Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Contact
    • Category

Law of Treaties (Perjanjian Internasional): Issues in Indonesia

by: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Kompas, 14 Desember 2015




Dr. iur. Damos Dumoli Agusman*

Description: image4
Tanggal 30 November 2015 Arbitral Tribunal UNCLOS tentang kasus Laut Tiongkok Selatan (LTS) baru saja usai menggelar public hearing di Den Haag untuk mendengarkan pokok perkara atas gugatan Filipina terhadap Tiongkok. Hearing ini digelar setelah pada tgl 29 Oktober 2015 Tribunal memutuskan bahwa pihaknya memiliki jurisdiksi untuk mengadili gugatan Filipina ini dan dengan demikian dapat melanjutkan eksaminasi materi perkara.

Gugatan Filipina dirumuskan secara ekstra hati-hati karena UNCLOS menetapkan banyak pembatasan tentang sengketa yang bisa digugat. Soal kedaulatan dan delimitasi batas maritim, misalnya, tidak bisa digugat jika negara tergugat telah melakukan deklarasi bahwa kedua soal ini dilarang untuk digugat ke mekanisme UNCLOS. Tiongkok adalah negara yang telah mendeklarasikan  ini pada saat meratifikasi UNCLOS tahun 1996. Karena banyaknya pembatasan jurisdiksi ini, Filipina akhirnya menggunakan celah lain yaitu menggugat soal interpretasi dan aplikasi UNCLOS dengan menekankan bahwa ada sengketa antara kedua negara soal tafsir dan penerapan UNCLOS. Untuk soal ini, Tribunal yang dibentuk berdasarkan mekanisme UNCLOS telah memutuskan bahwa pihaknya punya kewenangan.

Filipina mengajukan tiga pokok gugatan untuk diputuskan oleh Tribunal dan kesemuanya dalah soal tafsir atas UNCLOS. Pertama adalah soal keabsahan garis dotted lines pada Peta Tiongkok yang konon disebut-segut sebagai klaim historis. Kedua adalah soal status pulau/karang yang disengketakan, apakah berhak atas 200 mil zona maritim sesuai pasal 121 UNCLOS. Ketiga adalah bahwa aktivitas Tiongkok yang mereklamasi Mischief Reef  telah melanggar norma UNCLOS tentang perlindungan lingkungan laut. Dari ketiga gugatan ini maka tugas Tribunal adalah memberi tafsir atas pasal-pasal UNCLOS terhadap ketiga pokok gugatan ini. Artinya, Tribunal tidak diminta untuk menyelesaikan akar sengketa yakni siapa pemilikan pulau/karang yang diperebutkan.

Tiongkok sejak awal telah menolak kewenangan Tribunal ini dengan dalih bahwa gugatan Filipina adalah soal kedaulatan yang berada diluar kewenangan Tribunal. Sekalipun Tribunal telah memutuskan soal kewenangan ini, Tiongkok tetap bersikukuh menolak. Selanjutnya Tiongkok menyatakan tidak akan hadir dalam perkara dan tidak akan tunduk pada keputusan Tribunal. Namun UNCLOS telah mengantisipasi kemungkinan penolakan semacam ini sehingga UNCLOS menyediakan pasal yang menyatakan bahwa penolakan salah satu pihak tidak menghalangi proses perkara. Akhirnya persidangan ini terus berlangsung tanpa kehadiran Tiongkok. Dijadwalkan Tribunal akan mengambil keputusan final pada tahun 2016.

Keputusan Tribunal, jika mengabulkan gugatan Filipina, nantinya akan mengubah konstelasi konflik LTS. Pertama, keputusan ini akan memupus sinisme publik selama ini bahwa kekuasaan selalu melahirkan hak (might makes rights). Norma-norma UNCLOS semakin memperlihatkan kekuatan mengikatnya tanpa bisa dianulir oleh kekuasaan semata-mata. Sebaliknya, hak hukum justru akan melahirkan kekuatan (rights make might). Keadidayaan suatu negara tidak bisa mendikte apa itu norma dan apa yang tidak.

Kedua, sekalipun keputusan ini hanya mengikat para pihak yang berperkara namun tafsir yang dihasilkan oleh Tribunal akan bersifat berlaku umum (erga omnes). Artinya konstruksi hukum yang dikeluarkannya akan mengikat semua pihak termasuk ASEAN. Misalnya, Tribunal sudah menafsirkan bahwa dokumen ASEAN seperti Declaration of Code of Conducts (DoC) dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tidak mengurangi hak negara-negara pihak untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan sengketanya. ASEAN dalam hal ini tidak bisa menafsirkan lain jika diperhadapkan pada persoalan terkait dalam kerangka ASEAN. Tiongkok misalnya tidak bisa lagi berargumen bahwa DoC mewajibkan para negara claimant untuk melakukan perundingan langsung dengan Tiongkok jika ingin menyelesaikan sengketanya.

Ketiga, keputusan ini akan menguak misteri yang selama ini membingungkan negara-negara kawasan LTS termasuk Indonesia,  yaitu soal makna 9 dotted lines pada peta Tiongkok yang merengkuh hampir 2/3 LTS. Ditengah membisunya Tiongkok soal makna garis ini, Tribunal diharapkan dapat mengklarifikasi keabsahan garis ini. Jika garis ini diputuskan bertentangan dengan UNCLOS maka gugurlah keberadaan garis ini dan peta konflik menjadi lebih jelas.  Artinya, garis ini tidak sah untuk dipakai sebagai alas klaim atas pulau/karang di LTS.  Tiongkok harus menggunakan dalil-dalil lain yang dikenal dalam hukum internasional. Bagi Indonesia keputusan ini akan mengkonfirmasi posisi Indonesia selama ini bahwa garis ini tidak­­ memiliki dasar hukum internasional.

Keputusan Tribunal tentang status pulau/karang yang disengketakan juga diharapkan dapat mengurangi keruwetan konflik LTS ini. Tribunal mungkin akan  memutuskan bahwa pulau/karang yang disengketakan itu hanya berstatus karang sehingga hanya berhak atas 12 mil laut teritorial, atau mungkin juga hanya berstatus elevasi surut, yang berarti tidak berhak atas zona maritim sama sekali. Jika ini keputusannya, maka peta klaim zona maritim di LTS harus diformat ulang. Yang pasti adalah pemilik gugusan Spratly tidak mungkin mengklaim perairan hingga menggapai perairan Natuna karena gugusan ini tidak berhak atas ZEE/landas kontinen. Dengan keputusan Tribunal ini maka semakin memperkuat posisi Indonesia selama ini yang meyakini bahwa tidak ada tumpang tindih klaim ZEE dengan siapa pun pemilik gugusan ini. Ini akan menepis spekulasi dikalangan pengamat yang selama ini meyakini bahwa terdapat persoalan klaim maritim antara Indonesia dengan Tiongkok.

****

 * Penulis adalah dosen dan pengamat hukum internasional
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kompas, 29 November 2015

Judul
The South China Sea: the Struggle for Power in Asia
Penulis
Hayton, Bill 
Tempat Terbit
New Haven
Penerbit
Yale University Press
Tahun Terbit
2014
Kolasi
xviii, 298 p; 22 cm.
Penulis Resensi  Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

            Perairan Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi perhatian karena selain sebagai poros perdagangan dunia, eskalasi konflik sedang terjadi disini. Sayangnya, pemahaman publik tentang  LTS sangat rendah dan umumnya menelan mentah-mentah fakta keliru yang dianggap ‘kebenaran’ yang didengungkan berulang-ulang oleh banyak media. Inilah pesan utama yang hendak disampaikan oleh Buku ini. Misalnya, lanjut penulis, tidak benar bahwa disini banyak migas, tidak tepat pula mengatakan bahwa lokasi ini strategis karena hanya dengan satu hentakan misil seluruh isinya akan hancur.
            Sumber literatur Barat tentang LTS pada umumnya mengandalkan pada tulisan sejarawan Barat. Namun sayangnya, menurut penulis, sumber referensi mereka adalah dari publikasi Partai Komunis Tiongkok pasca invasi Tiongkok ke Paracel bulan Januari 1974, yang jelas sangat distortif dan tidak netral. Sumber distortif ini ternyata telah menjadi rujukan baku bagi banyak akademisi dan pengamat sampai saat ini. Buku ini ingin mengubah cara pandang yang selama ini keliru serta mengurangi distorsi yang selama ini mengitari persoalan LTS.
            Ditulis dengan bahasa jurnalis ala berita investigatif, buku ini menceritakan secara gamblang semua aspek tentang LTS berikut dengan fakta distorsinya serta, karena sentuhan investigatif-nya, banyak mengungkap info dibalik layar dari setiap headlines tentang konflik LTS. Karena gaya penulisan ini maka buku ini menjadi sangat enak dibaca walau kadang-kadang terlalu rinci dan terkesan bertele-tele. Namun buku ini berhasil menyajikan soal yang kompleks sehingga mudah dimengerti.
Buku ini diurai secara kronologis dalam 9 bab yang dimulai dengan cerita sejarah LTS sejak prasejarah sampai lahirnya konflik LTS; yang bermula dari Peta Tiongkok dengan 9 garis putusnya (dash lines), serta klimaksnya tahun 1995 saat  Tiongkok masuk ke Mischief Reef (Bab 1-3). Selanjutnya dibahas berbagai dimensi tentang LTS mulai dari aspek hukum (bab 4), sumber daya alam (bab 5), sentimen nasionalisme (bab 6), pergulatan diplomasi (bab 7), strategi militer (bab 8) dan diakhiri dengan wacana potensi kerjasama (bab 9). Sekalipun dicoba dipilah-pilah dalam 9 bab, penulis tidak dapat menghindari terjadinya pengulangan di berbagai bab tentang aspek yang sama.
Telah banyak literatur yang bercerita tentang LTS. Namun buku ini kelihatannya mencoba menambahkan suatu elemen yang terkesan baru yakni bahwa basis klaim yang digembor-gemborkan sebagai ‘historic’ itu ternyata sangat ‘modern’. Penulis ingin meyakinkan pembaca untuk tidak terkecoh dengan argumen para negara claimants bahwa secara historis mereka telah menguasai LTS (historic rights). Alasannya,  pertama, penulis berpendapat bahwa sistem kekuasaan pada waktu itu adalah ‘mandala’, yaitu bertumpu pada pusat kekuasaan dengan jaringannya penguasa-penguasa kecil. Dalam sistem ‘mandala’ tidak ada batas-batas negara (apalagi batas laut) seperti yang dikenal selama ini. Legitimasi mereka bukan berdasarkan kontrol teritorial melainkan atas pengakuan dari jejaringnya.  Perhatian kekuasaan pada jaman ini lebih ke darat dan bukan ke laut. Jaman dinasti Qing, LTS bukan teritori untuk dimiliki melainkan sekadar sumber pencarian (hal. 43). Kedua, status orang yang berada di laut pada waktu itu adalah ‘nomads’ (seperti suku bajo di Asia Tenggara) dan jauh dari pengaruh kedaulatan di darat serta mustahil berjubahkan suatu kewarganegaraan. Mereka bahkan sering dicap sebagai perompak dan bandit sehingga sangatlah ironis jika keberadaan mereka di laut tiba-tiba dijadikan dasar klaim kedaulatan dalam arti modern. Ketiga, ternyata claimants baru tertarik pada fitur-fitur LTS sejak PD II dan motifnya pun untuk memiliki perairan disekitarnya (hal. 111), karena menurut hukum internasional yang baru negara pemilik pulau berhak atas zona maritim selebar 200 mil.  
Pandangan ini sebenarnya sudah dikuak oleh Mahkamah Internasional. Dalam perkara Sipadan dan Ligitan Mahkamah menolak basis klaim Malaysia dan Indonesia model ‘mandala’ ini, yang konon masing-masing memperolehnya dari Kesultanan Sulu dan Kesultanan Bulungan. Bahkan hakim Oda menengarai bahwa Indonesia tertarik atas kedua pulau baru belakangan ini saja setelah tahu bahwa kedua pulau ini bisa memperluas landas kontinen-nya.
Kisah pengusaha Filipina, Tomas Cloma, konon sang penemu pulau di Spratly (sekarang ‘Kalayaan’) tahun 1947 disajikan dengan rinci. Tanpa restu pemerintahnya, Cloma mengklaim gugusan pulau ini dan sempat menyeret Pemerintah Filipina ke pusaran konflik internasional. Dia bahkan berhasil tiba di markas PBB untuk menyampaikan petisi tentang kepemilikan Filipina atas gugusan pulau ini, dan tentu saja membuat pemerintahnya berang. Namun 25 tahun kemudian, Presiden Marcos justru menguasai gugusan ini dan salah satu dasar klaimnya adalah aktivitas Cloma di gugusan ini. Penulis mengolah pesan dari cerita ini menjadi salah satu contoh bahwa klaim atas LTS tidak ada yang meyakinkan.
Buku ini juga mengulas tentang Indonesia, tidak hanya tentang kontribusi Hasjim Djalal dalam pengelolaan konflik namun juga soal posisi Indonesia di pusaran konflik. Menurut penulis konflik ini melibatkan 6 bukan 5 negara,  karena Indonesia juga terlibat sekalipun berpura-pura tidak terlibat (hal. xvii). Menyamakan status Indonesia dengan 5 negara claimant agak berlebihan karena status Indonsia sangat berbeda. Ke 5 negara claimant mengklaim fitur-fitur maritim (pulau/karang) di LTS, sedangkan Indonesia tidak. Tiongkok juga tidak mengklaim pulau Natuna.

Walau tidak merincinya, alasan Penulis mungkin karena salah satu dash line Tiongkok memasuki perairan Natuna dan terciptalah tumpang-tindih. Jika ini alasan untuk menjadikan Indonesia sebagai claimant, tentu kurang tepat. Pertama, garis tumpang-tindih semacam itu ada di setiap segmen batas Indonesia dengan semua negara tetangga, serta tidak pernah mengistilahkannya dengan ‘negara claimant’.  Istilah ‘negara claimant’ pada umumnya hanya untuk tumpang-tindih atas pulau/daratan seperti yang diperebutkan oleh ke 5 negara di LTS  atau dulu oleh Indonesia terhadap Sipadan dan Ligitan. Kedua, dash line itu tidak jelas maknanya dan sudah diprotes oleh Indonesia.  Garis ini membingungkan dunia termasuk pakar Tiongkok sendiri. Jika garis ini sendiri ‘absurd’ maka menjadi ‘absurd’ pula jika garis ini bisa mendongkrak status Indonesia menjadi negara claimant setara negara 5 negara lainnya. Tentu persoalan jadi lain jika Tiongkok ternyata meng-enforce garis ini dengan,  misalnya,  menangkap nelayan Indonesia di sana. Tapi dalam situasi ini pun istilah claimant tidak lazim digunakan.****
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Detik.Com 25 November 2013
Eddi Santosa - detikNews

Den Haag - Pekan ini Tribunal mulai menggelar dengar pendapat publik (public hearing tertutup) untuk mendengarkan lebih lanjut argumentasi Filipina tentang pokok gugatannya dalam sengketa Laut China Selatan.

Indonesia sangat berkepentingan untuk mengikuti jalannya persidangan mengenai Laut China Selatan antara Filipina dan Tiongkok ini.

"Untuk memastikan bahwa keputusan Tribunal nantinya tidak berimplikasi terhadap kepentingan Indonesia," ujar Sesditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI Damos Agusman menjawab pertanyaan detikcom seusai menghadiri public hearing hari pertama Tribunal di Peace Palace, Den Haag, Rabu (25/11/2015). 

Acara dengar pendapat publik Tribunal di Peace Palace ini merentang dari 24 sampai 30 November 20015.

Selain itu, lanjut Damos, Indonesia juga menilai bahwa sekalipun keputusan Tribunal yang dibentuk berdasarkan Annex VII Konvensi Hukum Laut tidak menyelesaikan soal pemilikian pulau-pulau yang disengketan di Laut China Selatan, namun keputusan tersebut dapat mengubah konstelasi konflik Laut China Selatan. 

Persidangan atas gugatan Filipina terhadap Tiongkok ini telah memasuki tahapan pembahasan pokok perkara setelah Arbitral Tribunal menyatakan memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini. 

Indonesia dan beberapa negara yang berkepentingan hadir sebagai peninjau dalam public hearing ini. Kehadiran negara-negara ini sebagai negara yang berkepentingan menunjukkan bahwa sengketa ini menjadi perhatian negara-negara di kawasan sekitar Laut China Selatan.

Tiongkok sendiri sejak awal telah menyatakan menolak kewenangan Tribunal dan tidak akan hadir dalam perkara ini. 

Namun Tribunal telah memutuskan bahwa sesuai dengan Pasal 9 Annex VII United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), ketidakhadiran Tiongkok tidak menghentikan proses persidangan. Tribunal akan tetap menyampaikan update kepada Tiongkok tentang perkembangan pemeriksaan perkara ini.

Ditanya lebih lanjut, Damos tidak bersedia membuka materi perkara yang diajukan pada public hearing ini mengingat sifatnya yang tertutup. 

Namun Damos merujuk pada keputusan Tribunal pada 29 Oktober 2015 yang menjelaskan secara detil tentang tidak kluster gugatan yang akan didengar oleh Tribunal dari Filipina. 

Pertama, soal keabsahan sembilan garis terputus yang tertera dalam Peta Tiongkok dan yang telah diprotes oleh banyak negara. 

Kedua, soal apakah pulau-pulau yang disengketakan berstatus pulau yang berhak atas 200 Mil, atau berstatus karang yang hanya berhak atas 12 Mil zona maritim atau berstatus elevasi surut yang tidak berhak sama sekali atas zona maritim.

Ketiga, soal apakah reklamasi Tiongkok atas Mischief Reef melanggar Konvensi Hukum Laut tentang perlindungan lingkungan laut.

Keputusan Tribunal soal ketiga kluster ini, yang dijadwalkan akan dikeluarkan pada pertengahan 2016 tentu akan mengubah konstelasi konflik Laut China Selatan, karena setidak-tidaknya keputusan ini dapat mengklarifikasi berbagai kerancuan yang selama ini mewarnai konflik ini.

"Khususnya tentang makna nine dotted lines yang selama ini masih misteri," pungkas Damos.

Delegasi Indonesia yang hadir pada persidangan ini dipimpin oleh Sesditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI Dr. iur. Damos Agusman dengan anggota delegasi dari Kemenko Maritim, Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim dan KBRI Den Haag. Turut hadir dalam dalam hearing ini KUAI RI Den Haag.


(dnu/dnu)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Jakarta Post 5 Desember 2015

The South China Sea arbitration:
Why does it matter?

Damos Dumoli Agusman and Haryo Budi Nugroho, Jakarta | Opinion | Sat, December 05 2015, 4:11 PM

On Nov. 24-30 2015, the Arbitral Tribunal in The Hague conducted its second hearing on the South China Sea dispute between the Philippines and the People’s Republic of China (PRC). The tribunal was established pursuant to Annex VII of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS), to which the Philippines and China are parties.

Contrary to public expectations, the tribunal was not intended to solve the core dispute, namely overlapping claims of sovereignty over maritime features in the South China Sea (SCS). Furthermore, as any other international judicial proceeding, the award of the tribunal will only bind the parties in dispute, in this case the Philippines and China. Worse, China has refused to participate in the proceeding or comply with its decision. But why does the case matter for the international community? Why are so many states closely watching the case, including Malaysia and Vietnam, which both claim parts of the SCS, as well as other countries in the region, such as Indonesia, Japan, Singapore and Thailand? Even Australia and the UK, which are geographically far from the SCS, are paying attention to the outcome of the hearing.

The matter submitted to the arbitration itself, which was filed by the Philippines, was carefully drafted in the expectation that it would fall under the jurisdiction of the tribunal.

It was not concerned with sovereignty, which is outside the scope of UNCLOS dispute settlement mechanism, delimitation problems or military activities, which are excluded by China’s refusal to participate or abide by any decisions reached.

However, the tribunal’s decision on the three main issues in the case will have a significant impact on countries in the region, including Indonesia. The first concerns the validity of China’s nine-dash lines claim.

The second issue concerns the maritime status of the claimed areas, namely whether or not they are entitled to Exclusive Economic Zone (EEZ)/Continental Shelf status, territorial waters status or no entitlement at all. The third is the construction activities of China, which are claimed to be damaging the environment.

First and foremost, the tribunal will promote the rule of law in the ocean and UNCLOS compliance by its parties.

States have long negotiated the rule that governs their rights and obligations in the ocean as codified in the UNCLOS, which has been widely accepted as the constitution of the Ocean. Indeed, one of the main purposes of UNCLOS was to create rules to avoid excessive claims by states that would undermine the general interests of the international community.

UNCLOS provides a mechanism for settlement of disputes arising from its interpretation and application and encourages its parties to use that mechanism. The tribunal and its decision will serve as encouragement for states to settle their differences amicably.

For the region and the claimant states, the award will enhance regional stability. It will stipulate the rights and obligations of the littoral states of the SCS.

Furthermore, the decision will clarify some, if not all, the ambiguities surrounding the SCS conflict. The mystery behind the nine-dash lines will be immediately clarified in terms of legality.

Once the ambiguity is removed, the claimants may shift their focus to consolidating the basis of their claims.

Likewise, the determination of the maritime status of the claimed features, be they islands that are entitled to 200 miles, rocks that are entitled to 12 miles, or low tide elevations, which are not entitled to any single zone unless they are part of the territorial sea of a rock or island, will simplify the terms of the conflict.

If the tribunal determines that they are only rocks, which is most likely the case, the claimable maritime zones around those features will not be as excessive as what the nine-dash lines purport.

ASEAN will also benefit from the decision. Some interpretations have been provided by the tribunal’s Oct. 29 decision with regards to the legal status of the Conduct of Parties (DOC) in the SCS as well as the Treaty of Amity and Cooperation (TAC). The tribunal maintains that the DOC and TAC does not deny the parties recourse to other means of dispute settlement, including arbitration.

In fact, this is the exact application of those frameworks, to solve disputes peacefully when negotiations do not work. This legal determination might guide ASEAN in its future deliberations of the issue, especially in crafting the Code of Conduct (COC).

Last but not least, Indonesia may also benefit from the decision. Recently, there was public concern that China would occupy the Natuna Islands, Indonesia’s outermost points in the SCS.

Although Chinese officials have claimed that the country has no competing sovereignty claim over the Natuna Islands, the public remains doubtful. Due to China’s silence about what the dash-line means and the position of the islands on a map, if one does not consider their actual GPS coordinates, the nine-dash lines claim continues to be considered as an encroachment into the Indonesian EEZ.

If the tribunal confirms that the nine-dash lines are legally baseless, or at least do not constitute a delimitation line of the maritime zone, then the long standing firm position of Indonesia that the nine-dash lines do not overlap with its territory will be supported.

Speculation has been rife that Indonesia has an overlapping EEZ claim with the EEZ generated from the Spartly features. If the tribunal confirms that none of the disputed features are entitled to an EEZ/Continental Shelf of their own, it will again affirm Indonesia’s persistent arguments that there is no maritime zone generated by any features in the SCS that may encroach on Indonesia’s EEZ. It is only with Vietnam and Malaysia that Indonesia has to negotiate the boundary of its EEZ.

The much-awaited tribunal decision, which is scheduled to be delivered next year, will be of interest, not only legal scholars and commentators, but also to the SCS claimant states.
_________________

The writers, who are lecturers of international law, attended the Arbitral Tribunal hearing in The Hague. The views expressed are their own.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

My photo
Damos Agusman
View my complete profile

Labels

  • ASEAN (11)
  • Diplomatic law (17)
  • international law (52)
  • international security (2)
  • law of the sea (37)
  • law of treaties (28)
  • News (13)
  • Others (9)
  • south china sea (8)
  • treaties and domestic law (27)

recent posts

Blog Archive

  • March 2023 (1)
  • September 2022 (1)
  • August 2022 (1)
  • July 2022 (2)
  • June 2022 (5)
  • December 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • August 2021 (8)
  • July 2021 (4)
  • June 2021 (6)
  • May 2021 (1)
  • March 2021 (1)
  • February 2021 (2)
  • December 2020 (4)
  • October 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • August 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • July 2019 (1)
  • June 2019 (2)
  • May 2019 (5)
  • December 2018 (2)
  • September 2018 (1)
  • August 2018 (1)
  • July 2018 (1)
  • November 2017 (1)
  • February 2017 (1)
  • August 2016 (1)
  • July 2016 (1)
  • June 2016 (3)
  • May 2016 (1)
  • March 2016 (1)
  • February 2016 (2)
  • December 2015 (4)
  • November 2015 (3)
  • September 2015 (1)
  • August 2015 (1)
  • July 2015 (1)
  • May 2015 (1)
  • April 2015 (3)
  • March 2015 (1)
  • February 2015 (4)
  • January 2015 (3)
  • December 2014 (1)
  • August 2014 (1)
  • June 2014 (1)
  • May 2014 (1)
  • February 2014 (4)
  • January 2014 (2)
  • December 2013 (1)
  • November 2013 (1)
  • October 2013 (4)
  • May 2013 (3)
  • September 2012 (1)
  • July 2012 (2)
  • April 2012 (35)

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates