RUU KUHP: Mengintip Penggunaan Istilah-istilah Hukum Internasional

by - September 27, 2022

Sumber: Kumparan 9 September 2022

Beberapa Catatan Kritis

Pembahasan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tampaknya sudah memasuki detik-detik akhir. RUU ini sudah lama digodok, melewati lintas generasi DPR. Draf sudah sangat matang dan nyaris dituntaskan DPR pada periode 2014-2019, namun terganjal karena hiruk-pikuk kontroversinya. Karena sudah sempat matang, maka sayang jika draf ini terkubur kembali, seiring dengan berakhirnya periode DPR.
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangan, RUU itu tidak bisa di estafet-kan ke DPR berikutnya, harus mulai dari nol lagi. Maka menjelang DPR berakhir tahun 2019, UU No. 12 Tahun 2011 ini, tentang larangan estafet ini diamandemen dulu agar penggodokan RUU ini masih bisa dilanjutkan oleh DPR baru. Sedemikian matangnya sehingga UU ini yang harus menyesuaikan diri untuk memuluskan proses RUU KUHP.
RUU KUHP sarat dengan elemen-elemen baru yang mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembangan-perkembangan internasional. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar dari tekanan-tekanan globalisasi yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara menyesuaikan diri dan mengadopsinya.
Dalam Draft Final RUU KUHP (Diunduh dari website BPHN Kemenkumham) telah tercermin beberapa elemen baru akibat ploriferasi norma hukum internasional yang sudah menyentuh wilayah pidana nasional. RUU ini menyebut 34 kali istilah "internasional", padahal KUHP lama hanya menyebut 1 kali saja. Ini menunjukkan RUU ini bersahabat dengan aspek internasional. RUU KUHP ini tampaknya mulai menggeliat akibat tekanan globalisasi ini. Penulis tidak ingin membahas keseluruhan aspek ini namun hanya tergelitik untuk mengulas bagaimana RUU ini menggunakan terminologi hukum internasional dalam berbagai pasal-pasalnya.
Dalam beberapa pasal RUU ini menggunakan istilah "hukum internasional". Sampai di sini masih wajar. Namun dalam Pasal 9 istilah yang dipakai RUU ini bukan "hukum internasional" tapi ditambahkan embel-embel "yang telah disahkan", sehingga menjadi "hukum internasional yang telah disahkan". Bunyi lengkapnya:
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.
Maksud pasal ini adalah yurisdiksi di pasal 4 s/d 8, mulai dari asas teritorial, nasional aktif/pasif, sampai ke asas universal, tidak berlaku jika dilarang oleh hukum internasional. Misalnya, norma hukum internasional memberikan imunitas kepada setiap kepala negara/pemerintah dan menlu asing, sehingga yurisdiksi pidana sesuai pasal-pasal ini tidak berlaku terhadap mereka.
Maksud dan tujuan pasal ini tidak masalah. KUHP lama juga menerapkan norma ini. Namun problem terminologi muncul karena di RUU ini ada sisipan kalimat baru pada RUU ini yakni "yang telah disahkan". Pada KUHP lama kalimat baru ini tidak ada, cukup dengan istilah "hukum internasional" saja tanpa embel-embel "yang telah disahkan".
Kurang jelas apa maksud penambahan kalimat baru ini. Yang pasti istilah ini tidak dikenal dalam literatur hukum internasional.
Kesan pertama penulis adalah, mungkin RUU ini ingin membedakan bahwa bagi Indonesia ada dua kasta norma hukum internasional, yakni norma yang berkategori disahkan, dan norma yang tidak disahkan. Jika kesan ini benar, maka ini agak keliru.
Norma hukum internasional itu umumnya menyebar di perjanjian internasional (Traktat) dan hukum kebiasaan internasional. Untuk perjanjian internasional, istilah 'disahkan' memang dikenal. Norma ini hanya mengikat negara jika negara itu menyetujuinya, misalnya melalui ratifikasi. Ini sesuai asas persetujuan negara.
Tapi untuk kebiasaan internasional, norma ini bukan objek untuk disahkan. Norma ini tidak tertulis dan tidak ada dokumen yang mewadahinya, jadi bagaimana mungkin mengesahkannya.
Pada dasarnya negara terikat pada norma kebiasaan ini secara diam-diam tanpa perlu formalitas ratifikasi. Apakah negara bisa menolak norma ini? Bisa, namun pakai mekanisme yang terbalik, bukan asas persetujuan tapi asas penolakan, yakni persistent objection.
Artinya sejak awal secara terus-menerus memberikan sikap menolak berlakunya norma ini terhadap dirinya. Misalnya, larangan pidana mati konon dinilai sudah menjadi norma kebiasaan internasional, tapi beberapa negara termasuk Indonesia memberi sikap penolakan yang konsisten, baik dalam bentuk legislasi/yurisprudensi nasional maupun posisi diplomatiknya di forum internasional. Sikap ini mengakibatkan norma ini tidak mengikat Indonesia. Dalam hal ini, untuk norma ini istilah "hukum internasional yang telah disahkan" menjadi tidak pas.
Namun RUU ternyata memberikan penjelasan tentang istilah "hukum internasional yang telah disahkan" ini. Yang dimaksud dengan istilah ini, kata penjelasannya, adalah: (a) perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia; (b) kebiasaan internasional; (c) asas hukum umum yang diterima oleh masyarakat beradab; dan (d) doktrin dan yurisprudensi.
Ternyata penjelasan ini tidak menceritakan apa-apa tentang maksud harfiah kalimat "yang telah disahkan" dan bahkan semakin rancu karena sisipan ini justru dimunculkan hanya di butir (a), dan tidak tertera di butir lainnya.
Lantas, apa makna harfiah dari sisipan kalimat ini pada pasalnya?
Keempat elemen ini sebenarnya tidak lain adalah adalah sumber-sumber hukum internasional yang di-copy paste dari Pasal 38 Statuta ICJ (International Court of Justice). Bedanya, tidak ada embel-embel "yang telah disahkan". Namun menjadi terlihat aneh jika penjelasan ini hanya menyisipkan istilah ini hanya pada salah satu sumber dan tidak pada sumber hukum lainnya. Padahal pada pasalnya istilah ini dimaksudkan untuk keseluruhan hukum internasional.
Andai kata sisipan istilah ini tidak muncul pada Pasal 9, yakni hanya menggunakan kalimat "hukum internasional" saja (Seperti yang tertera di KUHP lama), maka penjelasannya menjadi tampak sempurna. Keruwetan ini kelihatannya akibat dipaksakannya penggunaan sisipan istilah ini. Apalagi, pada KUHP lama pasal yang sama tentang ini tidak menimbulkan masalah apa-apa, sehingga sulit ditemukan justifikasi yuridis perlunya sisipan ini. Sayangnya tidak ada penjelasan kenapa sisipan ini merasa perlu dibunyikan.
Namun pada pasal lain, istilah "hukum internasional" muncul tanpa embel-embel "yang telah disahkan". Ini melahirkan inkonsistensi yang semakin membuktikan bahwa sisipan embel-embel itu tidak bermakna harfiah dan akhirnya menjadi tidak bermanfaat sama sekali.
Istilah lain yang juga agak rancu adalah penyebutan "konvensi internasional" dan "perjanjian internasional" secara bergantian pada pasal-pasal yang terpisah. Muncul 13 kali istilah "konvensi internasional" dan 4 kali istilah "perjanjian internasional". Dalam literatur hukum internasional, kedua istilah itu identik dan hanya soal penggunaan nomenklatur. Sama seperti istilah "kendaraan" dan "mobil". Lahir pertanyaan, apakah RUU ini memaknai berbeda kedua istilah ini? Sayangnya kedua istilah ini hanya disebutkan saja tanpa mendefinisikannya. Sekilas, ada kesan kuat bahwa istilah konvensi digunakan karena merujuk ke dokumen konkret tertentu seperti konvensi-konvensi HAM yang memang menggunakan istilah ini. Namun kesan itu agak lemah, karena istilah ini juga digunakan secara generik tanpa konteks sama sekali.
Penggunaan istilah yang problematik ini mungkin bukan permasalahan besar dari sisi praktis. Namun secara teoritis dan kualitas perundang-undangan, penggunaan istilah yang bebas dari kerancuan seharusnya menjadi perhatian, apalagi di bidang hukum pidana yang sarat dengan legalitas. Mengingat kompleksitas kejahatan transnasional yang semakin meningkat, maka akan terbuka maraknya perkara-perkara pidana yang bersentuhan dengan hukum internasional. Pada saat itu, mungkin istilah-istilah ini menjadi polemik di pengadilan, namun mudah-mudahan tidak merusak maksud dan tujuan pasal-pasal tersebut. Sejarah nantinya yang akan bercerita.
****

You May Also Like

0 comments