Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Dr Damos Dumoli Agusman

Pernah jadi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, dan saat ini bertugas sebagai Dubes RI untuk Austria dan Slovenia, serta Wakil Tetap RI pada PBB.


KUHP sudah diketok, diundangkan, dan akan berlaku pada tahun 2026. Memang patut dihargai karena ini merupakan karya anak bangsa di abad ini, yang berhasil melahirkan kitab hukum pidananya setelah ‘dikuasai’ oleh sistem hukum pidana penjajah, sekalipun sang penjajah sudah 78 tahun tidak berkuasa lagi.

Sejak awal sudah disadari oleh perumus UU ini bahwa mengkodifikasi norma pidana bagi bangsa Indonesia yang beragam ini tidaklah gampang. Mereka akan menghadapi benturan nilai, baik horizontal antara nilai dan tradisi daerah yang satu dengan daerah lain, maupun vertikal, antara nilai ke-Indonesia-an, dengan nilai internasional. Belum lagi benturan antara doktrin dan ideologi hukum yang dianut oleh berbagai lapisan masyarakat yang majemuk ala Indonesia. Maka sudah dapat dipastikan kompromi harus ditempuh untuk benturan tersebut sehingga kitab ini dipastikan tidak akan memuaskan semua pihak.

Namun ada beberapa pasal problematik yang menurut pengamatan penulis bukan bersumber dari benturan nilai itu, dan bukan pula karena perbedaan doktrin hukumnya, melainkan semata-mata karena “kekhilafan” teknis. Salah satu pasal bermasalah ini adalah Pasal 9 yang berbunyi:

Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut perjanjian internasional yang berlaku.

Jika dilihat dari pasal orisinalnya, sejak KUHP Belanda zaman baheula bahkan sampai saat ini, yang kemudian diterjemahkan dalam KUHP Indonesia yang lama, berbunyi sbb:

Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional.

Perbedaannya tipis, hanya mengganti istilah "hukum internasional“ menjadi "perjanjian internasional yang berlaku“. Mungkin bagi pengamat publik lainnya perbedaan istilah ini tidak signifikan, bahkan diklaim sebagai lebih pas buat kepentingan Indonesia. Namun bagi pakar hukum internasional, perubahan istilah tipis ini justru bisa jadi malapetaka jika persoalan konkret timbul di kemudian hari.
Maksud pasal ini adalah bahwa yurisdiksi di pasal 4 s/d 8, mulai dari asas teritorial, nasional aktif/pasif, sampai ke asas universal, tidak berlaku jika dilarang oleh hukum internasional. Pasal ini tidak pernah berubah pada KUHP Belanda sejak lahirnya sampai saat ini. Perubahan hanya pada penomoran pasalnya, dari semula Pasal 8 menjadi Pasal 8d.
Artinya, pasal orisinal ini memang tidak pernah problematik di sistem hukum Belanda sehingga tetap berbunyi demikian sampai saat ini. Indonesia juga tidak terdengar ada masalah, dan mungkin saja Pasal ini belum pernah dipakai sama sekali dalam kasus konkret. Namun jika tidak ada masalah dan belum pernah dipakai, lantas mengapa pembuat KUHP perlu mengubah istilah ini? Sayangnya tidak tersedia legislative history yang bisa menjelaskannya. Naskah akademisnya juga membisu soal ini.
Penulis berusaha menelurusi sejarah perjalanan Pasal 9 ini sejak awal sampai akhir dan hanya menemukan sedikit bercak namun sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Untuk itu penulis hanya bisa mereka-reka melalui data publik yang tersedia. Pada Rancangan RUU versi tahun 2005 sampai dengan Rancangan versi 2010 oleh BPHN, Pasal ini tetap dipertahankan sebagaimana bunyi aslinya, yakni menggunakan istilah “hukum internasional”. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik BPHN 2010 mengkonfirmasi hal ini. Namun pada Rancangan versi 2012, Pasal ini tiba-tiba menghilang tanpa bekas, seperti pergi tanpa pamit.
Dalam Rancangan versi 2019, Pasal ini muncul kembali tapi dengan sedikit perubahan, yakni:

Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.
Perihal formula ini, khususnya penggunaan istilah “hukum internasional yang telah disahkan”, penulis telah mengomentari dalam Media Kumparan ini, dan tidak perlu menjelaskannya lagi di sini. Selanjutnya pada draft akhir yang dibahas di DPR, bunyi Pasal ini berubah dan akhirnya menggunakan istilah “perjanjian internasional yang berlaku”.
Karena tidak ada penjelasan sama sekali perihal perubahan istilah ini maka Penulis cenderung menilai bahwa ini hanya soal “kekhilafan teknis’ saja. Mungkin pemilihan istilah ini pada saat pembahasan hanya dianggap sebagai persoalan redaksional untuk mudah dimengerti. Memilih istilah “perjanjian internasional yang berlaku” dirasakan lebih aman, dan lebih jelas bagi pembuat UU ketimbang istilah “hukum internasional”, yang terkesan abstrak dan berbau elemen asing. Penulis yakin, perubahan ini bukan karena akibat perdebatan substantif, dan pastinya, bukan juga karena adanya perbedaan doktrin soal ini.
Penyederhanaan pemahaman ini justru menjadi akar persoalan. Seperti diketahui, norma hukum internasional itu umumnya menyebar di berbagai sumber hukum. Bukan hanya di perjanjian internasional (traktat) melainkan juga di hukum kebiasaan internasional. Publik mungkin sangat mengenal istilah perjanjian internasional, karena sering mendengar istilah yang terkait dengan ini seperti ratifikasi perjanjian, pengesahan perjanjian oleh DPR, dan seterusnya.
Namun sayangnya publik agak awam dengan norma hukum kebiasaan internasional dan pastinya tidak pernah membayangkan bahwa ini juga adalah hukum positif yang setara kedudukannya. Namun suka atau tidak suka, hukum kebiasaan internasional ini mengikat Indonesia.
Mereduksi hukum internasional menjadi perjanjian internasional ini justru akan menjadi malapetaka.
Norma internasional yang dapat mengecualikan penerapan yurisdiksi hukum pidana Indonesia, sebagaimana dimaksud pada Pasal ini, berserakan di dalam domain hukum internasional, bukan hanya ada di perjanjian internasional, tapi juga di sumber-sumber hukum internasional lainnya. Memang paling gampang menemukannya di perjanjian internasional.
Misalnya bahwa yurisdiksi pidana Indonesia tidak bisa diterapkan terhadap diplomat asing di Indonesia karena ada perjanjian a.l. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia. Ada juga perjanjian lain, seperti Piagam ASEAN 2008 dan perjanjian turunannya, yang mengecualikan penerapan yurisdiksi pidana Indonesia terhadap diplomat asing yang diakreditasikan ke ASEAN.
Tapi apakah norma pengecualian ini hanya ada di perjanjian internasional? Tentu tidak. Banyak norma hukum internasional lainnya yang melarang penerapan yurisdiksi pidana Indonesia yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional. Norma ini tidak pernah dituangkan dalam perjanjian internasional. Misalnya, norma hukum kebiasaan internasional yang memberikan imunitas kepada setiap kepala negara/pemerintahan dan menlu asing, sehingga yurisdiksi pidana tidak berlaku terhadap mereka.
Larangan menerapkan yurisdiksi pidana terhadap pelaku hubungan luar negeri ini tidak ada dalam perjanjian internasional tapi diakui dalam kebiasaan internasional. Masih banyak norma lain, misalnya aset negara lain atau kapal milik pemerintah asing tidak boleh disita, dan ini masih diatur dalam hukum kebiasaan internasional.
Adanya norma yang berbalut “kebiasaan” sebenarnya tidak asing dalam literatur hukum Indonesia. Hukum adat adalah contoh kental dari norma kebiasaan. KUHP baru ini justru mengakui apa yang disebut "hukum yang hidup dalam masyarakat“. Namun sayangnya, norma kebiasaan yang lahir dari masyarakat internasional terlalu asing, kalau tidak disebut anti, dalam sistem hukum Indonesia. Akibatnya, KUHP ini terkesan hanya mengakui norma perjanjian saja.
Persoalannya adalah Indonesia terikat pada norma hukum kebiasaan ini karena demikianlah kata hukum internasional. KUHP tidak dapat mengubah kekuatan mengikat norma ini. Namun dengan adanya reduksi pada Pasal 9 ini yang hanya merujuk pada “perjanjian internasional yang berlaku” maka menimbulkan pertanyaan yuridis, bagaimana dengan norma kebiasaan internasional ini? Misalnya apakah aparat hukum Indonesia dapat men-tersangka-kan menlu asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia? Jawabannya, menurut Pasal 9 KUHP tentu saja dapat, karena tidak ada norma perjanjian internasional yang berlaku, yang melarangnya. Asas legalitas yang kental dalam hukum pidana justru mengharuskannya.
Pada titik ini akan terjadi benturan lain, yang penulis sebut di atas sebagai malapetaka, yakni konflik antara KUHP dengan hukum internasional yang mengikat Indonesia. Ini menjadi dilema yuridis karena di satu sisi, KUHP harus diterapkan namun di sisi lain penerapan KUHP ini akan melahirkan pelanggaran hukum internasional oleh Negara Republik Indonesia. Demikian sebaliknya, penghormatan terhadap hukum internasional akan melahirkan pelanggaran terhadap KUHP. Norma mana yang harus dimenangkan? Persoalan ini akan menjadi perdebatan panjang. Manakala hukum internasional sudah jelas soal ini, sebaliknya hukum tata negara Indonesia belum memberikan jawaban atau, lebih tepatnya, belum tertarik soal ini.
Penggunaan istilah yang problematik ini mungkin bukan permasalahan besar dari sisi praktis, setidak-tidaknya untuk saat ini. Namun secara teoritis dan kualitas perundang-undangan, penggunaan istilah yang bebas dari kerancuan seharusnya menjadi perhatian, apalagi di bidang hukum pidana yang sarat dengan legalitas.
Mungkin publik tidak terlalu yakin bahwa kepala negara/pemerintahan atau menlu asing bakal melakukan tindak pidana di Indonesia, sehingga “kekhilafan” ini tidak perlu dikhawatirkan. Tapi jangan pula lupa bahwa kompleksitas tindak pidana semakin tinggi. Misalnya, karena bakal sering memberikan pernyataan publik, mereka mungkin saja melakukan pencemaran nama baik dan rentan untuk gugatan di Indonesia yang sangat demokrasi ini. Atau ada fenomena penyimpangan sosial lainnya seperti pelaku kleptomania, atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang setiap orang bisa mengidapnya seperti kepala negara/pemerintahan atau menlu.
Jika perumusan Pasal ini melibatkan para pakar hukum internasional di Indonesia yang jumlahnya sudah meningkat, atau setidak-tidaknya berupaya mengintip nasib Pasal ini pada KUHP di negara asalnya di Belanda, mungkin “kekhilafan” yang tidak perlu ini tidak akan terjadi. Soal yang kata orang sepele ini mudah-mudahan tidak akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sumber: Kumparan 9 September 2022

Beberapa Catatan Kritis

Pembahasan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tampaknya sudah memasuki detik-detik akhir. RUU ini sudah lama digodok, melewati lintas generasi DPR. Draf sudah sangat matang dan nyaris dituntaskan DPR pada periode 2014-2019, namun terganjal karena hiruk-pikuk kontroversinya. Karena sudah sempat matang, maka sayang jika draf ini terkubur kembali, seiring dengan berakhirnya periode DPR.
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangan, RUU itu tidak bisa di estafet-kan ke DPR berikutnya, harus mulai dari nol lagi. Maka menjelang DPR berakhir tahun 2019, UU No. 12 Tahun 2011 ini, tentang larangan estafet ini diamandemen dulu agar penggodokan RUU ini masih bisa dilanjutkan oleh DPR baru. Sedemikian matangnya sehingga UU ini yang harus menyesuaikan diri untuk memuluskan proses RUU KUHP.
RUU KUHP sarat dengan elemen-elemen baru yang mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembangan-perkembangan internasional. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar dari tekanan-tekanan globalisasi yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara menyesuaikan diri dan mengadopsinya.
Dalam Draft Final RUU KUHP (Diunduh dari website BPHN Kemenkumham) telah tercermin beberapa elemen baru akibat ploriferasi norma hukum internasional yang sudah menyentuh wilayah pidana nasional. RUU ini menyebut 34 kali istilah "internasional", padahal KUHP lama hanya menyebut 1 kali saja. Ini menunjukkan RUU ini bersahabat dengan aspek internasional. RUU KUHP ini tampaknya mulai menggeliat akibat tekanan globalisasi ini. Penulis tidak ingin membahas keseluruhan aspek ini namun hanya tergelitik untuk mengulas bagaimana RUU ini menggunakan terminologi hukum internasional dalam berbagai pasal-pasalnya.
Dalam beberapa pasal RUU ini menggunakan istilah "hukum internasional". Sampai di sini masih wajar. Namun dalam Pasal 9 istilah yang dipakai RUU ini bukan "hukum internasional" tapi ditambahkan embel-embel "yang telah disahkan", sehingga menjadi "hukum internasional yang telah disahkan". Bunyi lengkapnya:
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.
Maksud pasal ini adalah yurisdiksi di pasal 4 s/d 8, mulai dari asas teritorial, nasional aktif/pasif, sampai ke asas universal, tidak berlaku jika dilarang oleh hukum internasional. Misalnya, norma hukum internasional memberikan imunitas kepada setiap kepala negara/pemerintah dan menlu asing, sehingga yurisdiksi pidana sesuai pasal-pasal ini tidak berlaku terhadap mereka.
Maksud dan tujuan pasal ini tidak masalah. KUHP lama juga menerapkan norma ini. Namun problem terminologi muncul karena di RUU ini ada sisipan kalimat baru pada RUU ini yakni "yang telah disahkan". Pada KUHP lama kalimat baru ini tidak ada, cukup dengan istilah "hukum internasional" saja tanpa embel-embel "yang telah disahkan".
Kurang jelas apa maksud penambahan kalimat baru ini. Yang pasti istilah ini tidak dikenal dalam literatur hukum internasional.
Kesan pertama penulis adalah, mungkin RUU ini ingin membedakan bahwa bagi Indonesia ada dua kasta norma hukum internasional, yakni norma yang berkategori disahkan, dan norma yang tidak disahkan. Jika kesan ini benar, maka ini agak keliru.
Norma hukum internasional itu umumnya menyebar di perjanjian internasional (Traktat) dan hukum kebiasaan internasional. Untuk perjanjian internasional, istilah 'disahkan' memang dikenal. Norma ini hanya mengikat negara jika negara itu menyetujuinya, misalnya melalui ratifikasi. Ini sesuai asas persetujuan negara.
Tapi untuk kebiasaan internasional, norma ini bukan objek untuk disahkan. Norma ini tidak tertulis dan tidak ada dokumen yang mewadahinya, jadi bagaimana mungkin mengesahkannya.
Pada dasarnya negara terikat pada norma kebiasaan ini secara diam-diam tanpa perlu formalitas ratifikasi. Apakah negara bisa menolak norma ini? Bisa, namun pakai mekanisme yang terbalik, bukan asas persetujuan tapi asas penolakan, yakni persistent objection.
Artinya sejak awal secara terus-menerus memberikan sikap menolak berlakunya norma ini terhadap dirinya. Misalnya, larangan pidana mati konon dinilai sudah menjadi norma kebiasaan internasional, tapi beberapa negara termasuk Indonesia memberi sikap penolakan yang konsisten, baik dalam bentuk legislasi/yurisprudensi nasional maupun posisi diplomatiknya di forum internasional. Sikap ini mengakibatkan norma ini tidak mengikat Indonesia. Dalam hal ini, untuk norma ini istilah "hukum internasional yang telah disahkan" menjadi tidak pas.
Namun RUU ternyata memberikan penjelasan tentang istilah "hukum internasional yang telah disahkan" ini. Yang dimaksud dengan istilah ini, kata penjelasannya, adalah: (a) perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia; (b) kebiasaan internasional; (c) asas hukum umum yang diterima oleh masyarakat beradab; dan (d) doktrin dan yurisprudensi.
Ternyata penjelasan ini tidak menceritakan apa-apa tentang maksud harfiah kalimat "yang telah disahkan" dan bahkan semakin rancu karena sisipan ini justru dimunculkan hanya di butir (a), dan tidak tertera di butir lainnya.
Lantas, apa makna harfiah dari sisipan kalimat ini pada pasalnya?
Keempat elemen ini sebenarnya tidak lain adalah adalah sumber-sumber hukum internasional yang di-copy paste dari Pasal 38 Statuta ICJ (International Court of Justice). Bedanya, tidak ada embel-embel "yang telah disahkan". Namun menjadi terlihat aneh jika penjelasan ini hanya menyisipkan istilah ini hanya pada salah satu sumber dan tidak pada sumber hukum lainnya. Padahal pada pasalnya istilah ini dimaksudkan untuk keseluruhan hukum internasional.
Andai kata sisipan istilah ini tidak muncul pada Pasal 9, yakni hanya menggunakan kalimat "hukum internasional" saja (Seperti yang tertera di KUHP lama), maka penjelasannya menjadi tampak sempurna. Keruwetan ini kelihatannya akibat dipaksakannya penggunaan sisipan istilah ini. Apalagi, pada KUHP lama pasal yang sama tentang ini tidak menimbulkan masalah apa-apa, sehingga sulit ditemukan justifikasi yuridis perlunya sisipan ini. Sayangnya tidak ada penjelasan kenapa sisipan ini merasa perlu dibunyikan.
Namun pada pasal lain, istilah "hukum internasional" muncul tanpa embel-embel "yang telah disahkan". Ini melahirkan inkonsistensi yang semakin membuktikan bahwa sisipan embel-embel itu tidak bermakna harfiah dan akhirnya menjadi tidak bermanfaat sama sekali.
Istilah lain yang juga agak rancu adalah penyebutan "konvensi internasional" dan "perjanjian internasional" secara bergantian pada pasal-pasal yang terpisah. Muncul 13 kali istilah "konvensi internasional" dan 4 kali istilah "perjanjian internasional". Dalam literatur hukum internasional, kedua istilah itu identik dan hanya soal penggunaan nomenklatur. Sama seperti istilah "kendaraan" dan "mobil". Lahir pertanyaan, apakah RUU ini memaknai berbeda kedua istilah ini? Sayangnya kedua istilah ini hanya disebutkan saja tanpa mendefinisikannya. Sekilas, ada kesan kuat bahwa istilah konvensi digunakan karena merujuk ke dokumen konkret tertentu seperti konvensi-konvensi HAM yang memang menggunakan istilah ini. Namun kesan itu agak lemah, karena istilah ini juga digunakan secara generik tanpa konteks sama sekali.
Penggunaan istilah yang problematik ini mungkin bukan permasalahan besar dari sisi praktis. Namun secara teoritis dan kualitas perundang-undangan, penggunaan istilah yang bebas dari kerancuan seharusnya menjadi perhatian, apalagi di bidang hukum pidana yang sarat dengan legalitas. Mengingat kompleksitas kejahatan transnasional yang semakin meningkat, maka akan terbuka maraknya perkara-perkara pidana yang bersentuhan dengan hukum internasional. Pada saat itu, mungkin istilah-istilah ini menjadi polemik di pengadilan, namun mudah-mudahan tidak merusak maksud dan tujuan pasal-pasal tersebut. Sejarah nantinya yang akan bercerita.
****
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sumber: Kompas 3 Agustus 2022
 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sumber: Kumparan 2 Juli 2022 18:19


Tulisan dari Dr Damos Dumoli Agusman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pernah jadi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, dan saat ini bertugas sebagai Dubes RI untuk Austria dan Slovenia, serta Wakil Tetap RI pada PBB


Oleh: Damos Dumoli Agusman dan Akbar Nugraha*
Kejahatan lintas negara saat ini semakin kompleks. Pelaku kejahatan transnasional ini sudah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Mulai dari kejahatan yang berkaitan langsung dengan ITK itu sendiri seperti hackers, phisers, ransom, dst, atau yang berkaitan dengan content ITK seperti pornografi anak, ujaran kebencian, dst. Wilayahnya di dunia maya, dan tidak mengenal batas negara ini, memaksa negara harus bekerja sama menanganinya. Dari sini negara-negara anggota PBB mulai sadar tentang perlunya instrumen hukum internasional yang mengatur secara khusus pencegahan dan penanggulangan kejahatan lintas batas ini.
Untuk itu, Sidang Majelis Umum ke-74 pada akhir tahun 2019 telah mengesahkan Resolusi yang membentuk suatu open-ended Ad Hoc Intergovernmental Committee (AHC) dengan mandat menyusun konvensi internasional yang komprehensif untuk menanggulangi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi untuk tujuan kriminal . Indonesia termasuk salah satu pendukung resolusi ini.
Keputusan ini menjadi torehan penting karena diharapkan menghasilkan suatu legally binding instrument yang didukung oleh negara-negara anggota PBB. Walau saat ini sudah ada instrumen internasional dan regional serupa mengenai kejahatan siber, seperti Budapest Convention, Arab Convention on Combating Information Technology Offences, dan African Union Convention on Cybersecurity and Personal Data Protection , namun dinilai belum cukup mendapat dukungan secara global. Konvensi Budapest yang telah berlaku sejak tahun 2004, misalnya, hanya memiliki 66 pihak.
Draft Konvensi sendiri akan dibahas dalam 6 sesi pertemuan Ad Hoc Committee (AHC) yang dimulai sejak awal tahun 2022 dan diharapkan dapat diajukan pada SMU PBB sesi ke-78 tahun 2023. Indonesia turut aktif dalam proses ini dan bahkan bertindak sebagai Rapporteur, yang bertugas membuat laporan setiap pembahasan.
Seperti lazimnya dalam pembentukan Konvensi di bidang hukum, terdapat perbedaan tajam mengenai jenis kejahatan apa yang akan disepakati untuk dikriminalisasikan. Namun negara-negara sepakat memberikan kategori kejahatannya. Pertama, cyber-dependent crime, kejahatan yang hanya dapat lahir karena ITC itu sendiri seperti hackers dan phisers. Kedua, kategori cyber-enabled crime, kejahatan bisa terjadi diluar ITC namun semakin berat jika menggunakan ITC, seperti ujaran kebencian, cyber terrorism, fraud, infringement of intelectual property rights, bullying, non-consensual distribution of sexual image (NCDSI), religious-hatred, xenophobia, racism, Nazism, crimes against humanity, incitement of violence, serta content-related crimes (CRC).
Sejumlah negara lebih menginginkan agar konvensi ini fokus pada cyber-dependent crime. Namun sejumlah negara lainnya juga mengusulkan agar beberapa jenis cyber-enabled crime masuk dalam cakupan Konvensi termasuk hoax. AHC sedang berupaya mencari titik temu dan ini bukan perkara yang mudah mengingat ratusan negara PBB memiliki prioritas yang berbeda.
Untuk judul saja masih jadi perdebatan yaitu apakah akan menggunakan terminologi “ICT for Criminal Purposes” atau “Cyber Crime”. Pilihan istilah ini mungkin sangat terkait dengan soal kategori diatas, karena istilah “ICT for Criminal Purposes” akan membuka kategori cyber-enabled crime secara luas, sedangkan cyber crimes justru akan mempersempitnya.
Dengan bergulirnya proses elaborasi konvensi internasional ini, penting bagi Indonesia untuk dapat memainkan peran dan mempersiapkan diri dalam negosiasi draft teks. Indonesia telah memiliki UU ITE dan berbagai legislasi terkait lainnya, namun regulasi yang khusus tentang kejahatan siber masih menjadi wacana. Namun perdebatan public tentang ini sudah mulai merebak.
Sekalipun demikian, Indonesia telah berpartisipasi dalam proses perundingan ini dan sedapat mungkin membukan ruang antisipatif bagi perkembangan legislasi di Indonesia.
Setidak-tidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diantisipasi oleh Indonesia. Pertama, Indonesia telah menyampaikan submission berupa masukan tertulis terkait “Objectives, Scope, dan Structure” di awal pertemuan. Namun mengingat prosesnya sudah memasuki soal substantif, maka Indonesia perlu merumuskan posisi yang jelas dan detail dalam berbagai elemen yang akan diusung dalam berbagai chapters, termasuk mengenai jenis maupun kriteria cyber-enabled-crimes yang perlu dimuat dalam konvensi. Masukan pakar, akademisi maupun multi-stakeholders nasional lainnya sangat diperlukan.
Kedua, Indonesia perlu memastikan bahwa konvensi yang disusun dapat merefleksikan kepentingan global dan tidak hanya memajukan legislasi nasional masing-masing negara pihak. Perlu memastikan pula bahwa konvensi ini nantinya dapat menjadi rujukan dan menutup gap dalam legislasi nasional sehingga lebih efektif dalam menanggulangi kejahatan siber.
Ketiga, penekanan pada kerja sama internasional. Penanggulangan kejahatan siber tidak bisa ditangani oleh suatu negara tanpa kerja sama dengan negara lain. Oleh karena itu, dorongan bagi kerja sama internasional, termasuk dalam pertukaran informasi, bukti elektronik, investigasi, serta pembangunan kapasitas dan kerja sama teknis sangat penting.
Keempat, UN instruments seperti the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto (UNTOC) dan the United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dapat menjadi rujukan awal dalam beberapa ketentuan konvensi, namun dengan sifat kejahatan siber yang berbeda dengan kejahatan transnasional lainnya perlu dipertimbangkan ketentuan yang relevan dan tepat.
Pada akhir Agustus 2022, pertemuan substantif ketiga akan berlangsung di New York, Amerika Serikat, dan negosiasi draf teks akan dimulai pada pertemuan keempat di Wina, Austria pada awal tahun 2023. Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan negara-negara anggota, upaya pembentukan konvensi internasional ini perlu terus bergulir dan memastikan dihasilkannya sebuah konvensi internasional yang dapat diterima dan memperoleh dukungan seluruh anggota PBB dan pihak lainnya.
Implementasi efektif konvensi internasional ini akan melindungi masyarakat, baik generasi sekarang maupun mendatang, dari kejahatan terorganisir yang memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang sangat cepat.

Wina, 2 Juli 2022.

* Penulis adalah masing-masing Ketua dan anggota Delegasi Indonesia pada Pertemuan-pertemuan Ad-hoc Committe Intergovernmental Committee.

Laporkan tulisan 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates