Sumatra, dan Madura; Perjanjian Renville 1948 yang mengakui de jure Jawa Tengah, Sumatra, dan terakhir Konferensi Meja Bundar 1949(“KMB 1949”) yang mengakui seluruh wilayah RI kecuali Papua.

Dalil kelompok pro Papua merdeka bahwa Papua bukan bagian dari RI karena tidak termasuk wilayah RI berdasarkan KMB 1949 dengan sendirinya gugur karena pemisahan ini bertentangan dengan norma self-determination dan doktrin uti possidetis juris seperti yang dimaksud ICJ dalam Chagos 2019.

New York Agreement 1962 dan PEPERA 1969

Lantas apa status Papua pasca KMB 1949? Sesuai Pasal 2 KMB 1949, masalah Papua akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Artinya, status Papua adalah persoalan bilateral RI-Belanda. Namun Belanda ingkar janji dan justru memasukkan Papua sebagai wilayah Belanda dalam Konstitusi Belanda tahun 1956. Akibatnya, Indonesia terpaksa membatalkan KMB 1949 pada tahun 1956 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar karena tindakan Belanda ini selain bertentangan dengan norma self-determination juga melanggar KMB 1949 itu sendiri.

Norma hukum perjanjian internasional yang terkodifikasi pada Pasal 60 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dapat dijadikan dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional jika diingkari oleh pihak lain. Roeslan Abdulgani, menggunakan istilah rebus sic stantibus sebagai justifikasi untuk pengakhiran KMB.[1]

Sengketa bilateral ini selanjutnya difasilitasi oleh Sekretaris Jenderal PBB dan melahirkan perjanjian bilateral Indonesia-Belanda yaitu New York Agreement 1962, yang intinya menyepakati proses penyerahan Papua, dari Belanda kepada PBB, dan selanjutnya diserahkan ke Indonesia. Setelah diserahkan ke Indonesia, maka selanjutnya dilakukan Penentuan Pedapat Rakyat (PEPERA) 1969 oleh Indonesia sendiri bukan oleh PBB. Preamble dalam New York Agreement 1962 ini juga menegaskan bahwa Papua adalah sengketa antara Indonesia dan Belanda dan tidak merujuk pada Resolusi MU PBB 1514.

Secara fundamental, PEPERA 1969 berbeda dengan jajak pendapat Timor Timur 2001. Jajak pendapat Timor Timur diselenggarakan langsung oleh PBB[2] dan disahkan atas dasar Resolusi PBB terkait dengan self-determination.[3] Ini menunjukkan Timor Timor diperlakukan sebagai wilayah yang masih berhak untuk menentukan nasib sendiri.

Selanjutnya, melalui PEPERA rakyat Papua memutuskan ingin tetap menjadi bagian dari RI. Sekretaris Jenderal PBB selanjutnya melaporkan hasil PEPERA kepada Majelis Umum PBB dan diterima melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504 (“Resolusi MU PBB 2504”).

Yang menarik adalah bagaimana negara-negara memaknai PEPERA ini. Ketua delegasi RI, Soejarwo, pada perdebatan di Majelis Umum PBB tersebut menyatakan:

PEPERA bukan persoalan self-determination dalam konteks perjuangan terhadap kolonial. Bagi Indonesia ini adalah soal tuntasnya perjuangan kemerdekaan, kembali utuhnya persatuan nasional dan integritas wilayah, prinsip yang esensial bagi negara yang berdaulat dan bagi setiap negara. 

Mayoritas negara, antara lain Aljazair, Burma, India, Iran, Jepang, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi, dan Thailand, mendukung posisi Indonesia bahwa PEPERA 1969 ini bukan dalam rangka self-determination seperti yang dikenal dalam kerangka Komite Dekolonisasi (C-24). India misalnya mengatakan:[4]

The question under our consideration cannot be regarded as an act of self-determination in the normal understanding of the term, since West lrian must be regarded as being an integral part of the sovereign State of the Republic of Indonesia.

Tidak dimaknainya PEPERA 1969 sebagai hasil yang lazim dari self-determinationjuga dinyatakan oleh beberapa pakar hukum internasional, antara lain Rigos-Suredayang menyatakan:[5]

the attitude taken by the General Assembly can be assumed to mean that West Irian was regarded as an ‘integral part’ of Indonesia and, therefore that there was no need for it to go through the process indicated by the General Assembly to achieve self-determination.

Pakar hukum internasional, J. Crawford juga berpandangan serupa, bahwa sikap PBB terhadap hasil PEPERA 1969 pada dasarnya menghormati penjagaan terhadap integritas wilayah Indonesia (the preservation of the territorial integrity of Indonesia).[6]

PEPERA 1969 dilaksanakan pada saat situasi hukum dimana Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia. Sehingga hasil PEPERA itu sendiri dikonstruksikan dalam konsideran ‘Menimbang’ pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat(“UU 12/1969”) bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Indonesia.

Dari uraian di atas, pelaksanaan penentuan nasib sendiri rakyat Papua sudah dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 bersama dengan wilayah-wilayah lainnya bekas Hindia Belanda sedangkan PEPERA 1969 dapat dimaknai sebagai konfirmasi rakyat Papua untuk tetap berada dalam RI. Karena sudah menjadi bagian dari Indonesia maka hak menentukan nasib sendiri menjadi tidak relevan. Itulah sebabnya topik self-determination untuk Papua pasca adanya Resolusi PBB tidak pernah lagi menjadi perhatian apalagi diperdebatkan dalam literatur hukum internasional.

Status PEPERA 1969 juga coba untuk dipersoalkan dalam tingkat hukum nasional Indonesia. Pada tahun 2019 sekelompok masyarakat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat meminta pembatalan materi dalam UU 12/1969 yang merupakan hasil dari PEPERA 1969 ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui permohonan judicial review terhadap UU 12/1969.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2019, MK menolak permohonan para pemohon dengan pertimbangan bahwa pemohon secara substansi tidak memohonkan pengujian terhadap UU 12/1969, tetapi terhadap PEPERA 1969 sebagai peristiwa hukum internasional yang pada hakikatnya telah diakui oleh Resolusi MU PBB 2504 yang bersifat sah dan final. Dalam hal ini MK juga menegaskan tidak memiliki kewenangan untuk menguji keabsahan tindakan PBB (hal. 37).

Gerakan Papua Merdeka

Apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Papua Merdeka setelah 17 Agustus 1945 tidak dapat disebut sebagai perjuangan hak menentukan nasib sendiri. Pertama, karena hak ini sudah dilaksanakan oleh Papua, dan kedua, tidak mungkin hak ini dilakukan lagi oleh wilayah yang sudah sah sebagai bagian dari suatu negara.

Apa yang dilakukan oleh gerakan-gerakan ini baik di Papua maupun dukungan lembaga swadaya masyarakat di luar negeri adalah gerakan pemisahan diri/separatis dari negara. Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidanamengkategorikan tindakan yang berupaya memisahkan bagian wilayah ini sebagai makar.

Selain itu, hukum internasional sangat jelas soal ini. Pada tahun 1917, Aaland Island (bagian dari Finlandia namun berbudaya dan berbahasa Swedia) pernah mencoba memisahkan diri dan menuntut bergabung dengan Swedia. Sengketa ini diselesaikan oleh Liga Bangsa-Bangsa dengan membentuk Commission of Jurists tahun 1920, yang pada intinya menyatakan bahwa:[7]

Positive International Law does not recognize the right of national groups, as such, to separate themselves from the State of which they form part by the simple expression of a wish. 

Yang pada intinya, dapat diartikan bahwa hukum internasional yang berlaku tidak mengenal hak sekelompok peduduk untuk memisahkan diri dari negaranya hanya karena kehendak semata.

Sampai saat ini masih berlaku norma bahwa tidak ada hak untuk memisahkan diri dari negara (secession) dalam hukum internasional. Sekretaris Jenderal PBB U Thantpernah menyatakan:[8]

the United Nations has never accepted and does not accept and I do not believe will ever accept the principle of secession of a part of its Member state.

Contoh baru-baru ini adalah deklarasi pemisahan diri oleh Catalonia dari Spanyol tahun 2017 yang gagal karena tidak mendapat restu hukum internasional.

Selain itu, terkait dengan hal ini, Indonesia telah melakukan deklarasi terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik terkait self-determination. Deklarasi tersebut menegaskan interpretasi Indonesia bahwa hak atas self-determination tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok masyarakat di dalam suatu negara berdaulat yang akan merusak kesatuan wilayah (territorial integrity) dari negara tersebut.[9]

Adanya gerakan pemisahan diri oleh Organisasi Papua Merdeka (“OPM”) sampai saat ini adalah akibat korban “janji (palsu) kemerdekaan” yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, terutama pasca KMB 1949. Janji ini diteruskan ke sebagian masyarakat Papua dari generasi ke generasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Konstitusi Belanda tahun 1938;
  2. Undang-Undang Dasar 1945;
  3. Konstitusi Belanda tahun 1956;
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 Pembatalan Hubungan Indonesia Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar;
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat;
  7. Perjanjian Linggarjati 1947;
  8. Perjanjian Renville 1948;
  9. Konferensi Meja Bundar 1949;
  10. New York Agreement 1962;
  11. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969;
  12. The Agreement between Indonesia and Portugal on the question of East Timor;
  13. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1514;
  14. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504;
  15. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625;
  16. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1246.

Referensi:

  1. Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum, (Jakarta:P. Prapantja), 1965;
  2. Crawford, The Creation of States in International Law(2nd ed.), Oxford University Press, 2006;
  3. Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018;
  4. Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law, International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971;
  5. United Nations Monthly Chronicle, February 1970;
  6. United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights, diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB;
  7. United Nations General Assembly Official Records, 24th Session, 1813thPlenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969, diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB.

Putusan:

  1. International Court of Justice, Case Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986;
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2019;
  3. International Court of Justice Advisory Opinion on Chagos 2018.

[1] Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum, (Jakarta: B.P. Prapantja), 1965, hal. 36.

[2]Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1246 (“Resolusi DK PBB 1246”)

[3] Resolusi DK PBB 1246 mengutip The Agreement between Indonesia and Portugal on the question of

East Timor yang didasarkan atas Resolusi MU PBB 1514 dan Resolusi MU PBB 2625

[4] United Nations General Assembly Official Records, 24th Session, 1813th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969, hal. 3

[5] Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018, hal. 30

[6] J. Crawford, The Creation of States in International Law(2nd ed.), Oxford University Press, 2006, hal. 646

[7] Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law, International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971, hal. 479

[8]United Nations Monthly Chronicle, February 1970, hal.36

[9]United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

 


Dr. iur. Dam
os Dumoli Agusman menyampaikan paparan dengan judul "Papua sebagai Bagian Integral NKRI" pada acara "Let's Talk About Papua #5: Separatism and Terrorism in Papua from International Law Perspective" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ) pada 19 Juni 2021

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

 



Dr. iur. Damos Agusman mewakili Menteri Luar Negeri menyampaikan testimoni dalam acara "Jejak Langkah, Perjuangan, dan Karya Prof. Mochtar Kusumaatmadja", 19 Juni 2021

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Pertanyaan
Bagaimana sebenarnya secara hukum kedudukan para pihak di konflik Palestina-Israel? Bukankah penjajahan sudah dilarang sekarang dalam Hukum Internasional, lalu kenapa Israel dibiarkan menguasai wilayah Palestina dan bahkan sampai menghalangi akses ibadah pada lokasi sakral umat beragama di Jerussalem? Apa upaya/solusi yang realistis dalam mendamaikan konflik di tanah Palestina dalam sudut pandang Hukum Internasional?
Ulasan Lengkap
 
Sejarah Konflik Palestina-Israel
Konflik Palestina-Israel selama ini lebih banyak dibahas dalam perspektif hubungan internasional. Meski demikian, sebagai sengketa antar negara, konflik ini juga kental dengan dimensi hukum internasionalnya. Beberapa fakta hukum yang relevan dalam hukum internasional adalah:
  1. Pada saat proses dekolonisasi pasca Perang Dunia II, wilayah sengketa (Palestina) secara keseluruhan berada dibawah Inggris (British Mandate for Palestine 1920-1948). Ini berarti rakyat Palestina berhak atas penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk merdeka dari Inggris.
  2. Inggris sebagai pemegang mandat gagal menengahi konflik antara komunitas Arab dan Yahudi di Palestina tentang masa depan negara baru ini, lalu kemudian menyerahkan persolan ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”), dan sejak 1948 berhenti sebagai pemegang mandat.
  3. Majelis Umum PBB mengambil alih sengketa ini dan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/181(II) dan Partition Plan (29 November 1947) (“Resolusi MU PPB 181”). Rencana ini ditolak oleh komunitas Arab dan negara-negara Arab.
  4. Pada tahun 1948, komunitas Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel dan mulai mengokupasi secara perlahan-lahan wilayah Palestina.
Gagalnya inisiatif PBB tersebut melahirkan kevakuman kekuasaan di Palestina dan berdirinya negara Israel memicu perang Israel dengan negara-negara tetangga pada 1948. Pasca perang ini, Israel berhasil  menguasai secara de facto wilayah yang semula ditetapkan untuk Israel dalam Resolusi MU PBB 181, serta hampir 60% dari wilayah yang ditetapkan untuk Palestina.

Pelanggaran Hukum Internasional oleh Israel
Adapun norma hukum internasional yang berlaku sejak Perang Dunia II yang relevan dengan sengketa ini adalah:
  1. Norma self determination, yang memberikan hak pada wilayah yang masih berada dalam penguasaan kolonial untuk dimerdekakan.
  2. Norma uti possidetis juris, yaitu batas-batas wilayah yang dimerdekakan itu harus identik dengan batas wilayah kolonial. Prinsip ini diperkuat oleh pendapat Mahkamah Internasional (ICJ) dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965 (2019). Menurut ICJ, norma self determination juga mengharuskan wilayah koloni dimerdekakan secara utuh dan tidak boleh di pecah-pecah (hal. 43, paragraf 160).
  3. Norma non-use of force, yaitu penggunaan kekerasan telah diharamkan untuk memperoleh wilayah. Larangan ini mulai berlaku sejak Piagam PBB 1945[1] dan ditegaskan melalui Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (“Declaration on Friendly Relations”).
Selanjutnya norma-norma tersebut diimplementasikan melalui berbagai Resolusi PBB, dan perjanjian-perjanjian internasional seperti Oslo Accords 1993, di mana Israel mengakui kekuasaan Palestina atas wilayah Gaza dan West Bank.
 
Berdasarkan norma-norma tersebut maka penguasaan oleh Israel atas wilayah Palestina mulai sejak awal sampai saat ini adalah pelanggaran hukum internasional dan pengingkaran terhadap the right of self determination dari rakyat Palestina atas wilayah yang diokupasi (Occupied Palestinian Territory). Israel dalam konteks ini adalah sebagai pihak yang mengokupasi (occupying power). Status pelanggaran hukum ini tercermin antara lain pada:

  1. Putusan ICJ dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004)(“Advisory Opinion on Wall”) yang menyatakan bahwa Israel telah melanggar hak atas self determination Palestina dan telah melakukan de facto annexation (aneksasi) melalui pembangunan tembok di Occupied Palestinian Territory (hal. 52, paragraf 121-122). 
  2. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 (2012) mengafirmasi hak selfdetermination dalam kaitannya dengan wilayah Palestina yang diokupasi sejak 1967.
  3. Pre Trial Chamber I Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam Situation In The State Of Palestine (2021) merujuk pada wilayah Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah Palestina yang diokupasi oleh Israel sejak 1967 (hal. 60).
Kedudukan Hukum Palestina dan Israel
Konflik ini telah berevolusi dan Israel telah diakui sebagai negara dan menjadi anggota PBB pada tahun 1949 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/273 (III) (1949). Sedangkan Palestina, melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/43/177 (1988), deklarasi kemerdekaannya tanggal 15 November 1988 telah diakui oleh PBB.
 
Saat ini Palestina diakui sebagai negara oleh 138 dari total 193 negara anggota PBB, termasuk Indonesia dan sejak 2012 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 diberikan status sebagai non-member observer state. Palestina belum secara resmi menjadi anggota PBB karena untuk menjadi anggota PBB harus mendapat rekomendasi oleh Dewan Keamanan PBB (“DK PBB”),[2] yang mana hal tersebut hingga saat ini tidak bisa dilakukan karena rekomendasi dari DK PPB pasti akan di-veto oleh Amerika Serikat.

Sebagai informasi, hak veto merupakan hak yang dimiliki oleh setiap anggota tetap DK PBB, di mana apabila salah satu dari anggota tetap DK PBB menolak suatu usulan ketika pengambilan suara (voting), maka sebuah keputusan atau resolusi DK PPB tidak akan disetujui.[3]
 
Dengan demikian, saat ini terdapat dua negara yang diakui oleh masyarakat internasional namun dengan batas wilayah yang masih dalam sengketa, dan sebagian besar wilayah sengketa berstatus dibawah okupasi Israel. Dalam hal ini, Israel berada dalam posisi sebagai pelanggar hukum internasional.
 
Penegakan Hukum Internasional
Hukum internasional tidak memiliki institusi penegak hukum sebagaimana layaknya hukum nasional. Oleh sebab itu, penegakan atas pelanggaran hukum ini diserahkan kepada negara-negara dalam bentuk reaksi/respon baik secara sendiri maupun maupun kolektif (melalui PBB atau organisasi regional). Respon negara akan berkarakter persistent objection (penolakan secara persisten) atau, sebagai lawannya, recognition (pengakuan). Kedua respon ini akan menentukan keabsahan klaim Israel.
 
Reaksi mayoritas negara saat ini memperlihatkan persistent objection terhadap tindakan Israel. Dalam sistem hukum internasional, penolakan semacam ini akan menghalangi klaim sepihak Israel menjadi sah. Ini berati pendudukan de facto Israel di wilayah okupasi  termasuk kebijakannya memindahkan ibu kota ke Jerusalem tepat dianggap tidak sah menurut hukum internasional. Inilah yang merupakan akar konflik Palestina-Israel.
 
Di sisi lain, negara-negara juga dilarang memberikan pengakuan atas situasi yang lahir dari pelanggaran serius terhadap norma ius cogens (peremptory norm of general international law). Larangan tersebut merupakan kebiasaan internasional yang terkodifikasi dalam Pasal 40 ayat (2) UN ILC Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts  (2001). ICJ dalam Advisory opinion on Wall misalnya, melarang negara-negara mengakui situasi illegal yang terlahir dari perbuatan Israel tentang pembangunan tembok di wilayah okupasi (hal. 70). Pengakuan Amerika Serikat atas kebijakan sepihak Israel yang memindahkan ibukota ke Jerussalem tahun 2017 lalu juga mendapat penolakan dari 128 negara di Majelis Umum PBB pada saat dilakukan voting terhadap Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/ES-10/L.22 (2017). Reaksi mayoritas negara ini menegaskan bahwa penetapan status Jerusalem sebagai ibukota Israel tidak sah menurut hukum.
 
Dalam hal ini, pelanggaran hukum internasional oleh Israel melahirkan pembatasan tertentu bagi reaksi negara-negara. Untuk itu, maka sangat keliru jika sebagian publik baru-baru ini mendesak Indonesia untuk tidak mendukung satu pihak alias bersikap netral. Selain karena alasan konsistensi politik luar negeri Indonesia, hukum internasional justru mengharuskan Indonesia untuk melakukan pemihakan terhadap penghormatan atas hukum internasional, tidak ada pilihan lain. Mendukung Israel dengan statusnya saat ini sebagai pelanggar hukum internasional justru menempatkan Indonesia sebagai negara ‘turut serta’ (complicity) dalam pelanggaran ini.
 
Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik ini hanya dapat terjadi jika hukum internasional sudah merestuinya, dalam hal ini negara-negara memberi pengakuan atas setiap apa pun solusi yang disepakati oleh kedua negara yang berkonflik. Sayangnya kesepakatan ini belum berhasil dicapai sehingga eskalasi konflik terus terjadi.
 
Eskalasi konflik yang terjadi belakangan ini bukan merupakan akar konflik melainkan akibat dari akar konflik yang sudah dan akan terus berlangsung melalui berbagai macam pemicu, dan hanya akan berhenti jika akar konflik itu terselesaikan. Keperkasaan Israel atas Palestina yang lemah tidak dengan sendirinya menyelesaikan konlfik ini. Ini membuktikan bahwa logika hukum internasional bahwa might cannot make right, but right made might, sulit dibantah.
Indonesia bersama negara-negara lainnya telah menawarkan penyelesaian sengketa ini. Selain mendorong pengakuan atas Palestina sebagai negara, Indonesia juga mendukung inisiatif PBB guna menghidupkan kembali perundingan damai Palestina-Israel berdasarkan “solusi dua negara" (two state solutions).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/181(II) dan Partition Plan (29 November 1947);
  2. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/273 (III) (1949);
  3. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nation (1970);
  4. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/43/177 (1988);
  5. Oslo Accords 1993;
  6. UN ILC Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts  (2001)
  7. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 (2012);
  8. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/ES-10/L.22 (2017).
 
Putusan:
  1. ICJ Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004);
  2. ICJ Advisory Opinion on Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965 (2019);
  3. Pre Trial Chamber I ICC, Situation In The State Of Palestine (2021).
 
Referensi:
The Right to Veto, diakses pada Senin 24 Mei 2021, pukul 12.05 WIB.
 
 

[1] Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945
[2] Pasal 4 ayat (2) Piagam PBB 1945
[3] The Right to Veto, diakses pada Senin 24 Mei 2021, pukul 12.05 WIB.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates